buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Selasa, 13 September 2016

GENERASI PEMADAM API



       Edisi 33 th VII : 19 Agustus 2016 M / 16 Dzul Qo’dah 1437 H
GENERASI PEMADAM API
Penulis: ust. Dana A. Dahlany (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal.”. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw yang telah menunjukkan syari’at yang benar.
Suatu kali, seorang sahabat saya yang biasa dipanggil Kang Yudi berujar, “Lha iya, yang namanya Syi’ah itu kan sudah ada sejak dulu to? Kenapa ya akhir-akhir ini beritanya semakin ramai dan terkesan dibesar-besarkan?” Tanpa pikir panjang, saya menjawab, “Mungkin isu itu digunakan sebagai test water (bahan percobaan), apakah negara Indonesia ini berpotensi untuk di-Iraq-kan atau di-Suriah-kan.” Indonesia yang mempunyai berbagai macam suku, etnis, ras dan agama ini memang sangat rentan dipecah belah dan diadu domba, andai saja watak bangsanya kaku dan keras sebagaimana watak orang-orang Timur Tengah. Syukurlah mayoritas masyarakat kita masih memiliki karakter sabar dan nrimo ing pandum.
Perbedaan adalah sunnatullah, ketentuan Allah yang telah Dia tuliskan di Lauhul Mahfuzh sejak awal penciptaan. Sebagai makhluk-Nya, seharusnya kita menerima kenyataan ini dengan hati lapang seraya mensyukuri perbedaan itu sebagai sebuah anugerah. Salah satu cara mensyukuri nikmat itu adalah dengan hidup berdampingan seraya mengimplementasikan sikap toleransi yang baik antar-suku, antar-ras dan antar-agama.

Kita diberi gambaran dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 98 yang artinya: “Andai saja Tuhanmu berkehendak, niscaya akan beriman semua manusia yang berada di bumi. Maka, apakah kamu akan (tetap) membenci manusia-manusia itu sampai mereka menjadi mukmin?” Kita diciptakan berbeda untuk saling mengenal, bukan untuk saling bertikai dan bermusuhan. Agar bisa saling kenal, tentu kita harus mengedepankan pergaulan yang baik antar-sesama, bukan malah mengedepankan sikap saling curiga. Yang mayoritas harus melindungi kepentingan minoritas. Begitu pula sebaliknya, yang minoritas juga harus tahu diri dan menghormati hak-hak mayoritas. Tidak ada paksaan dalam agama, apalagi dalam perkara remeh temeh.
Melihat fenomena yang berkembang akhir-akhir ini, tampaknya ada beberapa oknum yang sengaja “menyulut api” di beberapa titik di tanah air. Yang paling mutakhir adalah kisah seorang wanita keturunan Cina yang sempat protes dengan bisingnya suara adzan yang keluar dari TOA sebuah masjid di Tanjungbalai. Tapi sayangnya, kenapa kasus remeh seperti ini berlanjut dengan aksi pembakaran empat buah vihara yang notabene menjadi tempat ibadah umat Konghucu? Dan lebih parahnya lagi, konflik antar umat beragama ini diblow-up dan dibahas habis-habisan selama berhari-hari di media-media nasional. “Kobaran api” ini semakin membesar didukung dengan adanya bahan bakar tambahan semisal akun-akun provokator penebar kebencian (hate speech) di media sosial. Arus informasi yang menembus kecepatan cahaya ini juga turut berkontribusi menyebarkan virus-virus kecurigaan secara cepat dan massif di kalangan masyarakat awam, jauh melebihi kecepatan virus flu burung yang menyerang kandang peternakan mereka. Kalau ini diterus-teruskan, jangan heran jika suatu saat nanti negeri ini bernasib sama dengan negara-negara Timur Tengah yang tak habis-habisnya dilanda perang saudara berkepanjangan.
Padahal, selama bulan Syawwal kemarin, sudah tak terhitung berapa kali para da’i mengupas ayat yang menjelaskan ciri-ciri orang bertakwa semisal: “(Yaitu) orang yang senantiasa menginfaqkan (hartanya) baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dan orang-orang yang mampu menahan emosi, serta mereka yang memaafkan (kesalahan) manusia.” (Q.S. Ali ‘Imrân ayat 134). Dalam ayat itu disebutkan bahwa di antara ciri orang bertakwa yang dijanjikan ampunan Tuhan sekaligus surga seluas langit dan bumi adalah orang yang mampu menahan emosi, padahal sebenarnya ia mampu meluapkan dan melampiaskan emosinya. Ini sudah cukup sulit dilakukan. Ditambah lagi, ia juga dituntut untuk mau memaafkan kesalahan orang lain. Lihat, betapa berat menjadi orang bertakwa itu.
Jika seorang manusia mempunyai hati yang khusyu’ dan tunduk kepada Allah, insya Allah tidak ada kata berat baginya selama perintah itu berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Tapi, bagi mereka yang terlanjur kecanduan dengan kebencian, ceramah-ceramah itu cuma dianggap angin lalu, masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Mereka tetap akan membenci dan memusuhi pihak-pihak lain yang berbeda.
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا
“Dan jangan sampai kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil.”


Dalam contoh kasus di atas, kita sadar bahwa protes yang dilakukan wanita keturunan Tionghoa terhadap suara adzan itu sempat memantik emosi dan kebencian sebagian kaum muslim di sana. Tapi reaksi pembakaran vihara adalah suatu tindakan tidak adil yang tidak dibenarkan agama dan undang-undang negara. Sebaliknya, Allah justru meminta kita untuk berbuat adil, bagaimanapun kondisinya. Karena keadilan itu bisa membawa kedua belah pihak –baik yang mengadili maupun yang diadili– pada ketakwaan.
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“(Bersikap) adil-lah, karena ia lebih dekat pada ketakwaan.”
Terkait ayat ini, Syeikh Sya’rawi dalam tafsirnya punya kisah: Suatu ketika, Nabi Ibrahim as. didatangi seorang lelaki asing yang ingin minta makanan atau tempat singgah untuk menginap. Setelah ditanya tentang agamanya, ternyata orang itu kafir. Lantas sang Nabi tidak mau memenuhi permintaannya. Orang itu kemudian segera beranjak dari kediaman sang Nabi. Beberapa saat kemudian, Allah menurunkan wahyu dan menegur Nabi Ibrahim, “Aku tahu orang itu mengingkari-Ku, tapi Aku sama sekali tidak mencabut nikmatnya. Sementara itu, ketika ia datang kepadamu untuk minta sesuap makanan atau tempat singgah, kamu tidak berkenan memenuhi permintaannya.” Seketika itu Nabi Ibrahim langsung menyusul dan membuntuti orang tersebut. “Kenapa kamu mengikutiku?” Orang itu kaget dan bertanya. “Tuhanku telah menegurku karena menolak permintaanmu tadi,” jawab sang Nabi. “Ooh, betapa mulianya Tuhanmu itu, yang telah menegur kekasih-Nya hanya gara-gara pemintaan sepele dari musuh-Nya.” Itulah tanggapan terakhir orang itu sebelum akhirnya memutuskan untuk beriman kepada Tuhan Nabi Ibrahim as.
Sudah selayaknya kita yang mengaku masih “waras” ini ngalahi, bertugas mendidik anggota keluarga, murid, sahabat hingga masyarakat di sekeliling kita menjadi generasi pemadam api yang mampu menahan emosi dan hobi memaafkan orang lain. Setidaknya itulah di antara tindakan adil yang sejauh ini bisa kita usahakan. Bukan malah ikut-ikutan mencetak generasi “kompor” yang selalu mengagung-agungkan fanatisme golongan dan alergi terhadap perbedaan.  
Wallâhu a’lam bish-shawâb.   






Tidak ada komentar:

Posting Komentar