buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 01 Juni 2016

QUNUT DAN IMAM SHALAT SUBUH



       Edisi 18 th VII : 29 April 2016 M / 21 Rajab 1437 H
QUNUT DAN IMAM SHALAT SUBUH
Penulis: ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mu’min Bangunsari)
Segala puji hanya bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat10 yang artinya “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” Kemudian shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Nabi Muhammad saw sebagai sebaik-baik suri tauladan pemersatu umat.
            Dalam tulisan singkat ini, kami akan menyampaikan sedikit tentang fenomena qunut subuh yang barangkali pernah kita alami. Tulisan ini merupakan rangkuman dari berbagai tulisan di buku, kitab, maupun media lainnya serta penjelasan dari guru-guru kami. Dalam pemahaman kami yang menganut madzab Syafi’i bahwasanya membaca do’a qunut ketika shalat subuh hukumnya adalah sunnah. Sunnah dalam konteks ini adalah sunnah ab‘adl sehingga jika terlewatkan disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi. Banyak dalil yang menjadi dasar hukumnya, diantaranya hadits dalam riwayat Abu Dawud disebutkan
انّ النبي صلى الله عليه وسلم يقنت فى صلاة الصبح
Artinya:“Sesungguhnya Nabi saw membaca qunut pada shalat subuh.”  (HR Abu Dawud). Sedangkan dalam hadits lainnya, Imam Ahmad meriwayatkan sebagai berikut
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقنت فى الفجر حتى فارق الدنيا
Artinya: “Rasulullah saw membaca qunut pada waktu fajar (shalat subuh) sampai meninggal dunia.” (HR Ahmad)

Pengertian qunut secara bahasa adalah pujian. Sedang menurut syara’ adalah dzikir khusus yang mencakup pujian dan do’a seperti allahumaghfir li ya ghafur. Oleh karenanya, jika tidak mencakup kedua hal tersebut maka bukan disebut qunut. Inilah pengertian yang masyhur di kalangan ulama madzhab Syafi’i.

اَلْقُنُوتُ  هُوَ لُغَةً اَلثَّنَاءُ وَشَرْعاً ذِكْرٌ مَخْصُوصٌ مَشْتَمِلٌ عَلَى ثَنَاءٍ وَدُعَاءٍ كَاللَّهُمَّ اغْفِرْ لِييَا غُفُورُ ، فَلَوْ لَمْ يَشْتَمِلْ عَلَيْهِمَا لَمْ يَكُنْ قُنُوتاً.

Artinya, “Qunut secara bahasa berarti pujian, sedang menurut syara’ adalah dzikir khusus yang mencakup pujian dan do’a seperti Allahummaghfir li ya ghafur (Ya Allah, ampuni segala dosaku wahai dzat Yang Maha Pengampun). Dengan demikian seandainya tidak mencakup keduanya maka tidak disebut qunut,” (Lihat Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1417 H/1996 M, juz II, halaman 205).
Barangkali sekali waktu atau bahkan mungkin setiap hari, kita menghadapi sebuah permasalahan terkait dengan qunut ini. Misalnya kita shalat subuh berjamaah bersama imam shalat yang berbeda pemahaman tentang qunut. Kita yang berada di posisi makmum meyakini bahwa qunut subuh merupakan sunnah ab’adl dalam shalat sehingga jika tidak membacanya maka melakukan sujud sahwi, sedangkan imam shalat tidaklah meyakini demikian dan beliau tidak berqunut. Dalam situasi demikian, akan terjadi dua kemungkinan. Pertama, imam shalat tidak berqunut namun berdiri cukup lama saat i’tidal memberi kesempatan bagi makmum untuk membaca qunut sendiri tanpa mengikuti imam. Kedua, imam shalat tidak berqunut dan tidak memberikan cukup waktu saat i’tidal bagi makmum untuk membaca qunut sendirian dan langsung sujud biasa meneruskan shalat.
Menanggapi fenomena imam dan makmum dalam permasalahan perbedaan pandangan terkait qunut subuh, mari kita cermati pendapat Abul Qasim Ar-Rafi‘i dalam kitab Al-‘Aziz yang merupakan syarah atas kitab Al-Wajiz karya Al-Ghazali.

وَإِذَا جَوَّزْنَا اقْتِدَاءَ اَحَدِهِمَا بِالْآخَرِفَلَوْ صَلَّي الشَّافِعِيُّ الصُّبْحَ خَلْفَ حَنَفِيٍّ وَمَكَثَ الْحَنَفِيُّ بَعْدَ الرُّكُوعِ قَلِيلًا وَاَمْكَنَهُ اَنْ يَقْنُتَ فِيهِ فَعَلَ وَاِلَّا تَابَعَهُ

Artinya, “Ketika kita membolehkan mengikuti salah satu dari keduanya, maka seandainya penganut madzhab Syafi’i bermakmum di belakang penganut madzhab Hanafi dan ia (penganut madzhab Hanafi) setelah ruku‘ berdiam sejenak dan memungkinkan si makmum untuk membaca doa qunut, maka bacalah. Jika tidak (berhenti sejenak), maka ikutilah imam,” (Lihat Abul Qasim Ar-Rafi‘i, Al-‘Aziz Syarhul Wajiz, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1417 H/1997 M, juz II, halaman 156).

Pada situasi pertama yang menunjukkan pihak imam memberikan kesempatan kepada makmum untuk membaca do`a qunut karena menghormatinya, maka dalam konteks ini apa yang dilakukan imam patut kita apresiasi. Kita menggunakan kesempatan berdiri saat i’tidal tersebut untuk membaca qunut meski imam shalat tidak membacanya. Perbedaan apa yang dibaca makmum dengan imam ini tidaklah menjadi masalah yang membatalkan shalat. Sama seperti sekiranya doa iftitah imam adalah “Allahumma ba’it ...” sedangkan makmum menggunakan “Kabiraw ...”. Seperti juga saat shalat jamaah dzuhur dan ‘ashar dengan imam membaca secara sirri, maka besar kemungkinan surat yang dibaca setelah fatihah dalam rakaat pertama dan kedua adalah berbeda antara imam dengan makmum. Hal ini tidaklah membatalkan shalat.
Adapun dalam situasi kedua menunjukkan pihak imam tidak memberikan kesempatan kepada makmum untuk membaca do`a qunut, maka dalam konteks ini makmum tetap wajib mengikuti imam. Makmum tidak diperkenankan menyelisihi imam, misalnya makmum nekad berqunut sementara imam sujud. Harus dipahami bahwasanya makmum akan kehilangan rakaat shalatnya jika sengaja tertinggal dari imam sebanyak dua rukun shalat. Oleh karenanya mengacu pada pendapat Abul Qasim Ar-Rafi‘i, maka makmum wajib mengikuti imam. Adapun shalatnya tetap sah.
Dalam situasi kedua tersebut, kita perlu bersikap sebijaksana mungkin. Kita tetap wajib menjaga ukhuwah islamiyah, namun kita juga perlu menjaga keyakinan tatacara ibadah kita. Jika situasi yang kita hadapi hanya sekali atau dua kali karena suatu keperluan di suatu tempat, maka tak apalah. Namun jika memang kita berada di lingkungan yang demikian, ada baiknya kita mengambil sebuah kebijakan yang sekiranya tidak menimbulkan mudharat bagi pihak manapun. Misalnya, khusus untuk jamaah subuh, kita mencari tempat yang memang imamnya sepaham dengan kita. Sedangkan untuk kegiatan jamaah shalat lainnya yakni dzuhur, ‘ashar, maghrib dan ‘isyak maka kita bermakmum di masjid/mushola terdekat meski beda pemahaman.
Semoga Allah menjaga kita dari segala hal yang sekiranya berpotensi merusak ukhuwah islamiyah dan keharmonisan sosial kita. Aamiin.
***






Tidak ada komentar:

Posting Komentar