Edisi 27 th VI : 17 Juli 2015 M / 1 Syawal 1436 H
MA’AF
Penulis:
Ust. Marsudi,
S.Pd.I
(TPQ ad-Darajaat,
mayak)
Puji syukur pada Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an
surat Ali ‘Imran ayat 159: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.” Shalawat serta salam semoga tercurah pada nabi Muhammad
saw, semulia-mulianya manusia yang sangat pemaaf, bahkan pada orang yang
membenci beliau sekalipun.
Salah satu kekurangan manusia
adalah sering berbuat salah dan dosa. Dalam kehidupan sehari-hari ada saja
perbuatan orang lain yang tidak berkenan bahkan menyakitkan hati kita. Bila
kita menyimpannya dalam hati, rasa sakit itu ternyata menimbulkan berbagai
dampak fisik dan psikologis. Berbagai kajian para ahli di media massa
merumuskan bahwa sakit hati membahayakan kesehatan jantung dan sistem peredaran
darah, kanker, tekanan darah, tukak lambung, flu, sakit kepala, sakit telinga.
Sakit hati juga menjadikan hati manusia dipenuhi marah, dendam dan benci kepada
orang lain. Ini menjadi sumber stres dan depresi manusia. Hati yang dipenuhi
energi negatif, akan mengarahkan individu untuk berkata-kata yang jelek.
Manusia
membutuhkan cara untuk menutupi segala permasalahan tersebut, khususnya rasa
sakit hati, marah dan sejenisnya yang terarah kepada sesama manusia. Saat orang
lain berbuat salah dan dosa yang terarah kepada kita, kita diajari untuk
memaafkan. Sebaliknya, saat kita berbuat salah dan dosa kepada orang lain, kita
diajari untuk meminta maaf. Allah telah berfirman dalam al-Qur’an surat
al-Maidah pada akhiran ayat ke 13: “… Maka maafkanlah mereka dan biarkan
mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Dalam konsep
ini, memaafkan adalah proses untuk menghentikan perasaan dendam, jengkel, atau
marah karena merasa disakiti atau dizhalimi. Pemberian maaf (forgiveness)
menurut ahli psikologi Robert D. Enright, merupakan kesediaan seseorang untuk
meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku acuh-tidak-acuh
terhadap orang lain yang telah menyakitinya secara tidak adil. Para ahli
psikologi mempercayai bahwa memaafkan memiliki efek yang sangat positif bagi
kesehatan. Pemberian maaf (forgiveness) merupakan salah satu karakter
positif yang membantu individu mencapai tingkatan optimal dalam hal kesehatan
fisik, psikologis, dan spiritual. Pada beberapa tahun belakangan, pemberian
maaf semakin populer sebagai psikoterapi atau sebagai suatu cara untuk menerima
dan membebaskan emosi negatif seperti marah, depresi, rasa bersalah akibat
ketidakadilan, memfasilitasi penyembuhan, perbaikan diri, dan perbaikan
hubungan interpersonal dengan berbagai situasi permasalahan, selanjutnya secara
langsung mempengaruhi ketahanan dan kesehatan fisik dengan mengurangi tingkat
permusuhan, meningkatkan sistem kekebalan pada sel dan neuro-endokrin,
membebaskan antibodi, dan mempengaruhi proses dalam sistem saraf pusat.
Adapun bagi
manusia yang berada dalam posisi bersalah, maka meminta maaf merupakan salah
satu bentuk kerendah-hatian (tawadhu’) pribadi dan tentu juga merupakan
salah satu bentuk keberanian mental manusia. Memang salah satu hal positif yang
semestinya dilakukan untuk menghapus perbuatan salah adalah meminta maaf. Kalau
perbuatan salah itu terarah kepada seseorang, pemintaan maaf mestinya diarahkan
kepada seseorang atau keluarga yang menjadi korban. Hal ini sebagaimana
diungkapkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Abu Hurairah ra berkata, telah
bersabda Rasulullah saw: “Barangsiapa pernah melakukan kezhaliman
terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka
hendaklah ia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak
berguna lagi (yaitu pada hari kiamat). (Kelak) jika dia memiliki amal shaleh, akan
diambil darinya seukuran kezhalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan
(lagi), akan diambil dari keburukan saudara (yang dizhalimi) kemudian dibebankan
kepadanya.” (HR Bukhari). Dari hadits ini, kita dapat melihat betapa
ruginya seseorang yang bersalah namun tak mau meminta maaf.
Permintaan
maaf ini berguna untuk meredam amarah yang ada dalam diri orang yang dizhalimi.
Penyesalan atas kata-kata atau perbuatan di masa lalu serta janji untuk
tidak mengulangi perbuatan salah berfungsi untuk meredam amarah yang bergejolak
dalam diri seseorang yang disakiti. Selain itu, permintaan maaf sesungguhnya
punya manfaat agar orang-orang yang menjadi objek dari perbuatan salah, tidak
melakukan tindakan yang destruktif dan agresif. Sebagaimana kita ketahui,
seringkali orang yang menjadi objek kezhaliman melakukan pembalasan dengan cara
yang lebih keras. Temuan dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa agresivitas
lebih sering didasari oleh alasan membalas perkataan atau perbuatan agresif
orang lain. Dalam hal ini yang jadi permasalahan adalah balasan itu umumnya
lebih keras dibanding rasa sakit yang diterima seseorang.
Sebagai sebuah
proses yang melalui berbagai tahapan, pelaksanaan konsep memaafkan dan meminta
maaf yang sejati dari lubuk hati tentu membutuhkan waktu. Setelah orang lain
menyakiti atau membuat kita merasa tersakiti, tentunya tidak serta merta kita
dapat memaafkannya. Itu adalah kondisi yang wajar, mengingat sebuah proses
membutuhkan waktu, dan hanya kita yang tahu kapan waktunya tiba untuk
memaafkan. Oleh karena itu, perlu berhati-hati, ketika kita dapat dengan mudah
mengatakan maaf, kemungkinan maaf itu hanyalah sekedar bentukan formalitas dan
keinginan kita untuk menjaga perdamaian saat itu, padahal jauh di lubuk hati
kita ada sedikit rasa negatif yang bisa jadi suatu saat malah berbalik
menyerang kita karena kita tidak sepenuhnya memaafkan. Sebaliknya, saat kita
meminta maaf, bisa jadi kita hanya menjaga image atau agar kita terlihat
sebagai seorang gentlemen, padahal hati kita masih belum merasa
bersalah. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk menata hati agar senantiasa legowo
dalam memaafkan maupun meminta maaf, sehingga lahir akan sejalan dengan bathin.
Moment lebaran
ini merupakan moment yang tepat untuk menata hati dalam konsep memaafkan dan
meminta maaf. Segalanya akan terasa ringan untuk mengucapkan minal aidin wal
faizin, mohon maaf lahir batin. Selamat hari raya ‘idul fitri dan selamat
saling memaafkan. Semoga Allah meridhai kita … aamiin.
***