buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 01 Juni 2016

ORKESTRA ULAMA (1)



       Edisi 19 th VII : 6 Mei 2016 M / 28 Rajab 1437 H
ORKESTRA ‘ULAMA (1)
Penulis: ust. Dana A. Dahlany, Lc (TPQ ad-Darajaat Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Shalawat dan salam semoga tercurah pada nabi Muhammad saw yang menjadi suri tauladan bagi kita dalam hablum min Allah dan hablum minan nas. Suri tauladan tersebut sangat urgen untuk diimplementasikan dalam kehidupan nyata kita.
            Pernahkah anda mendengar suara biola yang dimainkan oleh orang yang belum mahir menggeseknya? "Ngek ngok ngek ngok ...." suaranya pasti membuat telinga kita gatal. Bukannya membuat hati damai, suara biola yang dimainkan oleh orang yang bukan ahlinya tersebut justru merisaukan pikiran, bahkan kadang bisa membuat perut mual. Belum lagi jika ditambah kualitas biola yang ala kadarnya, masih di bawah standar dan settingan senar yang kacau balau. Kalaupun kita tidak lari menjauh dari si pemain biola tersebut, tentunya kita akan menyumpalkan headset ke lubang telinga seraya memutar musik keras-keras dari smartphone. Pemain biola yang belum mahir memainkan biola itulah perumpamaan orang yang tak tahu agama, tapi sok-sokan bicara agama, ceramah di mana-mana dan berani-beraninya mengumbar fatwa. Dengan pede berani memberi hukum terhadap sesuatu yang tidak dikuasainya. Dia comot dalil, tapi tak paham tafsirnya secara detail. Tak ada yang tahu dari mana dia dapat materi itu. Dan yang lebih parah lagi, gurunya juga tak jelas siapa, mungkin hanya mengandalkan 'Syeikh' Google. Orang-orang semacam inilah yang meresahkan umat. Mereka miskin ilmu tapi terlalu bersemangat. Jeleknya, semangatnya ceramah tak diimbangi dengan semangatnya mencari ilmu dari para guru.

comot dalil, tapi tak paham tafsirnya secara detail. Tak ada yang tahu dari mana dia dapat materi itu. Dan yang lebih parah lagi, gurunya juga tak jelas siapa, mungkin hanya mengandalkan 'Syeikh' Google di internet. Orang-orang semacam inilah yang meresahkan umat. Mereka miskin ilmu tapi terlalu bersemangat. Jeleknya, semangat ceramah tak diimbangi dengan semangatnya mencari ilmu dari para guru.
Ada perumpamaan lain lagi. Kita berada di dekat seorang musisi yang mahir memainkan biola. Alunan nada dan irama merdu nan indah yang keluar dari gesekan biolanya mampu mengalir secara perlahan memasuki telinga kita, meresap ke dalam hati, merasuk ke relung jiwa hingga bisa menentramkan pikiran. Yang ini adalah perumpamaan seorang tokoh dan pakar agama yang bijak bestari. Beliau benar-benar menguasai ilmu-ilmu agama yang dipelajari dari sumber dan rujukan yang jelas melalui jalur guru yang diakui kredibilitasnya. Selain ilmunya yang sudah mapan, seorang alim yang bijak juga mampu menyampaikan ceramahnya secara kontekstual, sesuai dengan kondisi masyarakat yang dihadapinya. "Bicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akalnya," begitu pesan Nabi Muhammad saw. Tokoh agama semacam ini yang bisa membawa ketentraman untuk umat. Mutiara-mutiara hikmah yang meluncur dari bibir yang selalu berdzikir akan mampu menembus lubang telinga dan merasuk ke relung jiwa. Sesuatu yang keluar dari hati juga akan meresap ke dalam hati.
Kemudian kita mungkin pernah melihat atau mendengarkan pertunjukan orkestra, meskipun cuma di televisi. Panggung orkestra adalah sebuah persembahan dari para musisi handal yang mampu menggabungkan nada dan irama yang berbeda-beda menjadi sebuah kesatuan yang apik nan harmoni sehingga mampu membuat penonton dan pendengarnya berdecak kagum saat mengikuti alunan musik mereka. Para penonton tak segan-segan memberikan standing aplause sebagai apresiasi atas pertunjukan luar biasa yang dipertontonkan oleh para musisi handal itu. Pertunjukan orkestra semacam ini tentu bukan pertunjukan instan semalam jadi. Butuh waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk latihan dan mempersiapkan segala tetek bengeknya demi kesuksesan acara. Mereka tentu juga memiliki seorang konduktor berkarakter kuat sebagai leader yang mengatur komposisi dan peran masing-masing musisi secara tepat.
Analogi yang ketiga ini adalah perumpamaan untuk para tokoh agama mumpuni yang mampu bersatu padu memperkuat barisan dan bisa mengharmoniskan segala bentuk perbedaan yang berkembang di kalangan umat. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan manifestasi dari kasih sayang Tuhan. Pelangi tak akan tampak indah jika hanya tersusun dari satu warna, merah saja misalnya. Justru keindahannya tampak nyata ketika ketujuh warnanya muncul semua dan bersatu padu membentuk satu garis melengkung tanpa ada sekat di antara warna-warna itu.

Perbedaan tidak untuk dipertentangkan. Tapi perbedaan perlu diselaraskan agar bisa saling mengisi satu sama lain untuk membentuk sebuah keragaman. Dan salah satu unsur terpenting yang bisa diandalkan untuk merawat keragaman itu adalah para pemuka agama dan tokoh masyarakat. Dengan berbagai aliran dan perbedaan latar belakang, mereka mampu bersatu padu secara harmonis mempersembahkan komposisi terbaik layaknya sebuah orkestra. Usaha ini tak lain bertujuan untuk memberikan keteladanan kepada umat masing-masing dalam melestarikan kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Ketiga analogi yang telah kami paparkan di atas sebenarnya adalah sebuah anekdot yang dilontarkan oleh seorang rohaniawan asal Inggris yang memutuskan untuk menjalani gaya hidup selibat di Thailand. Ajahn Brahm, begitulah ia biasa dipanggil. Dalam buku "Opening The Door of Your Heart" ia menuangkan beberapa refleksi terkait persoalan hidup yang membelit umat manusia di zaman milenia ini.
Fenomena saat ini, sebagaimana kita ketahui, akhir-akhir ini marak sekali "ustadz/ustadzah" dadakan yang tiba-tiba muncul di berbagai media, terutama televisi. Tanpa malu-malu, mereka mengaku paham tentang masalah keagamaan. Padahal sebenarnya mereka adalah selebritis atau komedian yang mendadak di"ustadz"kan. Dan parahnya, "ustadz/ustadzah" seperti inilah yang justru lebih populer di telinga masyarakat luas. Sebenarnya tidak ada masalah jika mereka mendakwahkan agama dengan sikap santun, penuh kasih sayang, mencontohkan hidup sederhana dan bersahaja sesuai dengan karakter da'i yang sesungguhnya. Tapi masalah akan muncul ketika mereka mulai berani mengeluarkan statement ataupun berfatwa tanpa didasari keilmuan yang mumpuni, sehingga fatwa-fatwa mereka menimbulkan keresahan di masyarakat. Selain itu kehidupan mereka yang cenderung glamour dan hedonis juga membawa perspektif buruk dari masyarakat kepada seorang da'i. bisa jadi masyarakat akan berfikir bahwa da’i merupakan sebuah pekerjaan dan profesi yang “wah” dan menggiurkan.
(bersambung)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar