Edisi 36 th VII : 09 September 2016 M / 07 Dzul Hijjah
1437 H
DUA AYAH YANG DIKORBANKAN
Penulis:
ust. Dana A. Dahlany, Lc (TPQ ad-Darajaat Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 214 yang artinya
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman
bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu teramat dekat.” Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw yang merupakan keturunan dari dua
orang hebat yang pernah dikorbankan.
Setiap memasuki bulan Dzulhijjah,
kita selalu diuguhi kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimas-salam
demi menjalankan perintah Allah yang diterima Nabi Ibrahim dalam mimpi
beliau. Pengulangan kisah ini setiap tahun selalu berdampak pada dua
kemunginan: adakalanya keimanan dan ketaqwaan kita meningkat karena selalu
diingatkan dengan beratnya pengorbanan yang harus dijalani beliau berdua. Tapi
kemungkinan negatifnya, bisa jadi kita akan merasa bosan karena selama puluhan
tahun selalu disuguhi kisah yang sama tiap hari raya Idul Adha.
Untuk menghindari kemungkinan
negatif itu, dalam artikel ini, penulis akan menghadirkan kisah pengorbanan
lain yang dijalani oleh pasangan ayah dan anak, Abdul Muthalib dan Abdullah,
kakek dan ayah dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Penulis akan mengawali kisah ini dari sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh khalifah pertama Bani Umayyah, Sayyidina Mu’awiyah bin Abi
Sufyan ra.:
قَالَ كُنَّا عِنْد رَسُولِ الله صلى الله عَلَيْهِ
وَسلم فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ الله خَلَفْتُ الْبِلَادَ يَابِسَةً وَالْمَاءَ
يَابِسًا هَلَكَ المَالُ وَضَاعَ الْعِيَالُ فَعُدْ عليَّ مِمَّا أَفَاءَ اللهُ
عَلَيْكِ يَا ابْنَ الذَّبِيْحَيْنِ
فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ
صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ
(Mu’awiyah) berkata: Kami
pernah bersama Rasulullah saw., lalu ada seorang lelaki yang mengadu kepada
beliau, “Wahai Rasulullah, aku meninggalkan negeri-negeri yang kering, dan
(sumber) air yang kering. Harta benda telah rusak dan keluarga kami terlantar.
Maka berikanlah kepadaku sesuatu yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, wahai
Ibnu Dzabihain!” Lantas Rasulullah saw. tersenyum dan tidak mengingkari
(panggilan) lelaki itu.
Dalam hadits
itu, Nabi Muhammad saw dipanggil dengan sebutan Ibnu Dzabihain yang
artinya putra dari dua orang yang disembelih/dikorbankan. Dan
beliau pun tidak mengingkari panggilan itu. Kemudian Mu’awiyah ditanya mengenai
maksud dari julukan itu. Beliau menjawab, “Orang pertama yang dikorbankan
adalah kakek buyut beliau, Nabi Ismail as. dan yang kedua adalah ayah Nabi
sendiri, yakni Abdullah bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya Abdul Muthalib (kakek
Nabi) saat diperintah untuk menggali sumur Zamzam, ia bernadzar kepada Allah,
jika ia diberi kemudahan dalam menggali sumur Zamzam itu, ia akan mengorbankan
salah satu putranya. Ia akan mengundi salah satu dari 10 anaknya, dan keluarlah
undian atas nama Abdullah. Lantas Abdul Muthalib hendak menyembelihnya, tapi ia
dicegah oleh paman-pamannya dari bani Makhzum.” Begitulah penuturan
Mu’awiyah dalam lanjutan hadits.
Hadits ini
sendiri dianggap hadits hasan menurut para ulama dan dishahihkan
oleh Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. Lebih lanjut, Syeikh Ibnu
Hisyam menceritakan kisah ini lebih rinci dalam kitab As-Sirah
an-Nabawiyyah-nya. Mungkin kita sedikit terkejut dengan pernyataan ini.
Apakah Abdullah bin Abdul Muthalib, ayah Nabi Muhammad saw pernah dikorbankan
layaknya Nabi Ismail as.? Kisah ini jarang sekali kita dengarkan, atau bahkan
mungkin ada di antara kita yang belum tahu sama sekali tentang kisah ini.
***
Alkisah … ketika Abdul Muthalib
menggali kembali sumur Zamzam yang telah lama terkubur, ia pernah bernadzar,
andai ia mempunyai 10 putra hingga tumbuh
dewasa, ia akan mengorbankan
salah satunya untuk Allah di samping Ka’bah. Dan impiannya ini benar-benar
terjadi. Setelah melihat ke-sepuluh putranya yang tumbuh menjadi pemuda tangguh
yang mampu mengangkat senjata, ia teringat dengan nadzarnya. Ia mengumpulkan
putra-putranya dan mengutarakan nadzar tersebut. Sebagai anak yang berbakti, ke-sepuluh
putranya itu menuruti permintaan ayahnya layaknya Nabi Ismail yang menuruti
permintaan Nabi Ibrahim. Tapi mereka masih bingung, “Bagaimana cara kita
menunaikan nadzar ini?”
“Setiap
dari kalian hendaklah mengambil anak panah, lalu tulis nama kalian
masing-masing di situ,” pinta sang ayah. Mengundi nasib dengan anak panah
memang menjadi adat suku Quraisy sejak Rasulullah saw. belum dilahirkan. Abdul
Muthalib beserta ke-sepuluh putranya lantas menghadap berhala Hubal yang
bersemayam di atas sumur yang berada di dalam Ka’bah. Nama-nama yang tertulis
pada anak panah tadi kemudian diundi dan akhirnya keluarlah nama Abdullah untuk
dikorbankan. Padahal Abdullah adalah putra yang paling disayangi Abdul
Muthalib.
Abdul Muthalib
adalah orang yang teguh memegang kata-katanya. Ketika ia berjanji, pantang
baginya untuk mengingkari, termasuk membatalkan nadzarnya untuk mengorbankan
Abdullah, putra kesayangan. Ia tetap bersikeras untuk menyembelih Abdullah,
meskipun beberapa kerabatnya dari Bani Makhzum mencegahnya sekuat tenaga. Salah
satu di antara mereka berkata “Demi Allah jangan pernah menyembelih-nya.
Jika kamu bersikeras menyembelihnya, niscaya kelak akan ada lelaki yang datang
ke Ka’bah untuk menyembelih putranya sebagaimana yang kamu lakukan ini,”. Al-Mughirah
menambahkan, “Jika Abdullah harus ditebus dengan harta kami, maka kami akan
menebusnya.”
Tokoh Quraisy
yang lain memberi saran dan solusi alternatif, “Begini saja, pergilah ke
daerah Hijaz! Di sana ada sesosok wanita paranormal yang punya seorang pelayan.
Mintalah solusi kepadanya. Jika ia memintamu menyembelih Abdullah, maka
laksanakan! Tapi jika ia punya solusi atas permasalahan ini, maka terimalah
saran darinya.”
(bersambung…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar