Edisi 32 th VII : 12 Agustus 2016 M / 9 Dzul Qo’dah 1437
H
IMPLEMENTASI KEMERDEKAAN
Penulis:
ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mukmin Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisaa ayat 36: “Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat,
ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membangga-banggakan diri.” Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw yang telah menyampaikan kepada
kita berbagai ilmu pengetahuan sosial yang berlandaskan syariat dari Allah,
ilmu yang menata kehidupan dalam bermasyarakat menuju masyarakat yang sejahtera
dalam kebersamaan.
Bulan Agustus sudah hampir separuh.
Bulan dimana bangsa Indonesia meraya kan kemerdekaannya. Bulan dimana bangsa
kita ini memaklumatkan kebebasan untuk melakukan “apapun” tanpa adanya tekanan
dari bangsa manapun. Dalam arti luas, “merdeka” yang telah diproklamirkan oleh
bangsa kita memang dapat diartikan bahwa bangsa ini “bisa” mengelola sendiri
segala macam potensi yang dimiliki. Juga bisa diartikan bahwa bangsa ini
“boleh” marah atau tidak rela jika “sesuatu” yang dimilikinya direbut atau
diserobot oleh bangsa lain.
Kata “merdeka” memang bisa
diartikan “bebas”. Jika kata “merdeka” ini diimplementasikan dalam kehidupan
keseharian kita sebagai warga masyarakat, maka tentunya ada hal-hal tertentu
yang membatasi “kemerdekaan” kita. Dalam arti lain, kemerdekaan kita dibatasi
oleh kemerdekaan orang lain di sekitar kita. Kita memang
boleh berbuat segala sesuatu sesuka hati kita, tapi dalam waktu yang
bersamaan, kita tidak boleh mengganggu kenyamanan orang lain. Dalam hal ini,
kita harus menyadari bahwa kita adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan
dan dibutuhkan orang lain. Kita tidak akan mampu hidup sendiri tanpa orang
lain.
Agama Islam yang
sempurna ini juga mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan “kemerdekaan”
individu yang dibatasi oleh “kemerdekaan” individu lain. Rasulullah saw telah
bersabda dalam salah satu hadits:
Sahabat Abi
Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah jangan menyakiti hati tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah berbicara yang baik atau berdiam diri
(sekiranya tidak bisa berbicara baik)." (HR Bukhari dan Muslim). Mari kita cermati hadits tersebut. Hanya
“sekedar” berbicara pun, kita sudah diberitahu bagaimana cara yang terbaik.
Meski kita sudah “merdeka” untuk berbicara apapun dengan mulut kita, namun kita
“dibatasi” agar jangan sampai menyakiti hati orang di sekitar kita. Jika kita
tak mampu menjaga kata-kata, maka kita dianjurkan untuk menutup mulut saja.
Kemerdekaan orang di
sekitar kita, yaitu tetangga, memang menjadi prioritas utama dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Hal
tersebut tergambar jelas dalam salah satu hadits dari sahabat Ibnu Umar ra yang berkata, bahwa
Rasulullah saw telah bersabda: "Malaikat Jibril berkali-kali
memberikan wasiat kepadaku
tentang urusan dengan tetangga, hingga aku menyangka bahwa tetangga akan dijadikan ahli
waris." (HR Bukhari dan
Muslim). Tetangga merupakan
orang-orang yang terdekat dengan rumah kita. Bisa kita pahami bahwa jika kita
terkena musibah maka tetangga terdekatlah yang akan terlebih dahulu memberikan
pertolongan. Jika kita memiliki hajat maka tetangga terdekat jugalah yang akan
terlebih dahulu terkena imbas merelakan “kemerdekaan”nya terusik dengan segala
macam suara dari sound system maupun akses ke rumahnya terganggu terop, dan
sebagainya. Oleh karenanya, Rasulullah saw mengajarkan pada kita bahwa kita
harus mengekang juga sebagian “kemerdekaan” yang menjadi hak kita untuk
menghormati “kemerdekaan” tetangga.
Kemudian sebagai seorang muslim yang baik, selain harus menghormati
“kemerdekaan” tetangga ternyata kita juga tidak diperbolehkan untuk “menjajah”
tetangga. Kesimpulan tentang hal ini didapat dari sebuah hadits yang lain yang berasal
dari sahabat Abi Syuraih al-Kalabi ra yang berkata, bahwa
Rasulullah saw telah bersabda: "Demi Allah, tidak
termasuk orang yang beriman. Demi Allah, tidak
termasuk orang yang beriman. Demi Allah, tidak termasuk orang yang
beriman." Lalu seseorang mengaju-kan pertanyaan: "Ya Rasulallah,
sungguh celaka dan sengsara. Siapakah dia?" Jawab
Rasulullah: "Dia adalah orang yang
selalu membuat penderitaan terhadap tetangga."
(HR Bukhari). Dalam hadits ini jelas tersurat bahwa orang yang “menja-
jah” tetangga dengan cara mendzalimi maka dianggap
sebagai orang yang tidak beriman. Matan hadits ini diperkuat hadits lain yang
berasal dari sahabat Anas bin Malik ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw telah
bersabda: "Yang dikatakan orang mukmin adalah orang yang bisa
membuat ketenteraman terhadap lingkungan. Dan yang dikatakan
orang muslim adalah orang yang ucapan dan perbuatannya
tidak merugikan kepada sesama manusia yang berada dalam
lingkungan masyarakatnya. Sedang yang dikatakan orang berhijrah
adalah orang yang menjauhi perbuatan jahat. Demi Dzat yang diriku berada dalam
kekuasaan-Nya, tidak akan masuk sorga seseorang yang tetangga-nya belum bisa
berdekatan dengannya (belum merasa aman bila di dekatnya)." (HR Ahmad).
Pada point inilah sebenarnya terlihat jelas bahwa Islam merupakan rahmatan
lil ‘alamin, pembawa rahmat bagi alam dan seisinya. Pembawa kedamaian bagi
umat manapun. Pembawa konsep “kemerdekaan” yang hakiki. Bahkan Islam lebih
“superior” dibandingkan konsep tentang HAM (Hak Asasi Manusia). Tentu hal ini
akan berlaku jika para penganut agama Islam bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan syariat Islam secara baik dan benar.
Sebagai
bahan renungan, mari kita cermati juga hadits dari sahabat Abi Hurairah ra yang berkata, bahwa
Rasulullah saw telah bersabda: "Siapakah yang mau mengam-bil dariku
beberapa kalimat ini, yang kemudian
diamalkan atau diajarkan kepada siapa saja yang mau mengamalkannya?" Jawab Abi Hurairah: "Ya
Rasulullah, aku bersedia mengambilnya." Lalu Rasulullah menarik tanganku sambil menghi-tung hingga
bilangan lima, lalu bersabda: "Ya Abu Hurairah, jauhilah barang-barang haram, tentu
engkau akan menjadi orang yang paling baik ibadahnya di antara umat manusia. Ridhalah terhadap rizki
yang telah Allah berikan kepada-mu, tentu engkau akan menjadi manusia yang paling kaya. Berbuat baiklah terha-dap tetangga,
tentu engkau akan
menjadi orang yang beriman sempurna. Cintai-lah sesama manusia sebagaimana
engkau mencintai dirimu sendiri, tentu engkau akan menjadi seorang muslim
sejati. Dan janganlah terlalu banyak tertawa, kare-na banyak tertawa bisa
mematikan hati (mematikan kreatifitas)." (HR Tirmidzi). Semoga kita
mampu mengimplementasikan kemerdekaan ini sesuai dengan tuntunan dari
Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah. Aamiin…
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar