Edisi 26 th VI : 10 Juli 2015 M / 23 Ramadhan 1436 H
AL-JAM’U WA AL-TAUFIQ
Penulis:
Ust. Marsudi,
S.Pd.I
(TPQ ad-Darajaat,
mayak)
Puji syukur pada Allah swt yang telah menurunkan wahyu pertama al-Qur’an
pada bulan Ramadhan yang mulia, yaitu perintah bagi kita agar “membaca” atau
belajar. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah
pada nabi Muhammad saw sebagai guru terbaik sepanjang masa, yang menguraikan
pelajaran agama dengan berbagai hadits yang dikeluarkan beliau.
Dalam keilmuan Islam, ada disiplin ilmu yang bernama Ulum al-Hadits yang membahas segala seluk-beluk tentang hadits. Salah satu cabangnya
adalah mukhtalif al-hadits. Sekelumit tulisan tentang mukhtalif al-hadits ini diresume dari berbagai sumber, dan kami
sajikan menjadi semacam makalah bagi pembaca bulletin TJ ini. Yang dimaksud
dengan mukhtalif al-hadits secara bahasa adalah hadits-hadits
yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Para ulama ahli hadits
mendefinisikan bahwa mukhtalif al-hadits
adalah hadits-hadits yang tampak saling bertentangan satu sama lain. Namun,
tidak selamanya hadits-hadits yang tampak bertentangan itu kontradiktif,
sehingga dapat diselesaikan dengan metode-metode tertentu dengan ilmu tertentu.
Perlu diperhatikan bahwa hadits-hadits yang dianggap bertentangan itu adalah
hadits yang secara sanad dan matan terbukti shahih. Maka
hadits yang lemah sanadnya tidak perlu dikompromikan dengan hadits yang
jelas shahih. Hadits yang tampak mukhtalif tidak hanya terjadi
antara hadits dengan hadits, bisa juga bertentangan dengan al-Qur’an dan rasio
manusia.
Hadits tidak
bisa dipahami secara tekstual saja, tetapi harus melihat kontekstual-nya dengan
dibantu ilmu hadits lain seperti asbab al-wurud (sebab terjadinya
hadits), tarikh al-mutun (sejarah isi hadits) dan ilmu lain yang dapat
mendukung penyelesaian terhadap hadits yang tampak kontradiktif. Sedikitnya
ada 4 metode yang digunakan oleh para ulama hadits dalam menyelesaikan hadits
yang kontradiktif, yaitu: metode al-jam’u wa al-taufiq, metode tarjih,
metode nasikh-mansukh, dan metode tawaqquf.
#Metode al-Jam’u wa al-Taufiq
Metode dengan cara menggabungkan
dan mengkompromikan dua hadits yang tampak saling bertentangan, dan kedua hadits
tersebut harus sama-sama shahih. Para ulama berpendapat metode ini lebih baik
daripada dengan menggunakan metode tarjih. Salah satu kaedah fiqh
bahwa “i’mal al-qaul khairun min ihmalihi” (mengamalkan suatu ucapan
atau sabda itu lebih baik daripada membiarkannya untuk tidak diamalkan).
Contoh hadits tentang cara wudlu:
حدثنا الربيع, قال : أخبرنا
الشافعي, قال : أخبرنا عبد العزيز بن محمد, عن زيد بن أسلم, عن عطاء بن يسار, عن
ابن عباس, أن رسول الله ص.م وضأ وجهه ويديه, ومسح برأسه مرة مرة.
Dalam hadits ini bahwa Rasulullah saw berwudlu membasuh
wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali.
Sedangkan dalam riwayat lain
dinyatakan bahwa Nabi Muhammad saw berwudlu dengan membasuh wajah dan kedua
tangannya, serta mengusap kepala tiga kali. Seperti hadits berikut :
اخبرنا الشافعي, قال :
أخبرنا سفيان بن عيينة, عن هشام بن عروة, عن ابيه, عن حمران مولى عثمان بن عفان,
ان النبي ص.م توضأ ثللاثا ثلاثا.
Kedua hadits ini secara lahiriyah
memang seperti bertentangan, akan tetapi pada hakekatnya tidak. Menurut
pendapat Imam Syafi’i, berwudlu dengan membasuh muka, kaki, dan mengusap kepala
sudah mencukupi dengan satu kali saja, akan tetapi dengan mengulang sebanyak
tiga kali lebih sempurna. Kedua hadits tersebut dapat diamalkan sesuai dengan
konteks. Jika keadaan kita (terutama jumlah air) memang memungkinkan kita untuk
mengulangi basuhan anggota wudlu sebanyak tiga kali, maka lebih utama mengulang
basuhan sebanyak tiga kali. Kalaupun keadaan sudah terpenuhi, tetapi kita
memilih mengulang satu kali, itu sudah mencukupi.
Contoh lagi tentang cara bersujud dalam shalat.
Mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan didasarkan
pada hadits dari Wâ’il bin Hujr ra bahwa ia melihat Nabi saw:
إِذَا سَجَدَ يَضَعُ
رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua lututnya
sebelum kedua tangannya, dan apabila bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya
sebelum kedua lututnya.” (HR. Al-Tirmidzi, Al-Nasâi, Abu Dâwud)
Sedangkan tuntunan untuk meletakkan kedua tangan lebih
dahulu sebelum kedua lutut didasarkan pada riwayat dari Abu Hurairah ra.:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ
فَلا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Apabila salah seorang kalian sujud, maka janganlah
mendekam seperti mendekamnya onta, hendaklah meletakkan kedua tangannya lebih
dahulu sebelum kedua lututnya. (HR. Abu Dâwud, al-Nasâi, Ahmad dan
al-Dârimi)
Kedua hadits ini secara lahiriyah
memang seperti bertentangan. Bagi Imam Ahmad, karena kedua cara tersebut
masing-masing ada dasar haditsnya maka beliau mempersilahkan untuk
dipilih salah satunya dan tidak usah dipertentangkan satu sama lain.
Memang bisa jadi Nabi saw melakukan keduanya, misal: beliau mendahulukan
lututnya dari pada tangannya ketika masih muda dan kuat bertumpu pada lututnya,
namun ketika sudah mulai tua, dan tidak lagi kuat bertumpu pada kedua lututnya,
maka beliau mendahulukan kedua tangannya dari pada kedua lututnya.
Karena
keterbatasan ruang, maka kami hanya mampu menyajikan satu metode dalam konsep Mukhtalif
al-hadits. Semoga sekelumit tulisan ini mampu menambah wawasan bagi kita,
sehingga kita akan semakin menyadari keberagaman yang ada dalam masyarakat.
Semoga kita semakin mampu mewujudkan ukhuwah islamiyah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar