buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 29 Juni 2016

LIMAU, BUAHNYA PEMBACA AL-QUR’AN (1)



       Edisi 27 th VII : 01 Juli 2016 M / 26 Ramadhan 1437 H
LIMAU, BUAHNYA PEMBACA AL-QUR’AN (1)
Penulis: ust. Dana A. Dahlany, Lc. (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah menyediakan bulan Ramadhan bagi kita dan berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 yang artinya “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw sebagai suri tauladan bagi kita semua.
Ramadhan selain dikenal sebagai bulan puasa dan bulan suci, juga sering diidentikkan dengan bulan al-Qur’an. Kenapa bisa demikian? Karena al-Qur’an diturunkan pertama kali pada bulan Ramadhan, tepatnya saat Lailatul Qadr sebagai mana tersirat dalam surat al-Qadr ayat 1 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr).” Oleh karena itu umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak membaca al-Qur’an, lebih-lebih di bulan Ramadhan, bulan turunnya kalam Tuhan. Sudah tak terbilang lagi dalil-dalil yg

menunjukkan keutamaan membaca dan mempelajari firman Allah. Setiap hurufnya bernilai sepuluh kebaikan. Jika dibaca dalam keadaan berwudhu, setiap huruf setara nilainya dengan 25 kebaikan. Orang yang membacanya dalam shalat (dalam posisi duduk) akan diganjar 50 kebaikan di tiap hurufnya dan 100 kebaikan tiap huruf (dalam posisi berdiri). Apalagi jika kita mau membacanya dalam shalat, saat kondisi berpuasa, di tengah-tengah bulan Ramadhan lagi, tentu bukan main pahalanya. Hanya Allah saja yang bisa menghitung dan membalasnya. Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya, “Apakah pahala itu hanya untuk mereka yang mampu memahaminya?” Beliau menjawab, “Paham maupun tidak (sama mendapat pahalanya).”
Ada perumpamaan menarik yang disampaikan Nabi Muhammad saw terkait orang yang membaca al-Qur’an ini. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad bin Hanbal, Rasulullah Saw. membagi umatnya menjadi 4 macam:
Pertama, orang beriman yang membaca al-Qur’an.
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ
“Perumpamaan orang beriman yang membaca al-Qur’an seperti Utrujjah (buah limau), baunya harum dan rasanya manis.”
Kenapa Nabi Muhammad saw mengumpamakan kelompok pertama ini seperti buah limau? Buah limau itu sejenis dengan buah jeruk dan lemon (citrus). Ukurannya lebih kecil daripada jeruk dan lebih besar daripada lemon (di antara keduanya). Jika sudah masak, rasanya manis. Oleh karenanya, buah ini disukai banyak orang. Dalam kitab Faidh al-Qadir, Syeikh Al-Munawy memaparkan beberapa keistimewaan Utrujjah ini. Ia mempunyai bentuk yang ideal, warna kuningnya menyegarkan penglihatan. Tekstur kulitnya lembut, aromanya harum dan menyegarkan. Setelah dikupas, bulir-bulirnya lumayan besar dan memuaskan, rasannya juga manis di lidah. Terkumpul sudah semua keistimewaan buah yang bisa dirasakan keempat indera manusia: penglihatan, peraba, penciuman dan perasa. Selain itu, secara medis, buah limau juga memiliki banyak manfaat. Di antaranya ia bisa menyehatkan pencernaan dan meningkatkan daya tahan tubuh karena kandungan vitamin C-nya. Juga mampu meremajakan kulit dan mengobati jerawat. Yang paling mutakhir, buah ini bisa dimanfaatkan untuk mencegah kanker dan menjaga kesehatan ginjal. Dan masih ada 30 manfaat lain yang bisa diambil dari buah limau. Seorang mukmin yang membaca al-Qur’an seharusnya juga mampu berperan layaknya buah limau. Keimanannya harus benar-benar mentes (padat berisi) sehingga bisa menebarkan manfaat bagi sesama manusia dan makhluk. Bacaan al-Qur’an mampu menjadi syiar agama di hadapan orang lain. Keberadaannya menjadi sebuah kenyamanan bagi masyarakat di sekelilingnya. Dan ketiadaannya menjadi kerinduan tersendiri bagi orang lain.

Kedua, orang beriman, tapi tidak membaca al-Qur’an. 
وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ   
“Dan perumpamaan orang beriman yang tidak membaca al-Qur’an seperti buah kurma, tidak beraroma dan rasanya manis.”
Kenapa Nabi Muhammad saw mengambil buah kurma sebagai gambaran kelompok kedua ini? Kurma itu rasanya memang manis dan seringkali menjadi makanan pokok. Buah ini mempunyai banyak khasiat. Selain sebagai sumber tenaga, kurma juga bisa digunakan untuk penangkal racun dan melancarkan buang air besar. Nutrisi yang dikandungnya juga sangat kompleks. Kandungan vitamin A berguna untuk kesehatan mata, kulit dan mencegah kanker mulut dan paru-paru. Kalium dalam kurma baik untuk kesehatan jantung, mampu membantu mengendalikan denyut jantung dan tekanan darah. Tapi, kurma tidak mempunyai aroma yang bisa memancing indera penciuman. Baunya tidak wangi, tidak harum, juga tidak busuk. Hanya biasa-biasa saja. Maka orang tidak akan mudah tertarik ketika melihatnya dari jarak jauh, karena sisi keistimewaannya baru muncul setelah buah itu dicicipi dan dirasakan lidah. Begitu juga halnya dengan orang beriman yang tidak mau membaca al-Qur’an. Meskipun secara esensi mereka mempunyai kelebihan, tapi kelebihan itu tak akan tampak sebelum ia membaca al-Qur’an. Daya syiar-nya di hadapan orang lain terkesan redup tak bercahaya. Keistimewaan yang dimilikinya kurang tergali dan terekspos, sehingga ia belum bisa memberikan kemanfaatan yang lebih luas dan lebih nyata bagi masyarakat di sekitarnya.
Penulis berpendapat bahwa yang dimaksud “membaca al-Qur’an” tentu saja bukan hanya membaca huruf per hurufnya. Tapi lebih dari itu, mereka juga harus mampu membaca makna kandungannya, memahami-meresapi nilai-nilai yang dipaparkannya dan tentu saja mengamalkan ajaran-ajarannya menjadi sebuah sikap yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang dicontohkan Nabi Muhammad saw, sang teladan yang menjadikan al-Qur’an sebagai akhlak beliau sehari-hari.
(bersambung)    




PUASA



       Edisi 26 th VII : 24 Juni 2016 M / 19 Ramadhan 1437 H
PUASA
Penulis: ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mukmin, Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah menyediakan bulan Ramadhan dan berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia yang sempurna ketakwaannya sehingga kita harus menjadikan beliau sebagi suri tauladan.
Kita tentu sering mendengar ayat ke 183 dari surat al-Baqarah dibacakan pada bulan Ramadhan: Beberapa hikmah puasa secara kejiwaan adalah puasa membiasakan kesabaran, menguatkan kemauan, mengajari dan membantu bagaimana menguasai diri, serta mewujudkan dan membentuk ketaqwaan yang kokoh dalam diri. Dari kajian psikologi, hal tersebut bisa dikaji dalam psikologi sosial.
Gustave Le Bon, seorang ahli psikologi menemukan teori psikologi massa. Yang dimaksud dengan “massa” atau “crowd” adalah kumpulan yang terdiri dari banyak orang yang mengadakan hubungan untuk sementara waktu karena minat atau kepentingan yang sementara pula. Pada kasus ini, jiwa individu akan melebur ke dalam jiwa massa dan bisa berubah dari jiwa aslinya. Jika dikaji dari teori psikologi massa, maka puasa melahirkan rasa kebersamaan di antara sesama kaum muslimin, sebuah rasa bahwa mereka adalah umat yang sama, makan di waktu yang sama dan tidak makan di waktu yang sama pula. Jiwa dan konsep kesehariannya melebur menjadi sesuatu yang baru yang tidak terdapat dalam keseharian sebelumnya. Orang

kaya menjadi sadar betapa melimpah nikmat Allah atas dirinya. Jika sebelumnya orang kaya senantiasa berkecukupan dan bisa makan apa saja di setiap waktu, sementara pada saat yang sama banyak orang-orang miskin yang masih saja kesulitan mencari makan. Maka pada saat puasa Ramadhan, orang kaya pun akan merasakan hal yang sama dengan orang miskin. Dengan terhalangnya dia dari menikmati makanan pada saat-saat tertentu serta rasa berat yang ia hadapi karenanya, maka akan mengingatkannya kepada orang-orang yang sama sekali tak dapat menikmati seperti apa yang dirasakannya. Ini akan mengharuskannya mensyukuri nikmat Allah atas dirinya berupa serba kecukupan, juga akan menjadikannya berbelas kasih kepada saudaranya yang memerlukan, dan mendorongnya untuk membantu mereka.
Hikmah puasa juga merambah kehidupan psikososial bagi pelakunya. Dalam bulan Ramadhan terjadi peningkatan komunikasi baik dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Kondisi psikologis individu akan membaik seiring semakin intensifnya komunikasi dengan Allah. Setiap doa dan ibadah akan bernilai pahala lipat ganda dibandingkan  bulan lainnya. Hal ini akan menjadi sugesti yang kuat bagi individu untuk menstimulus dirinya sendiri dalam rangka memperbaiki kualitas maupun kuantitas ibadah. Bertambahnya kualitas dan kuantitas ibadah di bulan Ramadhan juga akan meningkatkan komunikasi sosial dengan sesama manusia baik keluarga, saudara maupun tetangga. Interaksi sosial yang intens ini tentu akan menjadikan suasana nyaman dalam bermasyarakat. Jika sebelum Ramadhan, antar anggota masyarakat jarang bertemu langsung, maka di setiap malam bulan Ramadhan mereka dapat langsung interaksi bertemu di masjid atau mushala untuk shalat tarawih bersama. Ini menimbulkan efek positif dalam kehidupan sosial guna menciptakan stabilitas di lingkungan masyarakat.
Jika kondisi psikis masyarakat sudah bagus, tentu akan berdampak juga bagi kondisi psikis individu sebagai anggota masyarakat. Keadaan psikologis yang tenang serta teduh saat bulan Ramadhan ternyata dapat menurunkan adrenalin. Seperti kita ketahui bahwa puasa adalah menahan segala nafsu amarah, kebencian, iri hati dan sejenisnya. Dalam sebuah artikel kajian kesehatan disebutkan jika seseorang marah, maka terjadi peningkatan jumlah adrenalin sebesar 20-30 kali lipat. Adrenalin tersebut akan memperkecil kontraksi otot empedu, menyempitkan pembuluh darah perifer, meluaskan pembuluh darah koroner, meningkatkan tekanan darah reterial dan menambah pemompaan volume darah ke jantung dan juga menambah ritme jumlah detak jantung. Adrenalin juga menambah pembentukan kolesterol dari lemak protein berkepadatan rendah. Berbagai hal tersebut ternyata dapat meningkatkan resiko penyakit pembuluh darah, jantung dan otak seperti jantung koroner, stroke dan lainnya. Oleh karena itu, dengan berpuasa di bulan Ramadhan, berbagai macam penyakit tersebut dapat diminimalisir. Selain itu, dengan berpuasa ternyata juga bisa

membersihkan usus-usus, memperbaiki kerja pencernaan, membersihkan tubuh dari sisa-sisa dan endapan makanan, mengurangi kegemukan dan kelebihan lemak di perut. Penghentian konsumsi air selama puasa sangat efektif meningkatkan konsentrasi urin dalam ginjal serta meningkatkan kekuatan osmosis urin hingga mencapai 1000 sampai 12.000 ml osmosis/kg air. Dalam keadaan tertentu hal ini akan memberi perlindungan terhadap fungsi ginjal. Kekurangan air dalam puasa ternyata dapat meminimalkan volume air dalam darah. Kondisi ini memacu kinerja mekanisme lokal pengatur pembuluh darah dan menambah prostaglandin yang pada akhirnya memacu fungsi dan kerja sel darah merah. Penelitian kesehatan dalam ranah endokrinologi menunjukkan bahwa pola makan saat puasa yang bersifat rotatif menjadi beban dalam asimilasi makanan di dalam tubuh. Keadaan ini mengakibatkan pengeluaran hormon sistem pencernaan dan insulin dalam jumlah besar. Penurunan berbagai hormon tersebut merupakan salah satu rahasia hidup jangka panjang. Subhanallah …
Hikmah puasa yang lain dalam rangka pengekangan hawa nafsu adalah kita akan terbiasa mengosongkan hati hanya untuk berfikir dan berdzikir. Secara umum, jika kita sedang tidak berpuasa, berbagai nafsu bisa setiap saat muncul. Salah satu misal adalah nafsu makan. Kita bebas melampiaskan nafsu makan saat kita tidak sedang berpuasa. Hal seperti ini sering kali membuat terlena. Berbeda halnya jika perut kosong dari makanan dan minuman, akan menyebabkan hati bercahaya dan lunak, kekerasan hati sirna, untuk kemudian semata-mata dimanfaatkan untuk berdzikir dan berfikir tentang segala karunia Allah.
Dilihat dari secuil tulisan yang disunting dari berbagai media ini, tentunya kita akan berpikir ulang jutaan kali jika menyepelekan perihal puasa. Sungguh, tidaklah ada yang sia-sia dalam syariat Islam. Jika dikaji dari perspektif ilmu apapun, pastilah tetap ada sisi hikmahnya. Inilah salah satu pembuktian bahwa Islam adalah agama yang haq, yang tiada keraguan di dalamnya. Semoga kita senantiasa diberi ridha dan limpahan rahmat dari Allah agar dapat senantiasa memperbaiki diri dalam hal beragama.  Aamiin…
***