Edisi 29 th VII : 22 Juli 2016 M / 17 Syawal 1437 H
HALAL BI HALAL SARANA INTERAKSI SOSIAL
Penulis:
Ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mukmin Bangunsari)
Segala puji
hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat ar-Ra’du
ayat 21-23: “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah
perintahkan supaya dihubungkan (yaitu silaturrahmi), dan mereka takut kepada
Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang
sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau
terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah
yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) syurga 'Adn yang mereka
masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari
bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat
masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.” Shalawat salam semoga
senantiasa tercurah pada nabi Muhammad saw, sebaik-baik makhluk ciptaan Allah.
Tidak diragukan lagi bahwa Islam
sangat menganjurkan adanya interaksi sosial dengan memberikan
pengharapan berupa surga ‘Adn. Interaksi sosial ini lazim disebut hablum minan nas.
Dalam konteks ini banyak dalilnya. Hal ini menunjukkan
betapa urgennya konsep interaksi sosial ini bagi kelangsungan
keharmonisan hidup bermasyarakat. Dalam interaksi sosial di era globalisasi
seperti sekarang ini, tentu terjadi dampak positif dan negatif. Jika kita
menelaah dampak positifnya saja, maka kita akan menemukan berbagai macam
kemudahan yang tersaji dalam konsep interaksi sosial. Situasi lebaran
seperti saat ini, kita dapat dengan mudah ringan mengucapkan
selamat hari raya ‘idul
fitri serta memohon maaf atas segala kesalahan kepada siapapun yang kita kenal.
Bahkan seorang atasan dapat dengan legowonya mohon maaf pada bawahannya
melalui pesan SMS atau akun jejaring sosial semacam facebook atau twitter
(Padahal jika bertemu secara langsung, belum tentu sang atasan bersedia memohon
maaf terlebih dahulu). Hal-hal semacam ini kemudian menjadi sesuatu yang umum
terjadi sehingga dapat disebut sebagai tradisi baru.
Dalam
ilmu Ushul Fiqh, terdapat bab tentang ‘Urf yaitu sesuatu yang
telah dikenal oleh orang banyak dan menjadi tradisi, baik berupa perkataan
maupun perbuatan. ‘Urf terbagi
dalam 2 kategori yaitu‘Urf shahih dan‘Urf fasid.
Dalam konsep ini, ‘Urf shahih merupakan‘Urf yang tidak
bertentangan dengan dalil syara’ berupa menghalalkan sesuatu yang haram
ataupun membatalkan sesuatu yang wajib. Sedangkan‘Urf fasid
merupakan kebalikannya. Berangkat dari kesemuanya ini, maka kemudian di
masyarakat kita terdapat banyak sekali tradisi yang dipelihara kelestariannya,
diantaranya tradisi halal bi halal. Meski halal bi halal
merupakan “tradisi baru” yang memang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw maupun
para sahabatnya, tentu kita tidak boleh menganggap sebagai bid’ah sesat yang
akan menjerumuskan umat ke dalam neraka secara berjamaah. Dengan mengambil
definisi ‘Urf shahih, tentu kita sepakat bahwa tradisi halal
bi halal tidaklah bertentangan dengan dalil syara’, namun justru
berlandaskan dalil syara’ karena tradisi ini merupakan salah satu
perwujudan interaksi sosial yang efektif untuk menjaga stabilitas
keharmonisan masyarakat.
Dalam ilmu sosiologi kita mengenal bahwa setiap individu
sejak dilahirkan di dunia sudah dilingkupi oleh berbagai macam benda. Kemudian
untuk beradaptasi dengan segala hal yang ada di sekitarnya, maka individu harus
berinteraksi dengan individu lain yang kemudian disebut sebagai interaksi
sosial. Dalam hubungannya dengan hal tersebut, perlu diperhatikan bahwa
tingkah laku manusia dalam berinter-aksi (misalnya sopan santun, gaya bicara,
dsb) merupakan hasil dari hal yang dipela-jarinya. Namun seorang sosiolog
bernama John B. Watson pada tahun 1925 melaku-kan study experimental
tentang tingkah laku menemukan bahwa ada 3 macam tingkah laku yang bersifat
insting dan akan dapat dilakukan tanpa perlu belajar yaitu fear, angry and
love (takut, marah dan senang) (Sesungguhnya hal ini juga sesuai dengan
kajian al-Qur’an dalam surat al-‘Alaq ayat 5:“Dia (Allah) mengajarkan
kepada manusia tentang apa-apa yang tidak
diketahuinya.” bahwasanya yang mengajarkan ketiga
insting tersebut adalah Allah). Maka dalam konteks interaksi
sosial seringkali terjadi ketiga insting tersebut menjadi dominan. Seorang
indvidu dapat menjadi spontan marah dikarenakan tingkah laku individu lain baik
yang sengaja maupun tidak sengaja. Bahkan pembicaraan yang sedianya hanya untuk
sekedar tawa canda, boleh jadi terasa menusuk perasaan dan spontan menimbulkan
kemarahan. Oleh karena itu, guna menangkal adanya error
dalam interaksi sosial maka Islam memberikan solusi terbaik melalui
metode silaturrahmi dengan teknik saling memaafkan sehingga semuanya kembali fitrah.
Agama
Islam merupakan agama yang seimbang antara hablum minAllah dengan hablum
minan nas-nya. Karena itulah Islam sangat menganjurkan untuk berbuat baik
terhadap sesama manusia. Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk surga bagi orang yang
tetangganya tak aman dari kejelekannya.” (HR. Muslim). Kerukunan dalam
ruang lingkup terkecil yaitu bertetangga merupakan cikal bakal kerukunan yang
lebih global semisal kerukunan bangsa dan bahkan kerukunan dunia. Hidup rukun
dan berbuat baik terhadap tetangga merupakan indikator kesempurnaan iman
seseorang. Hidup rukun berarti juga suka memaafkan kesalahan orang lain serta
tidak memperpanjang permasalahan negatif yang terjadi. Umat Islam diajarkan
untuk menjadi insan yang pemaaf, karena melalui jalur menjadi pemaaf inilah
kerukunan dan perdamaian akan terwujud. Memaafkan kesalahan orang lain memang
sangat sulit, maka di point inilah dijanjikan keagungan pahala dari Allah swt
sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw: “Allah tidak akan menambah
ke-maaf-an seseorang melainkan dengan kemuliaan, dan tidaklah seseorang
merendahkan dirinya karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.”
(HR Bukhari dan Muslim). Dalam konteks inilah sesungguhnya Islam diberi label rahmatan
lil ‘alamin, di mana dengan ajarannya ini maka dunia akan penuh rahmat
kasih sayang antar manusia.
Dari
sedikit uraian ini, tentu kita sepakat bahwa tradisi halal bi halal yang
dilakukan oleh sebagian besar masyarakat kita, baik tingkat lingkungan,
kerabat, teman ataupun rekan kerja, kesemuanya merupakan sarana yang efektif
dalam memperbaiki interaksi sosial sehingga menjadi sumbangsih dalam
mewujudkan sebuah bangsa dan negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun
ghaffur. Melalui sarana silaturrahmi berkumpul dalam satu ruang satu waktu
serta satu tujuan, saling memaafkan dan saling merendahkan hati, tentu akan
mampu meminimalisasi kesenjangan maupun perpecahan. Dengan demikian, semoga ukhuwah
islamiyah akan senantiasa terjaga. Aamiin … ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar