buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Selasa, 13 September 2016

MENTRADISIKAN TAKWA



       Edisi 30 th VII : 29 Juli 2016 M / 24 Syawal 1437 H
MENTRADISIKAN TAQWA
Penulis: Ust. Mahfud, S.Pd.I (TPQ Miftahul Huda, Jenes Brotonegaran)
            Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam Al-Qur’an dan sering dibaca oleh qari’ dalam acara halal bi halal, yaitu surat Ali Imran ayat 133-134 yang artinya “dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” Shalawat salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw sebagai manusia paling pema’af sehingga harus kita jadikan suri tauladan.
Disyari’atkannnya puasa bagi orang Islam pada bulan Ramadhan tujuannya tak lain agar senantiasa bertaqwa kepada Allah swt. Puasa melatih kekuatan fisik dan mental. Puasa juga merupakan sarana belajar menahan nafsu. Puasa juga melatih seseorang agar mampu merasakan bagaimana laparnya orang yang kekurangan. Hikmah dan tujuan dari puasa ini akan menjadi sesuatu kebiasaan dan akhlak yang mulia manakala hal tersebut dilestarikan atau ditradisikan, walaupun dengan cara yang berbeda.
            Pertama, puasa melatih seseorang untuk simpati dan empati kepada sesama. Maka orang yang beriman tidaklah menjadi orang yang bakhil, namun menjadi orang dermawan. Setelah Ramadhan usai, para ‘ulama Indonesia pada jaman dahulu mentradisikan saling memberi saat sanak saudara dan keluarga kunjung-mengunjungi. Tradisi ini seolah-olah menjadi penguat disyari’atkannya zakat fitri. Zakat yang artinya suci, sedangkan fitri artinya makan. Maka tujuan zakat fitri tak lain adalah agar umat manusia pada hari raya Idul Fitri tidak ada yang kelaparan. Pada hari raya idul fitri muncul tradisi saling mengunjungi yang di dalamnya ada tradisi saling berbagi. Tradisi yang baik ini apabila dipahami dengan betul sehingga tidak hanya pada bulan ramadhan dan syawal saja umat Islam menjadi umat yang pemberi. Saling memberi adalah ciri orang yang bertaqwa kepada Allah swt.

Pada hari raya idul fitri muncul tradisi saling mengunjungi yang di dalamnya terdapat tradisi saling berbagi. Tradisi yang baik ini apabila dipahami dengan betul kemudian dilaksanakan tidak hanya pada bulan Ramadhan dan Syawal saja, maka kita akan menjadi umat yang pemberi. Adapun saling memberi adalah salah satu ciri orang yang bertaqwa kepada Allah swt.
Kedua, pada bulan Syawal, umat Islam di Indonesia sudah mentradisikan kegiatan menahan amarah. Suasana Idul Fitri dilalui dengan gembira, tidak dengan hati yang kotor dan penuh kemarahan. Menahan amarah hakikatnya sudah dilatih pada bulan Ramadhan dengan puasa. Seminimal mungkin orang yang berpuasa menahan marahnya, sebab pahala puasa bisa hilang manakala orang yang berpuasa tak mampu menahan amarahnya. Kemudian menjadi manusia yang sabar dan tidak pemarah ini berlanjut ditradisikan pada bulan Syawal. Tentu ini akan sangat baik, apabila diteruskan pada bulan-bulan selanjutnya. Umat Islam Indonesia akan dikenal sebagai Islam Ramah, bukan Islam Marah. Menahan amarah sudah dicontohkan dengan baik oleh Rasulullah saw. Jika kita membaca sejarah, kita mengetahui bahwa kaum kafir Quraisy mencaci, bahkan menyakiti Rasulullah saw. Namun beliau tidak marah, justru berbuat baik dengan orang yang mendzaliminya. Pernah beliau diacungi pedang dan akan dibunuh oleh Suroqoh, namun saat mampu membalikkan keadaan dan ganti mengacungkan pedang ke leher Suroqoh, beliau justru mema’afkan Suroqoh. Bahkan saat beliau hijrah ke Thaif dan dilempari batu oleh penduduk Thaif, beliau justru mendo’akan penduduk Thaif tersebut dengan do’a yang baik. Memang sesungguhnya menahan amarah itu sangatlah berat. Oleh sebab itu Allah menjanjikan balasan surga bagi orang yang mampu menahan amarah dengan baik. Hal ini sesuai dengan hadits nabi Muhammad saw yang artinya: Dari Abu Hurairah ra bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” (HR al-Bukhâri). Begitu sederhananya Rasulullah saw menjawab saat seseorang meminta wasiat, beliau cukup dengan jawaban: “engkau jangan marah”. Maka tidak salah apabila sayyidina Ali berkata: “Marah adalah bagian dari gila”. Dan ini sungguh tepat sasaran. Pada hakikatnya yang dilarang bukan marahnya, akan tetapi dampak dari marah itu, berupa ucapan yang buruk, maupun tindakan yang lebih tepatnya dilakukan oleh orang gila. Contoh: Karena marah, seseorang bisa tega membunuh saudaranya atau orang lain, karena marah, seseorang bisa tega membakar rumah, karena marah seseorang bisa tega menganiaya anaknya sendiri. Dikarenakan hal-hal tersebutlah tradisi menahan amarah sangat perlu untuk dilestarikan agar umat Islam Indonesia betul-betul menjadi Islam Ramah bukan Islam Marah.

Ketiga, ciri orang yang bertaqwa adalah memaafkan sesama manusia. Pada hari raya Idul Fitri kita pasti saling berma’af-ma’afan. Orang yang bekerja di luar kota rela berjuang mudik pada hari raya Idul Fitri. Padahal kegiatan mudik memerlukan biaya yang banyak serta menguras waktu dan tenaga. Namun mereka rela melakukan itu semua hanya untuk meminta ma’af kepada kedua orang tua dan sanak kerabat. Murid mengunjungi rumah gurunya juga untuk meminta ma’af. Orang tua, guru dan seluruh lapisan masyarakat tak peduli pangkat dan golongan tak segan-segan meminta maaf dan memberi maaf. Manusia tak lepas dari kesalahan. Maka sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang meminta maaf. Kemudian perbuatan yang tak kalah mulia adalah memaafkan orang lain. Adapun jika kita cermati, sesungguhnya memberikan ma’af pada orang lain itu sangatlah berat. Oleh sebab itulah dalam pemberian ma’af terdapat pahala yang besar. Orang yang mema’afkan orang lain akan mendapat ampunan dari Allah swt sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an surat an-Nuur ayat 22 yang artinya “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Selanjutnya orang yang bersedia mema’afkan orang lain akan mendapat ridha Allah swt sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat Asy-Syuura ayat 40 yang artinya Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat kepadanya) maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” Maksud أَجۡرُهُ ۥ عَلَى ٱللَّهِ ialah ganjaran pahala yang dikurniakan sendiri oleh Allah swt bukan oleh manusia seperti raja atau pemimpin dan sebagainya, malah ganjaran itu datang dari raja sekalian raja yaitu Allah swt.
            Ketiga tradisi di atas sudah mengakar di negeri Indonesia tercinta. Yang perlu direnungkan adalah bagaimana tradisi tersebut berkelanjutan tidak hanya pada bulan Ramadhan maupun Syawal saja. Semoga kita mampu menjaga tradisi ini. Aamiin. ***


           




Tidak ada komentar:

Posting Komentar