buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Selasa, 13 September 2016

DUA AYAH YANG DIKORBANKAN (Bag. 2)



       Edisi 37 th VII : 16 September 2016 M / 14 Dzul Hijjah 1437 H
DUA AYAH YANG DIKORBANKAN (bag. 2)
Penulis: ust. Dana A. Dahlany, Lc (TPQ ad-Darajaat Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 214 yang artinya “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu teramat dekat.” Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw yang merupakan keturunan dari dua orang hebat yang pernah dikorbankan.
Pada edisi yang lalu, kami telah menceritakan tentang Abdul Muthalib yang hendak mengorbankan Abdullah (ayah nabi Muhammad saw), namun dicegah oleh para tokoh Quraisy. Mereka memberi saran agar Abdul Muthalib menemui seorang wanita paranormal. Maka berangkatlah Abdul Muthalib bersama rombongannya. Sesampainya di Khaibar, ia menemui paranormal itu dan menceritakan masalahnya.
“Untuk hari ini, kamu sebaiknya pulang dulu. Aku akan memanggil pelayanku dulu dan menanyakan permasalahanmu ini kepadanya. Kembalilah lagi setelah aku mendapat jawabannya,” pinta wanita paranormal tersebut.
Beberapa waktu kemudian, rombongan Abdul Muthalib kembali ke tempat wanita paranormal itu. “Aku sudah dapat jawabannya. Aku tanya dulu, berapa diyat (tebusan nyawa) yang berlaku di tempatmu?” tanya wanita itu.

“10 ekor unta,” jawab Abdul Muthalib. Maka wanita paranormal memberikan saran, “Kembalilah ke kotamu. Siapkan 10 ekor unta bersama putramu yang akan dikorbankan, lalu undilah keduanya dengan anak panah. Jika yang keluar adalah nama anakmu, maka tambahlah 10 ekor lagi sampai Tuhanmu ridha terhadapmu. Dan jika yang keluar undiannya adalah unta-unta itu, maka sembelihlah unta-unta itu sebagai tebusan atas putramu. Dengan begitu, Tuhanmu akan ridha terhadapmu,”
Sesampainya di Makkah, para tokoh suku Quraisy segera melaksanakan apa yang disarankan oleh wanita tadi. Abdul Muthalib menyiapkan putranya, Abdullah bersama 10 ekor unta untuk diundi dengan anak panah. Lantas ia menghadap Hubal dan berdoa kepada Allah. Tak lama berselang, keluarlah nama Abdullah dari anak panah itu. Jumlah unta yang tadinya hanya 10 ekor ditambah 10 lagi menjadi 20 ekor. Undian putaran kedua dimulai. Dari anak panah itu keluar lagi nama Abdullah. Unta ditambah lagi menjadi 30 ekor. Undian dilanjutkan ke putaran ketiga. Lagi-lagi nama Abdullah yang keluar. Dan undian ini berlanjut terus hingga sepuluh kali. Selama itu pula, Abdul Muthalib selalu berdoa kepada Allah di samping berhala Hubal.
Setelah unta ditambahkan sepuluh kali, jumlah totalnya kini menjadi 100 ekor. Baru pada kali ke-10 inilah akhirnya bukan nama Abdullah yang keluar dari anak panah itu, melainkan unta-unta itu. Kaum Quraisy pun bersorak gembira, “Akhirnya selesai sudah undian ini. Kamu telah mendapat ridha dari Allah, wahai Abdul Muthalib!” Tapi apa jawaban Abdul Muthalib? “Tidak, ini belum selesai sampai aku melemparkan anak panah ini sebanyak tiga kali lagi,” kata Abdul Muthalib seraya meyakinkan dirinya sendiri. Lalu ia kembali berdoa seraya melemparkan anak panah itu. Lemparan kedua keluar undian atas nama unta. Dan yang ketiga juga unta lagi. Sejak saat itu, Abdul Muthalib merasa lega dan akhirnya menyembelih 100 ekor unta sebagai tebusan bagi Abdullah. Nadzarnya tunai sudah dan putra kesayangannya masih bisa menghirup nafas di dunia.
***
Dari kisah ini kita bisa mengambil sebuah hikmah. Betapa untuk melahirkan seorang insan luar biasa, para leluhur Nabi Muhammad saw. rela menghadapi ujian maha berat yang tidak bisa ditanggung oleh manusia biasa. Mengorbankan putra kesayangan sendiri untuk dipersembahkan kepada Sang Pencipta tidak semudah menyembelih seekor kambing. Itulah yang dipertunjukkan oleh Nabi Ibrahim as dan Abdul Muthalib. Sedangkan Nabi Ismail dan Abdullah menunjukkan sebuah teladan nyata bahwa seorang anak tetap harus berbakti dan patuh sepenuhnya kepada orang tua, meskipun harus mempertaruhkan nyawa, selama hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan Tuhannya. Tak heran rasanya bila mereka bisa menitiskan seorang pemimpin tangguh yang kapasitasnya tidak hanya diakui oleh manusia, tapi juga men

dapat apresiasi dari semua makhluk di alam semesta, Nabi Besar Muhammad Saw. Junjungan umat Islam ini ternyata lahir dari leluhur yang telah menjalani pengorbanan terberat yang pernah dialami umat manusia.
Inilah pelajaran berharga untuk kita. Jika kita ingin menggapai kejayaan dan kesuksesan, kita harus rela dan tahan banting tatkala menghadapi ujian berat. Kemenangan selalu berada di ujung usaha yang melelahkan. Tanpa pengorbanan, seorang insan tak akan mencapai kesuksesan yang didambakan. Itulah esensi dan substansi dari hari raya Idul Adha, hari kemenangan bagi mereka yang berani berkorban dengan harta dan jiwanya.
Dunia adalah tempat ujian, sedangkan akhirat adalah tempat pembalasan. Ibarat anak sekolah, diuji dahulu baru diberi nilai, penghargaan, hadiah serta naik kelas atau sebaliknya. Lulus dalam ujian akan menaikkan derajat seseorang. Semakin tinggi derajat seseorang, maka semakin berat cobaannya. Ujian anak SMA bisa dipastikan lebih berat dibandingkan ujian anak SD. Semakin tinggi pohon, maka semakin besar tiupan anginnya.
Dalam konteks hubungan antara hamba dengan Tuhan, maka derajat yang teringgi adalah para Nabi. Oleh karena itu, ujian terdahsyat diterima oleh para Nabi.  Sebagaimana hadits nabi Muhammad saw yang artinya: “Manusia yang paling dashyat cobaannya adalah para anbiya’ kemudian orang-orang serupa lalu orang-orang yang serupa. Seseorang itu diuji menurut ukuran (dalam suatu riwayat ‘kadar’) agamanya. Jika agama kuat, maka cobaannya pun dashyat. Dan jika agamanya lemah, maka ia diuji menurut agamanya. Maka cobaan akan selalu menimpa seseroang sehingga membiarkannya berjalan di muka bumi, tanpa tertimpa kesalahan lagi.” (HR At-Tirmidzi).
Hikmah yang dapat kita petik dari cerita di atas adalah cinta kepada Allah swt pun diuji oleh Allah swt dengan menyerahkan harta benda, jiwa serta sesuatu yang sangat kita cintai sekalipun. Semoga kita termasuk di dalam golongan orang-orang yang ikhlas dan tabah menjalani semua ujian. Aamiin …
***








Tidak ada komentar:

Posting Komentar