buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Minggu, 22 Maret 2015

DZIKIR MENGINGAT ALLAH



Edisi 02 th VI : 9 Januari 2015 M / 18 Rabiul Awwal 1436 H
DZIKIR MENGINGAT ALLAH
Penulis: ust. Hadi Syahputro (TPQ Tarbiyyatul Qur’an, Perumda)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah menciptakan manusia dengan dibekali akal pikiran untuk menentukan langkah-langkah hidupnya. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 190 dan 191: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw sebagai sebaik-baik suri tauladan. Dan kita sebagai manusia biasa, sudah semestinya mengikuti dan meniru apa yang sudah beliau kerjakan dalam rangka senantiasa meningkatkan hubungan dengan Allah swt.
Rasulullah saw diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak manusia, sebagaimana tersurat dalam hadits yang telah masyur: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Dalam konsep penyempurnaan akhlak ini, Rasulullah saw membawa syari’at Islam yang mengajarkan banyak hal, mencakup hablum min Allah dan hablum minan nas. Mulai dari yang berhukum fardlu, sunnah, mubah, makruh sampai haram. Semuanya jika dijalankan maka akan mengantarkan manusia ke jalan yang benar dan kebahagiaan yang hakiki. Nah,  tidak

dapat dipungkiri, betapa banyaknya syariat Islam. Yang fardlu tentu saja harus dilaksanakan semaksimal mungkin, sedang yang haram harus mutlak ditinggalkan. Itulah orientasi takwa. Tetapi untuk yang sunnah, mubah dan makruh tentu juga perlu mendapat perhatian. Karena hal-hal tersebut akan dapat menambah poin kita untuk masuk kategori manusia yang bertakwa. Karena banyaknya hal-hal tersebut, terkadang manusia menjadi “bingung” apa yang akan dipilih untuk dikerjakan agar efektif dan efisien. Macamnya amalan sunnah saja begitu banyak, seperti puasa sunnah yang bermacam-macam, sedekah dengan segala tingkatannya, muamalah dengan segala variasinya dan lain sebagainya. Kasus seperti ini sudah ada semenjak jaman Rasulullah saw dulu. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi menyebutkan: “Dari Abdullah bin Buarin, ia berkata: ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, sungguh syari’at Islam sudah banyak sekali kebaikannya, maka ungkapkanlah kepadaku suatu amalan terbaik yang dapat kujalankan?” Rasulullah menjawab: “Basahilah selalu lisanmu de-ngan dzikir kepada Allah.” (HR Turmudzi)
            Dzikrullah. Itulah yang dianjurkan oleh Rasulullah kepada orang yang ingin menjalankan syariát Islam dengan sungguh-sungguh, karena dalam dzikirlah sebe-narnya inti syariat Islam. Secara konsep, jika seseorang sudah senantiasa mengingat Allah di manapun berada, maka yang akan dilakukannya adalah berhati-hati agar ti-dak tergelincir dalam kemungkaran. Karena kemungkaran adalah sama artinya de-ngan menentang Allah. Sedangkan Allah sudah menetapkan ketentuan-Nya melalui syariát agama Islam. Secara otomatis, orang yang senantiasa dzikrullah akan menjalankan syariát Islam dengan sepenuh hatinya.
            Perintah untuk berdzikir ini sangat banyak terdapat dalam al-Qurán, ada yang mengiringi perintah shalat, perintah haji, maupun berdiri sendiri. Diantaranya adalah surat al-Ahzab ayat 41-42: “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepadaNya di waktu pagi dan petang.” Perintah dalam ayat ini bersifat umum dan berlaku setiap saat. Lalu apa fungsi dzikir ini? Pertanyaan ini terjawab melalui surat ar-Ra’du ayat 28: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengi-ngat Allah, ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”
            Selain ayat tersebut, ada lagi yang berkenaan dengan fungsi dzikir, yaitu Surat al-Baqarah ayat 200: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih ba-nyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bagian (yang menye-nangkan) di akhirat.” Asbabun-nuzul dari ayat ini adalah suatu peristiwa dalam

suatu riwayat dikemukakan bahwa orang-orang Jahiliyyah wuquf di musim pasar. Sebagian dari mereka selalu membangga-banggakan nenek moyangnya yang telah membagi-bagi makanan, meringankan beban, serta membayarkan diyat (denda) orang lain. Maka turunlah ayat tersebut di atas, sebagai petunjuk apa yang harus dilakukan di saat wuquf, yaitu berdzikir mengingat Allah, bukan mengingat nenek moyang. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
            Adapun mengenai dzikir ini, boleh dilakukan dengan sendirian ataupun bersama-sama. Bahkan jika dilakukan bersama-sama (jamaah dzikir) maka ada fadilah tersendiri sebagaimana diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim berikut ini: “Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id, Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah suatu kaum duduk bersama berdzikir pada Allah, kecuali para ma-laikat mengelilingi mereka, dan mereka diliputi rahmat serta diberi ketentraman jiwa mereka, kemudian Allah memuji mereka di hadapan para malaikat-Nya.” (HR Muslim). Sebagaimana dicantumkan juga dalam kitab Riyadush-Shalihin, fadhilah dzikir tersebut sangat urgen sekali dalam pembentukan pribadi yang sha-lih. Dalam konteks ini, pribadi yang shalih selaras dengan syariát Islam.
            Para ulama fiqh mayoritas berpendapat bahwa yang dimaksud dzikir adalah semua kalimat toyyibah yang diajarkan oleh Rasulullah saw seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan sebagainya. Tetapi salah seorang tabiín salafush-shalih yang ber-nama Said bin Zubairi berpendapat bahwa “Dzikrullah tidak sebatas mengucapkan tasbih, tahmid dsb. Akan tetapi segala amal shalih merupakan dzikrullah. Hal ini karena setiap orang yang beramal karena taat pada Allah, maka dia termasuk ingat pada Allah.”
            Terlepas dari semua definisi tentang dzikir, kita harus mampu memahami bahwa dzikir merupakan salah satu upaya kita sebagai manusia agar senantiasa menyadari posisi sebagai hamba yang harus mengabdi pada Sang Pencipta. Karena itulah perintah dalam al-Qurán surat al-Ahzab ayat 41-42 harus kita aplikasikan dalam kehidupan kita. Semoga kita diberi kekuatan untuk hal tersebut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar