buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Sabtu, 18 Juli 2015

MA'AF



   Edisi 27 th VI : 17 Juli 2015 M / 1 Syawal 1436 H
MA’AF
Penulis: Ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ ad-Darajaat, mayak)
Puji syukur pada Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 159: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” Shalawat serta salam semoga tercurah pada nabi Muhammad saw, semulia-mulianya manusia yang sangat pemaaf, bahkan pada orang yang membenci beliau sekalipun.
Salah satu kekurangan manusia adalah sering berbuat salah dan dosa. Dalam kehidupan sehari-hari ada saja perbuatan orang lain yang tidak berkenan bahkan menyakitkan hati kita. Bila kita menyimpannya dalam hati, rasa sakit itu ternyata menimbulkan berbagai dampak fisik dan psikologis. Berbagai kajian para ahli di media massa merumuskan bahwa sakit hati membahayakan kesehatan jantung dan sistem peredaran darah, kanker, tekanan darah, tukak lambung, flu, sakit kepala, sakit telinga. Sakit hati juga menjadikan hati manusia dipenuhi marah, dendam dan benci kepada orang lain. Ini menjadi sumber stres dan depresi manusia. Hati yang dipenuhi energi negatif, akan mengarahkan individu untuk berkata-kata yang jelek.

Manusia membutuhkan cara untuk menutupi segala permasalahan tersebut, khususnya rasa sakit hati, marah dan sejenisnya yang terarah kepada sesama manusia. Saat orang lain berbuat salah dan dosa yang terarah kepada kita, kita diajari untuk memaafkan. Sebaliknya, saat kita berbuat salah dan dosa kepada orang lain, kita diajari untuk meminta maaf. Allah telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Maidah pada akhiran ayat ke 13: “… Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Dalam konsep ini, memaafkan adalah proses untuk menghentikan perasaan dendam, jengkel, atau marah karena merasa disakiti atau dizhalimi. Pemberian maaf (forgiveness) menurut ahli psikologi Robert D. Enright, merupakan kesediaan seseorang untuk meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku acuh-tidak-acuh terhadap orang lain yang telah menyakitinya secara tidak adil. Para ahli psikologi mempercayai bahwa memaafkan memiliki efek yang sangat positif bagi kesehatan. Pemberian maaf (forgiveness) merupakan salah satu karakter positif yang membantu individu mencapai tingkatan optimal dalam hal kesehatan fisik, psikologis, dan spiritual. Pada beberapa tahun belakangan, pemberian maaf semakin populer sebagai psikoterapi atau sebagai suatu cara untuk menerima dan membebaskan emosi negatif seperti marah, depresi, rasa bersalah akibat ketidakadilan, memfasilitasi penyembuhan, perbaikan diri, dan perbaikan hubungan interpersonal dengan berbagai situasi permasalahan, selanjutnya secara langsung mempengaruhi ketahanan dan kesehatan fisik dengan mengurangi tingkat permusuhan, meningkatkan sistem kekebalan pada sel dan neuro-endokrin, membebaskan antibodi, dan mempengaruhi proses dalam sistem saraf pusat.
Adapun bagi manusia yang berada dalam posisi bersalah, maka meminta maaf merupakan salah satu bentuk kerendah-hatian (tawadhu’) pribadi dan tentu juga merupakan salah satu bentuk keberanian mental manusia. Memang salah satu hal positif yang semestinya dilakukan untuk menghapus perbuatan salah adalah meminta maaf. Kalau perbuatan salah itu terarah kepada seseorang, pemintaan maaf mestinya diarahkan kepada seseorang atau keluarga yang menjadi korban. Hal ini sebagaimana diungkapkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Abu Hurairah ra berkata, telah bersabda Rasulullah saw: “Barangsiapa pernah melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (yaitu pada hari kiamat). (Kelak) jika dia memiliki amal shaleh, akan diambil darinya seukuran kezhalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudara (yang dizhalimi) kemudian dibebankan kepadanya.” (HR Bukhari). Dari hadits ini, kita dapat melihat betapa ruginya seseorang yang bersalah namun tak mau meminta maaf.

Permintaan maaf ini berguna untuk meredam amarah yang ada dalam diri orang yang dizhalimi. Penyesalan atas kata-kata atau perbuatan di masa lalu serta  janji untuk tidak mengulangi perbuatan salah berfungsi untuk meredam amarah yang bergejolak dalam diri seseorang yang disakiti. Selain itu, permintaan maaf sesungguhnya punya manfaat agar orang-orang yang menjadi objek dari perbuatan salah, tidak melakukan tindakan yang destruktif dan agresif. Sebagaimana kita ketahui, seringkali orang yang menjadi objek kezhaliman melakukan pembalasan dengan cara yang lebih keras. Temuan dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa agresivitas lebih sering didasari oleh alasan membalas perkataan atau perbuatan agresif orang lain. Dalam hal ini yang jadi permasalahan adalah balasan itu umumnya lebih keras dibanding rasa sakit yang diterima seseorang.
Sebagai sebuah proses yang melalui berbagai tahapan, pelaksanaan konsep memaafkan dan meminta maaf yang sejati dari lubuk hati tentu membutuhkan waktu. Setelah orang lain menyakiti atau membuat kita merasa tersakiti, tentunya tidak serta merta kita dapat memaafkannya. Itu adalah kondisi yang wajar, mengingat sebuah proses membutuhkan waktu, dan hanya kita yang tahu kapan waktunya tiba untuk memaafkan. Oleh karena itu, perlu berhati-hati, ketika kita dapat dengan mudah mengatakan maaf, kemungkinan maaf itu hanyalah sekedar bentukan formalitas dan keinginan kita untuk menjaga perdamaian saat itu, padahal jauh di lubuk hati kita ada sedikit rasa negatif yang bisa jadi suatu saat malah berbalik menyerang kita karena kita tidak sepenuhnya memaafkan. Sebaliknya, saat kita meminta maaf, bisa jadi kita hanya menjaga image atau agar kita terlihat sebagai seorang gentlemen, padahal hati kita masih belum merasa bersalah. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk menata hati agar senantiasa legowo dalam memaafkan maupun meminta maaf, sehingga lahir akan sejalan dengan bathin.
Moment lebaran ini merupakan moment yang tepat untuk menata hati dalam konsep memaafkan dan meminta maaf. Segalanya akan terasa ringan untuk mengucapkan minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin. Selamat hari raya ‘idul fitri dan selamat saling memaafkan. Semoga Allah meridhai kita … aamiin.
***






Tidak ada komentar:

Posting Komentar