Edisi 33 th VII : 19 Agustus 2016 M / 16 Dzul Qo’dah 1437
H
GENERASI PEMADAM API
Penulis:
ust. Dana A. Dahlany (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt
yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari
seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal.”. Shalawat dan salam
semoga senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw yang telah menunjukkan
syari’at yang benar.
Suatu kali, seorang sahabat saya
yang biasa dipanggil Kang Yudi berujar, “Lha iya, yang namanya Syi’ah itu
kan sudah ada sejak dulu to? Kenapa ya akhir-akhir ini beritanya semakin ramai
dan terkesan dibesar-besarkan?” Tanpa pikir panjang, saya menjawab, “Mungkin
isu itu digunakan sebagai test water (bahan percobaan), apakah negara Indonesia
ini berpotensi untuk di-Iraq-kan atau di-Suriah-kan.” Indonesia yang
mempunyai berbagai macam suku, etnis, ras dan agama ini memang sangat rentan
dipecah belah dan diadu domba, andai saja watak bangsanya kaku dan keras
sebagaimana watak orang-orang Timur Tengah. Syukurlah mayoritas masyarakat kita
masih memiliki karakter sabar dan nrimo ing pandum.
Perbedaan adalah sunnatullah,
ketentuan Allah yang telah Dia tuliskan di Lauhul Mahfuzh sejak awal
penciptaan. Sebagai makhluk-Nya, seharusnya kita menerima kenyataan ini
dengan hati lapang seraya mensyukuri perbedaan itu sebagai sebuah anugerah.
Salah satu cara mensyukuri nikmat itu adalah dengan hidup berdampingan seraya
mengimplementasikan sikap toleransi yang baik antar-suku, antar-ras dan
antar-agama.
Kita diberi
gambaran dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 98 yang artinya: “Andai saja
Tuhanmu berkehendak, niscaya akan beriman semua manusia yang berada di bumi.
Maka, apakah kamu akan (tetap) membenci manusia-manusia itu sampai mereka
menjadi mukmin?” Kita diciptakan berbeda untuk saling mengenal, bukan untuk
saling bertikai dan bermusuhan. Agar bisa saling kenal, tentu kita harus
mengedepankan pergaulan yang baik antar-sesama, bukan malah mengedepankan sikap
saling curiga. Yang mayoritas harus melindungi kepentingan minoritas. Begitu
pula sebaliknya, yang minoritas juga harus tahu diri dan menghormati hak-hak
mayoritas. Tidak ada paksaan dalam agama, apalagi dalam perkara remeh temeh.
Melihat
fenomena yang berkembang akhir-akhir ini, tampaknya ada beberapa oknum yang
sengaja “menyulut api” di beberapa titik di tanah air. Yang paling mutakhir
adalah kisah seorang wanita keturunan Cina yang sempat protes dengan bisingnya
suara adzan yang keluar dari TOA sebuah masjid di Tanjungbalai. Tapi sayangnya,
kenapa kasus remeh seperti ini berlanjut dengan aksi pembakaran empat buah
vihara yang notabene menjadi tempat ibadah umat Konghucu? Dan lebih parahnya
lagi, konflik antar umat beragama ini diblow-up dan dibahas
habis-habisan selama berhari-hari di media-media nasional. “Kobaran api” ini
semakin membesar didukung dengan adanya bahan bakar tambahan semisal akun-akun
provokator penebar kebencian (hate speech) di media sosial. Arus
informasi yang menembus kecepatan cahaya ini juga turut berkontribusi
menyebarkan virus-virus kecurigaan secara cepat dan massif di kalangan
masyarakat awam, jauh melebihi kecepatan virus flu burung yang menyerang
kandang peternakan mereka. Kalau ini diterus-teruskan, jangan heran jika suatu
saat nanti negeri ini bernasib sama dengan negara-negara Timur Tengah yang tak
habis-habisnya dilanda perang saudara berkepanjangan.
Padahal,
selama bulan Syawwal kemarin, sudah tak terhitung berapa kali para da’i
mengupas ayat yang menjelaskan ciri-ciri orang bertakwa semisal: “(Yaitu)
orang yang senantiasa menginfaqkan (hartanya) baik dalam keadaan lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang mampu menahan emosi, serta mereka yang
memaafkan (kesalahan) manusia.” (Q.S. Ali ‘Imrân ayat 134). Dalam ayat
itu disebutkan bahwa di antara ciri orang bertakwa yang dijanjikan ampunan
Tuhan sekaligus surga seluas langit dan bumi adalah orang yang mampu
menahan emosi, padahal sebenarnya ia mampu meluapkan dan melampiaskan
emosinya. Ini sudah cukup sulit dilakukan. Ditambah lagi, ia juga dituntut
untuk mau memaafkan kesalahan orang lain. Lihat, betapa berat
menjadi orang bertakwa itu.
Jika seorang
manusia mempunyai hati yang khusyu’ dan tunduk kepada Allah, insya Allah
tidak ada kata berat baginya selama perintah itu berasal dari Allah dan
Rasul-Nya. Tapi, bagi mereka yang terlanjur kecanduan dengan kebencian,
ceramah-ceramah itu cuma dianggap angin lalu, masuk telinga kiri, keluar
telinga kanan. Mereka tetap akan membenci dan memusuhi pihak-pihak lain yang
berbeda.
وَلَا
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا
“Dan
jangan sampai kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil.”
Dalam contoh
kasus di atas, kita sadar bahwa protes yang dilakukan wanita keturunan Tionghoa
terhadap suara adzan itu sempat memantik emosi dan kebencian sebagian kaum
muslim di sana. Tapi reaksi pembakaran vihara adalah suatu tindakan tidak adil
yang tidak dibenarkan agama dan undang-undang negara. Sebaliknya, Allah justru
meminta kita untuk berbuat adil, bagaimanapun kondisinya. Karena keadilan itu bisa
membawa kedua belah pihak –baik yang mengadili maupun yang diadili– pada
ketakwaan.
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ
لِلتَّقْوَى
“(Bersikap)
adil-lah, karena ia lebih dekat pada ketakwaan.”
Terkait ayat
ini, Syeikh Sya’rawi dalam tafsirnya punya kisah: Suatu ketika, Nabi Ibrahim
as. didatangi seorang lelaki asing yang ingin minta makanan atau tempat singgah
untuk menginap. Setelah ditanya tentang agamanya, ternyata orang itu kafir.
Lantas sang Nabi tidak mau memenuhi permintaannya. Orang itu kemudian segera
beranjak dari kediaman sang Nabi. Beberapa saat kemudian, Allah menurunkan
wahyu dan menegur Nabi Ibrahim, “Aku tahu orang itu mengingkari-Ku, tapi Aku
sama sekali tidak mencabut nikmatnya. Sementara itu, ketika ia datang kepadamu
untuk minta sesuap makanan atau tempat singgah, kamu tidak berkenan memenuhi
permintaannya.” Seketika itu Nabi Ibrahim langsung menyusul dan membuntuti
orang tersebut. “Kenapa kamu mengikutiku?” Orang itu kaget dan bertanya. “Tuhanku
telah menegurku karena menolak permintaanmu tadi,” jawab sang Nabi. “Ooh,
betapa mulianya Tuhanmu itu, yang telah menegur kekasih-Nya hanya gara-gara
pemintaan sepele dari musuh-Nya.” Itulah tanggapan terakhir orang itu sebelum
akhirnya memutuskan untuk beriman kepada Tuhan Nabi Ibrahim as.
Sudah
selayaknya kita yang mengaku masih “waras” ini ngalahi, bertugas
mendidik anggota keluarga, murid, sahabat hingga masyarakat di sekeliling kita
menjadi generasi pemadam api yang mampu menahan emosi dan hobi memaafkan orang
lain. Setidaknya itulah di antara tindakan adil yang sejauh ini bisa kita
usahakan. Bukan malah ikut-ikutan mencetak generasi “kompor” yang selalu
mengagung-agungkan fanatisme golongan dan alergi terhadap perbedaan.
Wallâhu
a’lam bish-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar