Edisi 20 th VII : 13 Mei 2016 M / 6 Sya’ban 1437 H
ORKESTRA ‘ULAMA (2)
Penulis:
ust. Dana A. Dahlany, Lc (TPQ
ad-Darajaat
Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah berfirman dalam
al-Qur’an surat al-Jumu’ah ayat
5 yang artinya: “perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang
membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum
yang zalim.” Shalawat dan salam semoga tercurah pada nabi Muhammad saw yang menjadi
suri tauladan bagi kita dalam hablum min Allah dan hablum minan nas.
Suri tauladan tersebut sangat urgen untuk diimplementasikan dalam kehidupan
nyata kita.
Kita tahu,
akhir-akhir ini marak sekali "ustadz/ustadzah" dadakan yang tiba-tiba
muncul di berbagai media, terutama televisi. Tanpa malu-malu, mereka mengaku
paham tentang masalah keagamaan. Padahal sebenarnya mereka adalah selebritis
atau komedian yang mendadak di"ustadz"kan. Dan parahnya,
"ustadz/ustadzah" seperti inilah yang justru lebih populer di telinga
masyarakat luas.
Sebenarnya tidak ada masalah
berarti jika mereka mendakwahkan agama dengan sikap santun, penuh kasih sayang,
mencontohkan hidup sederhana dan bersahaja sesuai dengan karakter da'i yang
sesungguhnya. Tapi masalah akan muncul ketika mereka mulai berani berfatwa atau
mengeluarkan statement tanpa didasari keilmuan yang mumpuni, sehingga fatwa
ataupun statement mereka menimbulkan keresahan di masyarakat. Selain itu
kehidupan mereka yang cenderung glamour dan hedonis juga membawa perspektif
buruk dari masyarakat tentang sosok seorang da'i.
Dan yang
paling parah adalah ketika mereka sudah berani meng"komodifikasi"kan
agama, istilah keren untuk usaha menjual agama demi mengeruk keuntungan
pribadi, atau menjual sebuah ideologi/aliran politik dengan label agama. Inilah
yang kelak akan mereduksi makna dan esensi dari sebuah agama. Agama yang dulu
dikenal sebagai sebuah jalan dan pedoman hidup, kini hanya dianggap sebagai
materi, barang dagangan, atau sekedar bungkus belaka. Untuk itu, tak salah jika
mereka diibaratkan orang yang memegang biola, tapi tak tahu cara memainkannya.
"Ngek ngok ngek ngok" suaranya. Atau dalam bahasa al-Quran
diibaratkan sebagai "keledai yang membawa tumpukan kitab"
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Jumu’ah ayat 5. Bukannya menjadi
tuntunan, mereka hanya akan menjadi bahan lelucon di tengah masyarakat yang
"tahu dan paham".
Ulama itu
ibarat lentera bagi umat. Sehingga ada perkataan yang sangat indah; “al-ulama’u
surujud dun-ya wa mashabihul akhirat.” Artinya: ulama merupakan lenteranya
dunia dan lampunya akhirat. Tentu sudah seharusnyalah apabila kita memuliakan
para ulama. Dalam hal ini, memuliakan ulama sangat dianjurkan dalam agama
Islam. Rasulullah saw bersabda dalam hadits: ''Sesungguh nya sebagian
dari mengagungkan Allah adalah; memuliakan orang tua muslim, memuliakan hafidz
al-Qur’an yang tak melewati batas dan memuliakan pemimpin yang adil.''
(HR Abu Dawud). Bahkan, Rasulullah saw menyatakan, mereka yang tak memuliakan
ulama bukanlah bagian dari umatnya
sebagaimana dalam hadits: ''Bukan termasuk umatku orang yang tak
menghormati orang tua, tidak menyayangi anak-anak dan tidak memuliakan alim
ulama.'' (HR Ahmad, Thabrani dan Hakim). Dalam hadits lainnya
disebutkan pula: ''Aku tidak mengkhawatirkan umatku kecuali tiga
hal. Pertama, keduniaan berlimpah, sehingga manusia saling mendengki. Kedua,
orang-orang jahil yang berusaha menafsirkan al-Qur’an dan mencari-cari ta'wilnya, padahal tak
ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah. Ketiga, alim ulama ditelantarkan
dan tidak akan dipedulikan oleh umatku.'' (HR Thabrani). Lalu
barangkali kita masih bertanya, siapakah “ulama”? Al-Qur’an menjelaskannya
dalam surat
Fathir ayat 28: “Sesungguhnya
hanyalah yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya adalah ulama.”
Jika kita
mencermati hal-hal tersebut, tentu kita memahami bahwa umat yang tidak
menghiraukan para ulama akan berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan.
Hal ini karena umat tersebut akan berjalan pada jalan yang tidak semestinya. Bisa jadi mereka tidak memahami agama, namun
sembarangan mengimplementasikan ayat al-Qur’an sesuai nafsunya.
Itulah
pentingnya kita mengidolakan dan meneladani laku para ulama yang bijak bestari.
Karena selain mereka memang ahli di bidangnya, mereka mampu membawa misi agama
ini secara arif, santun, tidak kaku, tidak Arabsentris dan tetap
kontekstual dengan budaya
masyarakat setempat. Lebih dari itu, mereka mampu mengharmoniskan perbedaan
yang ada di masyarakat menjadi sebuah kekayaan yang perlu dipertahankan.
Sebenarnya
Indonesia ini memiliki banyak sekali ulama pakar agama yang benar-benar ahli di
bidangnya. Sepanjang umurnya, para ulama ini tak pernah lelah mendalami
ilmu-ilmu agama, mulai bangku TPQ/Madin, pesantren hingga meraih gelar Profesor
Doktor dari luar negeri. Tapi sayangnya, para pakar ini sering dikata-katai
sebagai "wahabi lah, liberal lah, syi'ah lah” atau bahkan “agen
zionis" oleh para fans dan idola para "ustadz" tipe pertama
tadi. Inilah yang kami rasa sikap "kuwalik" dari masyarakat
kita. Yang ahli dibilang goblok, tapi yang goblok justru dibilang ahli.
Tontonan jadi tuntunan, tuntunan jadi tontonan.
Kita baru
merasa kehilangan setelah kita ditinggal wafat oleh para ulama yang bersahaja
itu. Satu per satu ulama yang memiliki kredibilitas dan berkompeten di bidang
agama mulai hilang karena dipanggil Sang Pencipta. Yang terbaru adalah berita
wafatnya Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Ya'qub, imam besar masjid Istiqlal Jakarta
yang mampu teguh memegang prinsip, tapi juga mampu mendakwahkan agama secara
santun. Mungkin ada di antara kita yang baru menyadari peran beliau setelah
beliau tiada. Betapa ilmu-ilmu dan fatwa beliau sangat dibutuhkan dalam
kehidupan bangsa dan negara Indonesia ini.
Ulama
memang orang-orang pilihan sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mujadalah ayat 11: ”Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan.” Adapun setiap
ulama memiliki keahlian yang berbeda satu dengan lainnya. Dan jika para ulama
di berbagai pelosok nusantara ini bisa bersatu padu menciptakan sebuah harmoni
yang merdu, tentu Indonesia akan tetap aman, tentram dan damai dengan Bhinneka
Tunggal Ika-nya. Inilah yang kami sebut dengan Orkestra Ulama.
Semoga
Allah meridhai para ulama kita dan membukakan hati kita agar senantiasa dekat
dengan mereka serta menjadikan mereka sebagai tuntunan, bukan sekedar tontonan.
Aamiin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar