Edisi 18 th VII : 29 April 2016 M / 21 Rajab 1437 H
QUNUT DAN IMAM SHALAT SUBUH
Penulis:
ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mu’min Bangunsari)
Segala puji hanya bagi Allah swt
yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat10 yang artinya “Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat.” Kemudian shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan
pada Nabi Muhammad saw sebagai sebaik-baik suri tauladan pemersatu umat.
Dalam
tulisan singkat ini, kami akan menyampaikan sedikit tentang fenomena qunut
subuh yang barangkali pernah kita alami. Tulisan ini merupakan rangkuman dari berbagai tulisan di buku, kitab,
maupun media lainnya serta penjelasan dari guru-guru kami. Dalam pemahaman kami
yang menganut madzab Syafi’i bahwasanya membaca do’a qunut ketika shalat subuh
hukumnya adalah sunnah. Sunnah dalam konteks ini adalah sunnah ab‘adl
sehingga jika terlewatkan disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi. Banyak dalil
yang menjadi dasar hukumnya, diantaranya hadits dalam riwayat Abu Dawud
disebutkan
انّ النبي صلى الله عليه وسلم يقنت فى
صلاة الصبح
Artinya:“Sesungguhnya Nabi saw membaca qunut pada shalat subuh.” (HR Abu Dawud). Sedangkan dalam hadits
lainnya, Imam Ahmad meriwayatkan sebagai berikut
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقنت فى
الفجر حتى فارق الدنيا
Artinya: “Rasulullah
saw membaca qunut pada waktu fajar (shalat subuh) sampai meninggal dunia.” (HR Ahmad)
Pengertian
qunut secara bahasa adalah pujian. Sedang menurut syara’ adalah dzikir
khusus yang mencakup pujian dan do’a seperti allahumaghfir li ya ghafur.
Oleh karenanya, jika tidak
mencakup kedua hal tersebut maka
bukan disebut qunut. Inilah pengertian yang masyhur di kalangan ulama madzhab
Syafi’i.
اَلْقُنُوتُ
هُوَ لُغَةً اَلثَّنَاءُ وَشَرْعاً ذِكْرٌ مَخْصُوصٌ مَشْتَمِلٌ عَلَى
ثَنَاءٍ وَدُعَاءٍ كَاللَّهُمَّ اغْفِرْ لِييَا غُفُورُ ، فَلَوْ لَمْ يَشْتَمِلْ
عَلَيْهِمَا لَمْ يَكُنْ قُنُوتاً.
Artinya, “Qunut secara bahasa berarti pujian, sedang menurut syara’ adalah dzikir khusus yang mencakup pujian dan do’a seperti Allahummaghfir li ya ghafur (Ya Allah, ampuni segala dosaku wahai dzat Yang Maha Pengampun). Dengan demikian seandainya tidak mencakup keduanya maka tidak disebut qunut,” (Lihat Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1417 H/1996 M, juz II, halaman 205).
Barangkali
sekali waktu atau bahkan mungkin setiap hari, kita menghadapi sebuah
permasalahan terkait dengan qunut ini. Misalnya kita shalat subuh berjamaah
bersama imam shalat yang berbeda pemahaman tentang qunut. Kita yang berada di posisi makmum meyakini bahwa
qunut subuh merupakan sunnah ab’adl dalam shalat sehingga jika tidak
membacanya maka melakukan sujud sahwi, sedangkan imam shalat tidaklah meyakini
demikian dan beliau tidak berqunut. Dalam situasi demikian, akan terjadi dua
kemungkinan. Pertama, imam shalat tidak berqunut namun berdiri
cukup lama saat i’tidal memberi kesempatan bagi makmum untuk membaca qunut
sendiri tanpa mengikuti imam. Kedua, imam shalat tidak berqunut
dan tidak memberikan cukup waktu saat i’tidal bagi makmum untuk membaca qunut
sendirian dan langsung sujud biasa meneruskan shalat.
Menanggapi fenomena imam dan makmum dalam
permasalahan perbedaan pandangan terkait qunut subuh, mari kita cermati
pendapat Abul Qasim Ar-Rafi‘i dalam kitab Al-‘Aziz yang merupakan syarah
atas kitab Al-Wajiz karya Al-Ghazali.
وَإِذَا جَوَّزْنَا اقْتِدَاءَ اَحَدِهِمَا
بِالْآخَرِفَلَوْ صَلَّي الشَّافِعِيُّ الصُّبْحَ خَلْفَ حَنَفِيٍّ وَمَكَثَ
الْحَنَفِيُّ بَعْدَ الرُّكُوعِ قَلِيلًا وَاَمْكَنَهُ اَنْ يَقْنُتَ فِيهِ فَعَلَ
وَاِلَّا تَابَعَهُ
Artinya, “Ketika kita membolehkan mengikuti salah satu dari keduanya, maka seandainya penganut madzhab Syafi’i bermakmum di belakang penganut madzhab Hanafi dan ia (penganut madzhab Hanafi) setelah ruku‘ berdiam sejenak dan memungkinkan si makmum untuk membaca doa qunut, maka bacalah. Jika tidak (berhenti sejenak), maka ikutilah imam,” (Lihat Abul Qasim Ar-Rafi‘i, Al-‘Aziz Syarhul Wajiz, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1417 H/1997 M, juz II, halaman 156).
Pada situasi pertama yang
menunjukkan pihak imam memberikan kesempatan kepada makmum untuk membaca
do`a qunut karena menghormatinya, maka dalam
konteks ini apa yang dilakukan imam patut kita apresiasi. Kita menggunakan kesempatan berdiri saat i’tidal
tersebut untuk membaca qunut meski imam shalat tidak membacanya. Perbedaan apa
yang dibaca makmum dengan imam ini tidaklah menjadi masalah yang membatalkan
shalat. Sama seperti sekiranya doa iftitah imam adalah “Allahumma ba’it
...” sedangkan makmum menggunakan “Kabiraw ...”. Seperti juga saat
shalat jamaah dzuhur dan ‘ashar dengan imam membaca secara sirri, maka
besar kemungkinan surat yang dibaca setelah fatihah dalam rakaat pertama dan
kedua adalah berbeda antara imam dengan makmum. Hal ini tidaklah membatalkan
shalat.
Adapun dalam situasi kedua
menunjukkan pihak imam tidak memberikan
kesempatan kepada makmum untuk membaca do`a qunut, maka dalam konteks ini makmum tetap wajib
mengikuti imam. Makmum tidak diperkenankan menyelisihi imam, misalnya makmum
nekad berqunut sementara imam sujud. Harus dipahami bahwasanya makmum akan
kehilangan rakaat shalatnya jika sengaja tertinggal dari imam sebanyak dua
rukun shalat. Oleh karenanya mengacu pada pendapat Abul Qasim Ar-Rafi‘i, maka
makmum wajib mengikuti imam. Adapun shalatnya tetap sah.
Dalam situasi kedua tersebut, kita perlu bersikap
sebijaksana mungkin. Kita tetap wajib menjaga ukhuwah islamiyah, namun
kita juga perlu menjaga keyakinan tatacara ibadah kita. Jika situasi yang kita
hadapi hanya sekali atau dua kali karena suatu keperluan di suatu tempat, maka
tak apalah. Namun jika memang kita berada di lingkungan yang demikian, ada
baiknya kita mengambil sebuah kebijakan yang sekiranya tidak menimbulkan mudharat
bagi pihak manapun. Misalnya, khusus untuk jamaah subuh, kita mencari tempat
yang memang imamnya sepaham dengan kita. Sedangkan untuk kegiatan jamaah shalat
lainnya yakni dzuhur, ‘ashar, maghrib dan ‘isyak maka kita bermakmum di
masjid/mushola terdekat meski beda pemahaman.
Semoga Allah menjaga kita dari segala hal yang
sekiranya berpotensi merusak ukhuwah islamiyah dan keharmonisan sosial
kita. Aamiin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar