buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Minggu, 26 April 2015

BERBAKTI DAN SABAR TERHADAP ORANG TUA



Edisi 16 th VI : 1 Mei 2015 M /  12 Rajab 1436 H
BERBAKTI DAN SABAR TERHADAP ORANG TUA
Penulis: Ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
 Puji syukur kepada Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ahqaf ayat 15 yang artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, yang telah memberikan banyak pengetahuan yang tepat untuk kita implementasikan dalam kehidupan ini.
Kita yang hidup sekarang ini, pastilah memiliki ibu dan bapak. Manusia yang tidak memiliki ibu bapak hanyalah nabi Adam as. Manusia yang tidak memiliki ibu hanyalah Hawa. Dan manusia yang tidak memiliki bapak hanyalah nabi Isa as. Berangkat dari kenyataan ini, selayaknya kita tiada hentinya untuk terus berbuat baik pada ibu bapak yang telah bersusah payah merawat dan mendidik kita sampai seperti sekarang.

Dalam syari’at Islam, mentaati kedua orang tua yaitu ibu bapak merupakan wajib hukumnya atas setiap muslim. Sebaliknya durhaka kepada orang tua hukumnya adalah haram. Seorang Muslim tidak dibolehkan sedikit pun mendurhakai orang tuanya. Namun jika mereka memerintahkan kepada kita untuk menyekutukan Allah atau mendurhakai-Nya atau berbuat maksiat lainnya, kita diperbolehkan untuk tidak taat. Hal ini disinggung dalam al-Qur’an surat Luqman ayat 15 yang artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku (Allah) sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” Selain itu dijelaskan pula dalam hadist Rasulullah saw yang bersabda: “Tidak ada ketaatan untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
            Dari ayat al-Qur’an dan hadits tersebut, kita bisa mengambil pemahaman bahwa memang orang tua belum tentu selamanya benar. Bisa jadi suatu saat mereka keliru dalam mengambil sikap ataupun memerintahkan sesuatu pada kita. Namun hal yang sangat penting adalah selama hal tersebut tidak keluar dari jalur syari’at, maka kita tetap wajib mentaati dan menghormatinya. Adapun jika hal tersebut di luar kemampuan kuasa kita, maka kita tetap harus menghormatinya. Kita tetap tidak dibenarkan untuk melawan orang tua. Dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23 disinggung bahwa “... maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (ibu-bapak) perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Dari ayat ini jelas kita diwajibkan bertutur kata yang lembut pada ibu bapak, sekalipun kita merasa di posisi yang benar dan mereka di posisi yang kurang benar. Beberapa kendala yang kita rasakan jika terjadi hal demikian adalah bahwasanya kita merasa orang tua terlalu merasa benar sendiri atau menganggap kita masih kanak-kanak. Dalam kondisi ini, kita tetap harus sabar dan mengendalikan diri. Kita tetap diwajibkan untuk merendahkan diri di hadapan orang tua sebagaimana telah disebutkan dalam surat al-Ahqaf ayat 15 yang artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya ...”
            Hal lain yang harus kita sadari adalah tentang kehidupan orang tua kita. Ada sebuah hadits yang wajib kita cermati sebagai bahan renungan bagi kita: Seorang laki-laki ketika berkata: “Ayahku ingin mengambil hartaku.” Nabi saw bersabda padanya: “Kamu dan hartamu milik ayahmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Dari hadits ini, sebenarnya ada bahan perenungan mendalam bagi kita. Bukankah jika saat ini kita mampu mencari uang sendiri atau memperoleh pekerjaan yang bagus atau berada dalam posisi perekonomian yang mantap, semuanya tdak lepas dari jerih payah orang tua kita? Saat kita dilahirkan oleh ibu, bagaimana kondisi kita. Saat kita kecil siapa yang memberi makan pada kita. Saat kita menyiapkan bekal

masa depan dengan bersekolah, siapa yang membiayai. Dan hingga kita beranjak dewasa, di mana kita tinggal. Ternyata ... apa yang kita nikmati sekarang ini tidaklah lepas dari rentetan peran dan cucuran keringat ibu bapak kita. Maka sangat tidak pantas jika merasa harta kita adalah murni milik kita, bukan milik orang tua kita.
Kemudian ada lagi beberapa hal terkait orang tua kita yang terkadang tidak kita sadari ternyata sangat tidak pantas kita lakukan. Mari kita cermati hadits berikut: Rasulullah saw bersabda: “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela orang tuanya.” Para Sahabat bertanya: “Ya, Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang tuanya?” Beliau menjawab: “Ada. Ia mencela ayah orang lain kemudian orang itu membalas mencela orang tuanya. Ia mencela ibu orang lain lalu orang itu membalas mencela ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Jika perkataan kecil seperti “ah” saja sangat dilarang, apalagi sampai tega mencela kedua orang tua sendiri. Mencela orang tua dan menyebabkan mereka dicela orang lain termasuk salah satu dosa besar. Dan hal seperti ini bisa jadi tanpa disadari. Mungkin diantara kita ada yang sering bergurau atau bercanda dengan melakukan perbuatan yang sangat tercela ini. Oleh karenanya kita musti berhati-hati dalam bercanda.
            Dari sedikit tulisan ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kita harus berbakti dan sabar terhadap orang tua kita, apapun kondisi mereka. Kemudian point penting lagi adalah bahwa sabar sebagai kebajikan diidentikkan dengan tidak adanya kata-kata keluhan meski dalam keadaan sempit dan menderita seperti apapun. Semua dipahami sebagai ujian yang harus dilalui untuk jenjang tingkatan yang lebih tinggi dalam hal ketakwaan yang menunjukkan kualitas keimanan sehingga berpredikat ahsani taqwim (sebaik-baik bentuk). Dari sinilah kita bisa membedakan bagaimana orang yang baik dan bagaimana orang yang bijak. Tidak semua orang baik itu bijak, tapi semua orang bijak pasti baik.
            Semoga kita bisa melalui kehidupan ini dengan penuh kesabaran, penuh semangat berikhtiyar serta penuh keyakinan untuk bertawakkal, sehingga kita akan termasuk dalam kategori orang-orang yang dipilih Allah untuk menjadi anak shalih/shalihah yang berbakti pada ibu bapak. Aamiin...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar