buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Sabtu, 18 Juli 2015

AL-JAM'U WA AL-TAUFIQ



   Edisi 26 th VI : 10 Juli 2015 M / 23 Ramadhan 1436 H
AL-JAM’U WA AL-TAUFIQ
Penulis: Ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ ad-Darajaat, mayak)
Puji syukur pada Allah swt yang telah menurunkan wahyu pertama al-Qur’an pada bulan Ramadhan yang mulia, yaitu perintah bagi kita agar “membaca” atau belajar. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw sebagai guru terbaik sepanjang masa, yang menguraikan pelajaran agama dengan berbagai hadits yang dikeluarkan beliau.
Dalam keilmuan Islam, ada disiplin ilmu yang bernama Ulum al-Hadits yang membahas segala seluk-beluk tentang hadits. Salah satu cabangnya adalah mukhtalif al-hadits. Sekelumit tulisan tentang mukhtalif al-hadits ini diresume dari berbagai sumber, dan kami sajikan menjadi semacam makalah bagi pembaca bulletin TJ ini. Yang dimaksud dengan mukhtalif al-hadits secara bahasa adalah hadits-hadits yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain.  Para ulama ahli hadits mendefinisikan bahwa mukhtalif al-hadits adalah hadits-hadits yang tampak saling bertentangan satu sama lain. Namun, tidak selamanya hadits-hadits yang tampak bertentangan itu kontradiktif, sehingga dapat diselesaikan dengan metode-metode tertentu dengan ilmu tertentu. Perlu diperhatikan bahwa hadits-hadits yang dianggap bertentangan itu adalah hadits yang secara sanad dan matan terbukti shahih. Maka hadits yang lemah sanadnya tidak perlu dikompromikan dengan hadits yang jelas shahih. Hadits yang tampak mukhtalif tidak hanya terjadi antara hadits dengan hadits, bisa juga bertentangan dengan al-Qur’an dan rasio manusia.

Hadits tidak bisa dipahami secara tekstual saja, tetapi harus melihat kontekstual-nya dengan dibantu ilmu hadits lain seperti asbab al-wurud (sebab terjadinya hadits), tarikh al-mutun (sejarah isi hadits) dan ilmu lain yang dapat mendukung penyelesaian terhadap hadits yang tampak kontradiktif. Sedikitnya ada 4 metode yang digunakan oleh para ulama hadits dalam menyelesaikan hadits yang kontradiktif, yaitu: metode al-jam’u wa al-taufiq, metode tarjih, metode nasikh-mansukh, dan metode tawaqquf.
#Metode al-Jam’u wa al-Taufiq
Metode dengan cara menggabungkan dan mengkompromikan dua hadits yang tampak saling bertentangan, dan kedua hadits tersebut harus sama-sama shahih. Para ulama berpendapat metode ini lebih baik daripada dengan menggunakan metode tarjih. Salah satu kaedah fiqh bahwa “i’mal al-qaul khairun min ihmalihi” (mengamalkan suatu ucapan atau sabda itu lebih baik daripada membiarkannya untuk tidak diamalkan).
Contoh hadits tentang cara wudlu:

حدثنا الربيع, قال : أخبرنا الشافعي, قال : أخبرنا عبد العزيز بن محمد, عن زيد بن أسلم, عن عطاء بن يسار, عن ابن عباس, أن رسول الله ص.م وضأ وجهه ويديه, ومسح برأسه مرة مرة.

Dalam hadits ini bahwa Rasulullah saw berwudlu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali.
Sedangkan dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Muhammad saw berwudlu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali. Seperti hadits berikut :

اخبرنا الشافعي, قال : أخبرنا سفيان بن عيينة, عن هشام بن عروة, عن ابيه, عن حمران مولى عثمان بن عفان, ان النبي ص.م توضأ ثللاثا ثلاثا.

Kedua hadits ini secara lahiriyah memang seperti bertentangan, akan tetapi pada hakekatnya tidak. Menurut pendapat Imam Syafi’i, berwudlu dengan membasuh muka, kaki, dan mengusap kepala sudah mencukupi dengan satu kali saja, akan tetapi dengan mengulang sebanyak tiga kali lebih sempurna. Kedua hadits tersebut dapat diamalkan sesuai dengan konteks. Jika keadaan kita (terutama jumlah air) memang memungkinkan kita untuk mengulangi basuhan anggota wudlu sebanyak tiga kali, maka lebih utama mengulang basuhan sebanyak tiga kali. Kalaupun keadaan sudah terpenuhi, tetapi kita memilih mengulang satu kali, itu sudah mencukupi.

Contoh lagi tentang cara bersujud dalam shalat.
Mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan didasarkan pada hadits dari Wâ’il bin Hujr ra bahwa ia melihat Nabi saw:

إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“Apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR. Al-Tirmidzi, Al-Nasâi, Abu Dâwud)
Sedangkan tuntunan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu sebelum kedua lutut didasarkan pada riwayat dari Abu Hurairah ra.:

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Apabila salah seorang kalian sujud, maka janganlah mendekam seperti mendekamnya onta, hendaklah meletakkan kedua tangannya lebih dahulu sebelum kedua lututnya. (HR. Abu Dâwud, al-Nasâi, Ahmad dan al-Dârimi)
Kedua hadits ini secara lahiriyah memang seperti bertentangan. Bagi Imam Ahmad, karena kedua cara tersebut masing-masing ada dasar haditsnya maka beliau mempersilahkan untuk dipilih salah satunya dan tidak usah dipertentangkan satu sama lain. Memang bisa jadi Nabi saw melakukan keduanya, misal: beliau mendahulukan lututnya dari pada tangannya ketika masih muda dan kuat bertumpu pada lututnya, namun ketika sudah mulai tua, dan tidak lagi kuat bertumpu pada kedua lututnya, maka beliau mendahulukan kedua tangannya dari pada kedua lututnya.
            Karena keterbatasan ruang, maka kami hanya mampu menyajikan satu metode dalam konsep Mukhtalif al-hadits. Semoga sekelumit tulisan ini mampu menambah wawasan bagi kita, sehingga kita akan semakin menyadari keberagaman yang ada dalam masyarakat. Semoga kita semakin mampu mewujudkan ukhuwah islamiyah.
***










Tidak ada komentar:

Posting Komentar