Edisi 30 th VII : 29 Juli 2016 M / 24 Syawal 1437 H
MENTRADISIKAN TAQWA
Penulis:
Ust. Mahfud, S.Pd.I (TPQ Miftahul Huda, Jenes Brotonegaran)
Segala puji
hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam Al-Qur’an dan sering dibaca
oleh qari’ dalam acara halal bi halal, yaitu surat Ali Imran ayat
133-134 yang artinya “dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya),
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Shalawat salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw sebagai manusia
paling pema’af sehingga harus kita jadikan suri tauladan.
Disyari’atkannnya puasa bagi orang Islam pada
bulan Ramadhan tujuannya tak lain agar senantiasa bertaqwa kepada Allah swt.
Puasa melatih kekuatan fisik dan mental. Puasa juga merupakan sarana belajar
menahan nafsu. Puasa juga melatih seseorang agar mampu merasakan bagaimana
laparnya orang yang kekurangan. Hikmah dan tujuan dari puasa ini akan menjadi
sesuatu kebiasaan dan akhlak yang mulia manakala hal tersebut dilestarikan atau
ditradisikan, walaupun dengan cara yang berbeda.
Pertama,
puasa melatih seseorang untuk simpati dan empati kepada sesama. Maka orang yang
beriman tidaklah menjadi orang yang bakhil, namun menjadi orang
dermawan. Setelah Ramadhan usai, para ‘ulama Indonesia pada jaman dahulu
mentradisikan saling memberi saat sanak saudara dan keluarga
kunjung-mengunjungi. Tradisi ini seolah-olah menjadi penguat disyari’atkannya
zakat fitri. Zakat yang artinya suci, sedangkan fitri artinya makan. Maka
tujuan zakat fitri tak lain adalah agar umat manusia pada hari raya Idul Fitri
tidak ada yang kelaparan. Pada hari raya idul fitri muncul tradisi saling
mengunjungi yang di dalamnya ada tradisi saling berbagi. Tradisi yang baik ini
apabila dipahami dengan betul sehingga tidak hanya pada bulan ramadhan dan
syawal saja umat Islam menjadi umat yang pemberi. Saling memberi adalah ciri
orang yang bertaqwa kepada Allah swt.
Pada hari raya idul fitri muncul
tradisi saling mengunjungi yang di dalamnya terdapat tradisi saling berbagi.
Tradisi yang baik ini apabila dipahami dengan betul kemudian dilaksanakan tidak
hanya pada bulan Ramadhan dan Syawal saja, maka kita akan menjadi umat yang
pemberi. Adapun saling memberi adalah salah satu ciri orang yang bertaqwa
kepada Allah swt.
Kedua,
pada bulan Syawal, umat Islam di Indonesia sudah mentradisikan kegiatan menahan
amarah. Suasana Idul Fitri dilalui dengan gembira, tidak dengan hati yang kotor
dan penuh kemarahan. Menahan amarah hakikatnya sudah dilatih pada bulan
Ramadhan dengan puasa. Seminimal mungkin orang yang berpuasa menahan marahnya,
sebab pahala puasa bisa hilang manakala orang yang berpuasa tak mampu menahan
amarahnya. Kemudian menjadi manusia yang sabar dan tidak pemarah ini berlanjut
ditradisikan pada bulan Syawal. Tentu ini akan sangat baik, apabila diteruskan
pada bulan-bulan selanjutnya. Umat Islam Indonesia akan dikenal sebagai Islam
Ramah, bukan Islam Marah. Menahan amarah sudah dicontohkan dengan baik oleh
Rasulullah saw. Jika kita membaca sejarah, kita mengetahui bahwa kaum kafir
Quraisy mencaci, bahkan menyakiti Rasulullah saw. Namun beliau tidak marah,
justru berbuat baik dengan orang yang mendzaliminya. Pernah beliau diacungi pedang dan akan dibunuh
oleh Suroqoh, namun saat mampu membalikkan keadaan dan ganti mengacungkan
pedang ke leher Suroqoh, beliau justru mema’afkan Suroqoh. Bahkan saat beliau
hijrah ke Thaif dan dilempari batu oleh penduduk Thaif, beliau justru
mendo’akan penduduk Thaif tersebut dengan do’a yang baik. Memang
sesungguhnya menahan amarah itu sangatlah berat. Oleh sebab itu Allah menjanjikan
balasan surga bagi orang yang mampu menahan amarah dengan baik. Hal ini sesuai
dengan hadits nabi Muhammad saw yang artinya: Dari Abu Hurairah ra bahwa
ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu
mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” (HR al-Bukhâri). Begitu sederhananya
Rasulullah saw menjawab saat seseorang meminta wasiat, beliau cukup dengan
jawaban: “engkau jangan marah”. Maka tidak salah apabila sayyidina Ali
berkata: “Marah adalah bagian dari gila”. Dan ini sungguh tepat sasaran.
Pada hakikatnya yang dilarang bukan marahnya, akan tetapi dampak dari marah
itu, berupa ucapan yang buruk, maupun tindakan yang lebih tepatnya dilakukan
oleh orang gila. Contoh: Karena marah, seseorang bisa tega membunuh saudaranya atau orang lain, karena marah, seseorang bisa tega membakar rumah, karena
marah seseorang bisa tega
menganiaya anaknya sendiri. Dikarenakan hal-hal tersebutlah tradisi
menahan amarah sangat perlu untuk dilestarikan agar umat Islam Indonesia
betul-betul menjadi Islam Ramah bukan Islam Marah.
Ketiga, ciri
orang yang bertaqwa adalah memaafkan sesama manusia. Pada hari raya Idul Fitri kita pasti saling berma’af-ma’afan. Orang yang bekerja di luar kota
rela berjuang mudik pada hari
raya Idul Fitri. Padahal kegiatan
mudik memerlukan biaya yang banyak serta menguras waktu dan tenaga. Namun
mereka rela melakukan itu semua hanya untuk meminta ma’af kepada kedua orang
tua dan sanak kerabat. Murid mengunjungi rumah gurunya juga untuk meminta ma’af.
Orang tua, guru dan seluruh lapisan masyarakat tak peduli pangkat dan golongan
tak segan-segan meminta ma’af
dan memberi ma’af. Manusia
tak lepas dari kesalahan. Maka sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang meminta ma’af. Kemudian perbuatan yang tak kalah
mulia adalah mema’afkan orang lain. Adapun jika kita cermati, sesungguhnya memberikan
ma’af pada orang lain itu
sangatlah berat. Oleh sebab
itulah dalam pemberian ma’af terdapat pahala yang besar. Orang yang mema’afkan
orang lain akan mendapat ampunan dari Allah swt sebagaimana firman-Nya dalam
al-Qur’an surat an-Nuur ayat 22 yang artinya “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai
kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan
orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan
dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?
dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Selanjutnya orang yang
bersedia mema’afkan orang lain akan mendapat ridha Allah swt sebagaimana termaktub
dalam al-Qur’an surat Asy-Syuura ayat 40 yang artinya “Dan balasan suatu kejahatan adalah
kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang
yang berbuat jahat kepadanya) maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” Maksud أَجۡرُهُ ۥ عَلَى ٱللَّهِ ialah ganjaran pahala yang dikurniakan sendiri oleh Allah swt bukan
oleh manusia seperti raja atau pemimpin dan sebagainya, malah ganjaran itu
datang dari raja sekalian raja yaitu Allah swt.
Ketiga
tradisi di atas sudah mengakar di negeri Indonesia tercinta. Yang perlu
direnungkan adalah bagaimana tradisi tersebut berkelanjutan tidak hanya pada bulan Ramadhan maupun Syawal saja. Semoga kita mampu menjaga tradisi ini. Aamiin. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar