Edisi 37 th VII : 16 September 2016 M / 14 Dzul Hijjah
1437 H
DUA AYAH YANG DIKORBANKAN (bag.
2)
Penulis:
ust. Dana A. Dahlany, Lc (TPQ ad-Darajaat Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 214 yang artinya
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman
bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu teramat dekat.” Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw yang merupakan keturunan dari dua
orang hebat yang pernah dikorbankan.
Pada edisi yang lalu, kami telah
menceritakan tentang Abdul Muthalib yang hendak mengorbankan Abdullah (ayah nabi
Muhammad saw), namun dicegah oleh para tokoh Quraisy. Mereka memberi saran agar
Abdul Muthalib menemui seorang wanita paranormal. Maka berangkatlah
Abdul Muthalib bersama rombongannya. Sesampainya di Khaibar, ia menemui
paranormal itu dan menceritakan masalahnya.
“Untuk hari ini, kamu
sebaiknya pulang dulu. Aku akan memanggil pelayanku dulu dan menanyakan
permasalahanmu ini kepadanya. Kembalilah lagi setelah aku mendapat jawabannya,”
pinta wanita paranormal tersebut.
Beberapa waktu kemudian,
rombongan Abdul Muthalib kembali ke tempat wanita paranormal itu. “Aku sudah
dapat jawabannya. Aku tanya dulu, berapa diyat (tebusan nyawa) yang berlaku di
tempatmu?” tanya wanita itu.
“10 ekor
unta,” jawab Abdul Muthalib. Maka wanita paranormal memberikan saran, “Kembalilah
ke kotamu. Siapkan 10 ekor unta bersama putramu yang akan dikorbankan, lalu
undilah keduanya dengan anak panah. Jika yang keluar adalah nama anakmu, maka
tambahlah 10 ekor lagi sampai Tuhanmu ridha terhadapmu. Dan jika yang keluar
undiannya adalah unta-unta itu, maka sembelihlah unta-unta itu sebagai tebusan
atas putramu. Dengan begitu, Tuhanmu akan ridha terhadapmu,”
Sesampainya di
Makkah, para tokoh suku Quraisy segera melaksanakan apa yang disarankan oleh
wanita tadi. Abdul Muthalib menyiapkan putranya, Abdullah bersama 10 ekor unta
untuk diundi dengan anak panah. Lantas ia menghadap Hubal dan berdoa kepada
Allah. Tak lama berselang, keluarlah nama Abdullah dari anak panah itu. Jumlah
unta yang tadinya hanya 10 ekor ditambah 10 lagi menjadi 20 ekor. Undian
putaran kedua dimulai. Dari anak panah itu keluar lagi nama Abdullah. Unta
ditambah lagi menjadi 30 ekor. Undian dilanjutkan ke putaran ketiga. Lagi-lagi
nama Abdullah yang keluar. Dan undian ini berlanjut terus hingga sepuluh kali.
Selama itu pula, Abdul Muthalib selalu berdoa kepada Allah di samping berhala
Hubal.
Setelah unta
ditambahkan sepuluh kali, jumlah totalnya kini menjadi 100 ekor. Baru pada kali
ke-10 inilah akhirnya bukan nama Abdullah yang keluar dari anak panah itu,
melainkan unta-unta itu. Kaum Quraisy pun bersorak gembira, “Akhirnya
selesai sudah undian ini. Kamu telah mendapat ridha dari Allah, wahai Abdul Muthalib!”
Tapi apa jawaban Abdul Muthalib? “Tidak, ini belum selesai sampai aku
melemparkan anak panah ini sebanyak tiga kali lagi,” kata Abdul Muthalib
seraya meyakinkan dirinya sendiri. Lalu ia kembali berdoa seraya melemparkan
anak panah itu. Lemparan kedua keluar undian atas nama unta. Dan yang ketiga
juga unta lagi. Sejak saat itu, Abdul Muthalib merasa lega dan akhirnya
menyembelih 100 ekor unta sebagai tebusan bagi Abdullah. Nadzarnya tunai sudah
dan putra kesayangannya masih bisa menghirup nafas di dunia.
***
Dari kisah ini
kita bisa mengambil sebuah hikmah. Betapa untuk melahirkan seorang insan luar
biasa, para leluhur Nabi Muhammad saw. rela menghadapi ujian maha berat yang
tidak bisa ditanggung oleh manusia biasa. Mengorbankan putra kesayangan sendiri
untuk dipersembahkan kepada Sang Pencipta tidak semudah menyembelih seekor
kambing. Itulah yang dipertunjukkan oleh Nabi Ibrahim as dan Abdul Muthalib.
Sedangkan Nabi Ismail dan Abdullah menunjukkan sebuah teladan nyata bahwa
seorang anak tetap harus berbakti dan patuh sepenuhnya kepada orang tua,
meskipun harus mempertaruhkan nyawa, selama hal itu tidak bertentangan dengan
ketentuan Tuhannya. Tak heran rasanya bila mereka bisa menitiskan seorang
pemimpin tangguh yang kapasitasnya tidak hanya diakui oleh manusia, tapi juga
men
dapat apresiasi dari semua
makhluk di alam semesta, Nabi Besar Muhammad Saw. Junjungan umat Islam ini
ternyata lahir dari leluhur yang telah menjalani pengorbanan terberat yang
pernah dialami umat manusia.
Inilah
pelajaran berharga untuk kita. Jika kita ingin menggapai kejayaan dan
kesuksesan, kita harus rela dan tahan banting tatkala menghadapi ujian berat.
Kemenangan selalu berada di ujung usaha yang melelahkan. Tanpa pengorbanan,
seorang insan tak akan mencapai kesuksesan yang didambakan. Itulah esensi dan
substansi dari hari raya Idul Adha, hari kemenangan bagi mereka yang berani
berkorban dengan harta dan jiwanya.
Dunia adalah
tempat ujian, sedangkan akhirat adalah tempat pembalasan. Ibarat anak sekolah,
diuji dahulu baru diberi nilai, penghargaan, hadiah serta naik kelas atau
sebaliknya. Lulus dalam ujian akan menaikkan derajat seseorang. Semakin tinggi
derajat seseorang, maka semakin berat cobaannya. Ujian anak SMA bisa dipastikan
lebih berat dibandingkan ujian anak SD. Semakin tinggi pohon, maka semakin
besar tiupan anginnya.
Dalam konteks
hubungan antara hamba dengan Tuhan, maka derajat yang teringgi adalah para
Nabi. Oleh karena itu, ujian terdahsyat diterima oleh para Nabi. Sebagaimana hadits nabi Muhammad saw yang
artinya: “Manusia yang paling dashyat cobaannya adalah para anbiya’ kemudian
orang-orang serupa lalu orang-orang yang serupa. Seseorang itu diuji menurut
ukuran (dalam suatu riwayat ‘kadar’) agamanya. Jika agama kuat, maka cobaannya
pun dashyat. Dan jika agamanya lemah, maka ia diuji menurut agamanya. Maka
cobaan akan selalu menimpa seseroang sehingga membiarkannya berjalan di muka
bumi, tanpa tertimpa kesalahan lagi.” (HR At-Tirmidzi).
Hikmah yang
dapat kita petik dari cerita di atas adalah cinta kepada Allah swt pun diuji
oleh Allah swt dengan menyerahkan harta benda, jiwa serta sesuatu yang sangat
kita cintai sekalipun. Semoga kita termasuk di dalam golongan orang-orang yang
ikhlas dan tabah menjalani semua ujian. Aamiin …
***