buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Selasa, 13 September 2016

HALAL BI HALAL



       Edisi 29 th VII : 22 Juli 2016 M / 17 Syawal 1437 H
HALAL BI HALAL SARANA INTERAKSI SOSIAL
Penulis: Ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mukmin Bangunsari)
            Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat ar-Ra’du ayat 21-23: “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (yaitu silaturrahmi), dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.” Shalawat salam semoga senantiasa tercurah pada nabi Muhammad saw, sebaik-baik makhluk ciptaan Allah.
            Tidak diragukan lagi bahwa Islam sangat menganjurkan adanya interaksi sosial dengan memberikan pengharapan berupa surga ‘Adn. Interaksi sosial ini lazim disebut hablum minan nas. Dalam konteks ini banyak dalilnya. Hal ini menunjukkan betapa urgennya konsep interaksi sosial ini bagi kelangsungan keharmonisan hidup bermasyarakat. Dalam interaksi sosial di era globalisasi seperti sekarang ini, tentu terjadi dampak positif dan negatif. Jika kita menelaah dampak positifnya saja, maka kita akan menemukan berbagai macam kemudahan yang tersaji dalam konsep interaksi sosial. Situasi lebaran seperti saat ini, kita dapat dengan mudah ringan mengucapkan

selamat hari raya ‘idul fitri serta memohon maaf atas segala kesalahan kepada siapapun yang kita kenal. Bahkan seorang atasan dapat dengan legowonya mohon maaf pada bawahannya melalui pesan SMS atau akun jejaring sosial semacam facebook atau twitter (Padahal jika bertemu secara langsung, belum tentu sang atasan bersedia memohon maaf terlebih dahulu). Hal-hal semacam ini kemudian menjadi sesuatu yang umum terjadi sehingga dapat disebut sebagai tradisi baru.
Dalam ilmu Ushul Fiqh, terdapat bab tentang ‘Urf yaitu sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan menjadi tradisi, baik berupa perkataan maupun perbuatan. ‘Urf  terbagi dalam 2 kategori yaitu‘Urf shahih dan‘Urf fasid. Dalam konsep ini, ‘Urf shahih merupakan‘Urf yang tidak bertentangan dengan dalil syara’ berupa menghalalkan sesuatu yang haram ataupun membatalkan sesuatu yang wajib. Sedangkan‘Urf fasid merupakan kebalikannya. Berangkat dari kesemuanya ini, maka kemudian di masyarakat kita terdapat banyak sekali tradisi yang dipelihara kelestariannya, diantaranya tradisi halal bi halal. Meski halal bi halal merupakan “tradisi baru” yang memang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw maupun para sahabatnya, tentu kita tidak boleh menganggap sebagai bid’ah sesat yang akan menjerumuskan umat ke dalam neraka secara berjamaah. Dengan mengambil definisi ‘Urf shahih, tentu kita sepakat bahwa tradisi halal bi halal tidaklah bertentangan dengan dalil syara’, namun justru berlandaskan dalil syara’ karena tradisi ini merupakan salah satu perwujudan interaksi sosial yang efektif untuk menjaga stabilitas keharmonisan masyarakat.
            Dalam ilmu sosiologi kita mengenal bahwa setiap individu sejak dilahirkan di dunia sudah dilingkupi oleh berbagai macam benda. Kemudian untuk beradaptasi dengan segala hal yang ada di sekitarnya, maka individu harus berinteraksi dengan individu lain yang kemudian disebut sebagai interaksi sosial. Dalam hubungannya dengan hal tersebut, perlu diperhatikan bahwa tingkah laku manusia dalam berinter-aksi (misalnya sopan santun, gaya bicara, dsb) merupakan hasil dari hal yang dipela-jarinya. Namun seorang sosiolog bernama John B. Watson pada tahun 1925 melaku-kan study experimental tentang tingkah laku menemukan bahwa ada 3 macam tingkah laku yang bersifat insting dan akan dapat dilakukan tanpa perlu belajar yaitu fear, angry and love (takut, marah dan senang) (Sesungguhnya hal ini juga sesuai dengan kajian al-Qur’an dalam surat al-‘Alaq ayat 5:“Dia (Allah) mengajarkan kepada manusia tentang apa-apa yang tidak diketahuinya.” bahwasanya yang mengajarkan ketiga insting tersebut adalah Allah). Maka dalam konteks interaksi sosial seringkali terjadi ketiga insting tersebut menjadi dominan. Seorang indvidu dapat menjadi spontan marah dikarenakan tingkah laku individu lain baik yang sengaja maupun tidak sengaja. Bahkan pembicaraan yang sedianya hanya untuk sekedar tawa canda, boleh jadi terasa menusuk perasaan dan spontan menimbulkan

kemarahan. Oleh karena itu, guna menangkal adanya error dalam interaksi sosial maka Islam memberikan solusi terbaik melalui metode silaturrahmi dengan teknik saling memaafkan sehingga semuanya kembali fitrah. 
Agama Islam merupakan agama yang seimbang antara hablum minAllah dengan hablum minan nas-nya. Karena itulah Islam sangat menganjurkan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia. Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk surga bagi orang yang tetangganya tak aman dari kejelekannya.” (HR. Muslim). Kerukunan dalam ruang lingkup terkecil yaitu bertetangga merupakan cikal bakal kerukunan yang lebih global semisal kerukunan bangsa dan bahkan kerukunan dunia. Hidup rukun dan berbuat baik terhadap tetangga merupakan indikator kesempurnaan iman seseorang. Hidup rukun berarti juga suka memaafkan kesalahan orang lain serta tidak memperpanjang permasalahan negatif yang terjadi. Umat Islam diajarkan untuk menjadi insan yang pemaaf, karena melalui jalur menjadi pemaaf inilah kerukunan dan perdamaian akan terwujud. Memaafkan kesalahan orang lain memang sangat sulit, maka di point inilah dijanjikan keagungan pahala dari Allah swt sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw: “Allah tidak akan menambah ke-maaf-an seseorang melainkan dengan kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan dirinya karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam konteks inilah sesungguhnya Islam diberi label rahmatan lil ‘alamin, di mana dengan ajarannya ini maka dunia akan penuh rahmat kasih sayang antar manusia.
            Dari sedikit uraian ini, tentu kita sepakat bahwa tradisi halal bi halal yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat kita, baik tingkat lingkungan, kerabat, teman ataupun rekan kerja, kesemuanya merupakan sarana yang efektif dalam memperbaiki interaksi sosial sehingga menjadi sumbangsih dalam mewujudkan sebuah bangsa dan negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur. Melalui sarana silaturrahmi berkumpul dalam satu ruang satu waktu serta satu tujuan, saling memaafkan dan saling merendahkan hati, tentu akan mampu meminimalisasi kesenjangan maupun perpecahan. Dengan demikian, semoga ukhuwah islamiyah akan senantiasa terjaga. Aamiin … ***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar