Edisi 27 th VII : 01 Juli 2016 M / 26 Ramadhan 1437 H
LIMAU, BUAHNYA PEMBACA AL-QUR’AN
(1)
Penulis:
ust. Dana A. Dahlany, Lc. (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah menyediakan bulan Ramadhan bagi kita dan berfirman dalam
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 yang artinya “Bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq
dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad
saw sebagai suri tauladan bagi kita semua.
Ramadhan selain dikenal sebagai
bulan puasa dan bulan suci, juga sering diidentikkan dengan bulan al-Qur’an.
Kenapa bisa demikian? Karena al-Qur’an diturunkan pertama kali pada bulan
Ramadhan, tepatnya saat Lailatul Qadr sebagai mana tersirat dalam surat
al-Qadr ayat 1 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya
(al-Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr).” Oleh karena itu umat
Islam dianjurkan untuk memperbanyak membaca al-Qur’an, lebih-lebih di bulan
Ramadhan, bulan turunnya kalam Tuhan. Sudah tak terbilang lagi
dalil-dalil yg
menunjukkan keutamaan membaca dan
mempelajari firman Allah. Setiap hurufnya bernilai sepuluh kebaikan. Jika
dibaca dalam keadaan berwudhu, setiap huruf setara nilainya dengan 25 kebaikan.
Orang yang membacanya dalam shalat (dalam posisi duduk) akan diganjar 50
kebaikan di tiap hurufnya dan 100 kebaikan tiap huruf (dalam posisi berdiri).
Apalagi jika kita mau membacanya dalam shalat, saat kondisi berpuasa, di
tengah-tengah bulan Ramadhan lagi, tentu bukan main pahalanya. Hanya Allah saja
yang bisa menghitung dan membalasnya. Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya, “Apakah
pahala itu hanya untuk mereka yang mampu memahaminya?” Beliau menjawab, “Paham
maupun tidak (sama mendapat pahalanya).”
Ada
perumpamaan menarik yang disampaikan Nabi Muhammad saw terkait orang yang
membaca al-Qur’an ini. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad bin Hanbal, Rasulullah Saw. membagi umatnya
menjadi 4 macam:
Pertama, orang beriman yang membaca al-Qur’an.
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ
كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ
“Perumpamaan orang beriman
yang membaca al-Qur’an seperti Utrujjah (buah limau), baunya
harum dan rasanya manis.”
Kenapa Nabi Muhammad saw
mengumpamakan kelompok pertama ini seperti buah limau? Buah limau itu sejenis
dengan buah jeruk dan lemon (citrus). Ukurannya lebih kecil daripada
jeruk dan lebih besar daripada lemon (di antara keduanya). Jika sudah masak,
rasanya manis. Oleh karenanya, buah ini disukai banyak orang. Dalam kitab Faidh
al-Qadir, Syeikh Al-Munawy memaparkan beberapa keistimewaan Utrujjah
ini. Ia mempunyai bentuk yang ideal, warna kuningnya menyegarkan
penglihatan. Tekstur kulitnya lembut, aromanya harum dan menyegarkan. Setelah
dikupas, bulir-bulirnya lumayan besar dan memuaskan, rasannya juga manis di
lidah. Terkumpul sudah semua keistimewaan buah yang bisa dirasakan keempat
indera manusia: penglihatan, peraba, penciuman dan perasa. Selain itu, secara
medis, buah limau juga memiliki banyak manfaat. Di antaranya ia bisa
menyehatkan pencernaan dan meningkatkan daya tahan tubuh karena kandungan
vitamin C-nya. Juga mampu meremajakan kulit dan mengobati jerawat. Yang paling
mutakhir, buah ini bisa dimanfaatkan untuk mencegah kanker dan menjaga
kesehatan ginjal. Dan masih ada 30 manfaat lain yang bisa diambil dari buah
limau. Seorang mukmin yang membaca al-Qur’an seharusnya juga mampu berperan
layaknya buah limau. Keimanannya harus benar-benar mentes (padat berisi)
sehingga bisa menebarkan manfaat bagi sesama manusia dan makhluk. Bacaan al-Qur’an
mampu menjadi syiar agama di hadapan orang lain. Keberadaannya menjadi sebuah
kenyamanan bagi masyarakat di sekelilingnya. Dan ketiadaannya menjadi kerinduan
tersendiri bagi orang lain.
Kedua, orang beriman, tapi tidak membaca al-Qur’an.
وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي
لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ
“Dan perumpamaan orang beriman
yang tidak membaca al-Qur’an seperti buah kurma, tidak beraroma dan
rasanya manis.”
Kenapa Nabi Muhammad saw
mengambil buah kurma sebagai gambaran kelompok kedua ini? Kurma itu rasanya
memang manis dan seringkali menjadi makanan pokok. Buah ini mempunyai banyak
khasiat. Selain sebagai sumber tenaga, kurma juga bisa digunakan untuk
penangkal racun dan melancarkan buang air besar. Nutrisi yang dikandungnya juga
sangat kompleks. Kandungan vitamin A berguna untuk kesehatan mata, kulit dan
mencegah kanker mulut dan paru-paru. Kalium dalam kurma baik untuk kesehatan
jantung, mampu membantu mengendalikan denyut jantung dan tekanan darah. Tapi,
kurma tidak mempunyai aroma yang bisa memancing indera penciuman. Baunya tidak
wangi, tidak harum, juga tidak busuk. Hanya biasa-biasa saja. Maka orang tidak
akan mudah tertarik ketika melihatnya dari jarak jauh, karena sisi
keistimewaannya baru muncul setelah buah itu dicicipi dan dirasakan lidah. Begitu
juga halnya dengan orang beriman yang tidak mau membaca al-Qur’an. Meskipun
secara esensi mereka mempunyai kelebihan, tapi kelebihan itu tak akan tampak
sebelum ia membaca al-Qur’an. Daya syiar-nya di hadapan orang lain terkesan
redup tak bercahaya. Keistimewaan yang dimilikinya kurang tergali dan
terekspos, sehingga ia belum bisa memberikan kemanfaatan yang lebih luas dan
lebih nyata bagi masyarakat di sekitarnya.
Penulis berpendapat bahwa yang
dimaksud “membaca al-Qur’an” tentu saja bukan hanya membaca huruf per
hurufnya. Tapi lebih dari itu, mereka juga harus mampu membaca makna kandungannya,
memahami-meresapi nilai-nilai yang dipaparkannya dan tentu saja mengamalkan
ajaran-ajarannya menjadi sebuah sikap yang bisa diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Inilah yang dicontohkan Nabi Muhammad saw, sang teladan yang
menjadikan al-Qur’an sebagai akhlak beliau sehari-hari.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar