buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 01 Juni 2016

ORKESTRA ULAMA (2)



       Edisi 20 th VII : 13 Mei 2016 M / 6 Sya’ban 1437 H
ORKESTRA ‘ULAMA (2)
Penulis: ust. Dana A. Dahlany, Lc (TPQ ad-Darajaat Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Jumu’ah ayat 5 yang artinya: “perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” Shalawat dan salam semoga tercurah pada nabi Muhammad saw yang menjadi suri tauladan bagi kita dalam hablum min Allah dan hablum minan nas. Suri tauladan tersebut sangat urgen untuk diimplementasikan dalam kehidupan nyata kita.
            Kita tahu, akhir-akhir ini marak sekali "ustadz/ustadzah" dadakan yang tiba-tiba muncul di berbagai media, terutama televisi. Tanpa malu-malu, mereka mengaku paham tentang masalah keagamaan. Padahal sebenarnya mereka adalah selebritis atau komedian yang mendadak di"ustadz"kan. Dan parahnya, "ustadz/ustadzah" seperti inilah yang justru lebih populer di telinga masyarakat luas.
Sebenarnya tidak ada masalah berarti jika mereka mendakwahkan agama dengan sikap santun, penuh kasih sayang, mencontohkan hidup sederhana dan bersahaja sesuai dengan karakter da'i yang sesungguhnya. Tapi masalah akan muncul ketika mereka mulai berani berfatwa atau mengeluarkan statement tanpa didasari keilmuan yang mumpuni, sehingga fatwa ataupun statement mereka menimbulkan keresahan di masyarakat. Selain itu kehidupan mereka yang cenderung glamour dan hedonis juga membawa perspektif buruk dari masyarakat tentang sosok seorang da'i.

Dan yang paling parah adalah ketika mereka sudah berani meng"komodifikasi"kan agama, istilah keren untuk usaha menjual agama demi mengeruk keuntungan pribadi, atau menjual sebuah ideologi/aliran politik dengan label agama. Inilah yang kelak akan mereduksi makna dan esensi dari sebuah agama. Agama yang dulu dikenal sebagai sebuah jalan dan pedoman hidup, kini hanya dianggap sebagai materi, barang dagangan, atau sekedar bungkus belaka. Untuk itu, tak salah jika mereka diibaratkan orang yang memegang biola, tapi tak tahu cara memainkannya. "Ngek ngok ngek ngok" suaranya. Atau dalam bahasa al-Quran diibaratkan sebagai "keledai yang membawa tumpukan kitab" sebagaimana disebutkan dalam surat al-Jumu’ah ayat 5. Bukannya menjadi tuntunan, mereka hanya akan menjadi bahan lelucon di tengah masyarakat yang "tahu dan paham".
Ulama itu ibarat lentera bagi umat. Sehingga ada perkataan yang sangat indah; “al-ulama’u surujud dun-ya wa mashabihul akhirat.” Artinya: ulama merupakan lenteranya dunia dan lampunya akhirat. Tentu sudah seharusnyalah apabila kita memuliakan para ulama. Dalam hal ini, memuliakan ulama sangat dianjurkan dalam agama Islam. Rasulullah saw bersabda dalam hadits: ''Sesungguh nya sebagian dari mengagungkan Allah adalah; memuliakan orang tua muslim, memuliakan hafidz al-Qur’an yang tak melewati batas dan memuliakan pemimpin yang adil.'' (HR Abu Dawud). Bahkan, Rasulullah saw menyatakan, mereka yang tak memuliakan ulama bukanlah bagian dari umatnya sebagaimana dalam hadits: ''Bukan termasuk umatku orang yang tak menghormati orang tua, tidak menyayangi anak-anak dan tidak memuliakan alim ulama.'' (HR Ahmad, Thabrani dan Hakim).  Dalam hadits lainnya disebutkan pula:  ''Aku tidak mengkhawatirkan umatku kecuali tiga hal. Pertama, keduniaan berlimpah, sehingga manusia saling mendengki. Kedua, orang-orang jahil yang berusaha menafsirkan al-Quran dan mencari-cari ta'wilnya, padahal tak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah. Ketiga, alim ulama ditelantarkan dan tidak akan dipedulikan oleh umatku.'' (HR Thabrani). Lalu barangkali kita masih bertanya, siapakah “ulama”? Al-Qur’an menjelaskannya dalam surat Fathir ayat 28: “Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya adalah ulama.”
Jika kita mencermati hal-hal tersebut, tentu kita memahami bahwa umat yang tidak menghiraukan para ulama akan berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Hal ini karena umat tersebut akan berjalan pada jalan yang tidak semestinya. Bisa jadi mereka tidak memahami agama, namun sembarangan mengimplementasikan ayat al-Qur’an sesuai nafsunya.
Itulah pentingnya kita mengidolakan dan meneladani laku para ulama yang bijak bestari. Karena selain mereka memang ahli di bidangnya, mereka mampu membawa misi agama ini secara arif, santun, tidak kaku, tidak Arabsentris dan tetap

kontekstual dengan budaya masyarakat setempat. Lebih dari itu, mereka mampu mengharmoniskan perbedaan yang ada di masyarakat menjadi sebuah kekayaan yang perlu dipertahankan.
Sebenarnya Indonesia ini memiliki banyak sekali ulama pakar agama yang benar-benar ahli di bidangnya. Sepanjang umurnya, para ulama ini tak pernah lelah mendalami ilmu-ilmu agama, mulai bangku TPQ/Madin, pesantren hingga meraih gelar Profesor Doktor dari luar negeri. Tapi sayangnya, para pakar ini sering dikata-katai sebagai "wahabi lah, liberal lah, syi'ah lah” atau bahkan “agen zionis" oleh para fans dan idola para "ustadz" tipe pertama tadi. Inilah yang kami rasa sikap "kuwalik" dari masyarakat kita. Yang ahli dibilang goblok, tapi yang goblok justru dibilang ahli. Tontonan jadi tuntunan, tuntunan jadi tontonan.
Kita baru merasa kehilangan setelah kita ditinggal wafat oleh para ulama yang bersahaja itu. Satu per satu ulama yang memiliki kredibilitas dan berkompeten di bidang agama mulai hilang karena dipanggil Sang Pencipta. Yang terbaru adalah berita wafatnya Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Ya'qub, imam besar masjid Istiqlal Jakarta yang mampu teguh memegang prinsip, tapi juga mampu mendakwahkan agama secara santun. Mungkin ada di antara kita yang baru menyadari peran beliau setelah beliau tiada. Betapa ilmu-ilmu dan fatwa beliau sangat dibutuhkan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia ini.
            Ulama memang orang-orang pilihan sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mujadalah ayat 11: ”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan.” Adapun setiap ulama memiliki keahlian yang berbeda satu dengan lainnya. Dan jika para ulama di berbagai pelosok nusantara ini bisa bersatu padu menciptakan sebuah harmoni yang merdu, tentu Indonesia akan tetap aman, tentram dan damai dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya. Inilah yang kami sebut dengan Orkestra Ulama.
            Semoga Allah meridhai para ulama kita dan membukakan hati kita agar senantiasa dekat dengan mereka serta menjadikan mereka sebagai tuntunan, bukan sekedar tontonan. Aamiin.
***






Tidak ada komentar:

Posting Komentar