buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Minggu, 22 Maret 2015

MAULID



Edisi 52 th V : 26 Desember 2014 M / 4 Rabiul Awwal 1436 H
MAULIDAN
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji bagi Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 144: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.  Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada nabi Muhammad saw, manusia terbaik yang diangkat sebagai rasul terakhir bagi semua umat manusia sampai akhir jaman.
Arti kata Maulid Nabi adalah kelahiran Nabi. Pada perkembangannya kemudian menjadi perayaan umat Islam yang memperingati kelahiran manusia paling mulia di dunia dan akhirat yaitu Nabi Muhammad saw. Pada zaman sekarang ini bukan hanya masyarakat tingkat RT RW atau kelurahan saja yang merayakannya, tapi sudah meluas ke tingkat kabupaten serta nasional. Hal ini terbukti dengan adanya instansi-instansi baik pemerintah maupun non-pemerintah yang menyelenggarakan nya. Bahkan, Presiden beserta pemerintahannya pun tidak ketinggalan.
Ada perbedaan pendapat mengenai kapan dan siapa yang memulai peringatan Maulid Nabi. Ada yang berpendapat bahwa yang pertama kali mengadakan adalah raja Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1184 M/580 H untuk mengembalikan semangat para pejuang muslim dalam perang melawan persekutuan tentara salib ketika memperebutkan tanah Palestina. Salah satu acara dalam peringatan Maulid tersebut adalah dengan mengadakan sayembara penulisan sastra Islam dengan tema

mengenang perjuangan Nabi Muhammad saw dalam menyebarkan agama Islam. Pemenang dari sayembara tersebut adalah Syaikh Ja’far al-Barzanji, sehingga karyanya pun disebut kitab Barzanji atau dalam bahasa Jawa disebut Berjanjen. Biasanya para muda-mudi atau remaja masjid rutin melakukan kegiatan pembacaan kitab Barzanji meski bukan pada bulan Maulud/Rabiul Awwal.
Ada pula yang berpendapat berdasarkan kitab Tarikh Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang pertama kali menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah raja kerajaan Ibril di Irak yang bernama Mudzaffaruddin al-Kawkabri pada sekitar tahun 604 H. Sang Raja ini menyelenggarakan acara besar-besaran dengan menyembelih banyak kambing dan unta lalu mengundang rakyat, dan juga ulama’ dari berbagai disiplin ilmu baik fiqih, ushuluddin, tasawuf maupun yang lainnya.
Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat mengenai siapa yang pertama kali menyelenggarakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, maka kita tidak perlu terlalu mempermasalahkannya. Yang terpenting adalah menurut kesepakatan ulama’ bahwa hal itu termasuk amalan bid’ah hasanah atau sesuatu yang baru tapi baik dan bermanfaat. Imam Suyuthi dalam kitabnya Husnu al-Maqsid fi ‘Amal al-Maulid membahas khusus tentang peringatan Maulid Nabi ini. Al-Hafidz ibnu Dihyah juga menulis tentang Maulid dalam kitab At-Tanwir fi Maulid al-Basyir an-Nadzir.
Adapun berbagai argumen yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah sesat maka akan termentahkan dengan berbagai bukti sejarah dari beberapa sumber. Salah satu hal yang mendorong umat Islam yang berfaham Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi adalah salah satu hadits Nabi yang berkaitan dengan kebiasaan Nabi untuk berpuasa hari Senin.

عَنْ اَبِي قَتَادَةَ اْلاَنْصَارِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ اُنْزِلَ عَلَيَّ. رواه مسلم

Artinya: “Dari Abi Qatadah al-Anshariy, sesungguhnya Rasulullah saw ditanya tentang puasa Senin (yang sudah menjadi kebiasaan beliau), lalu beliau saw menjawab bahwa pada hari itu aku dilahirkan dan (pada hari itu pula) wahyu diturunkan (Allah swt) kepadaku.” (HR. Muslim)
Jadi, meskipun Rasulullah SAW tidak memerintahkan umatnya untuk memperingati hari kelahirannya, tetapi beliau sendiri mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa sunnah. Hal ini berarti kita pun juga boleh mensyukuri hari kelahiran Nabi tersebut dengan kegiatan-kegiatan yang baik yang meskipun itu tidak dilakukan oleh

beliau. Merayakan Maulid Nabi berarti mensyukuri rahmat Allah yang tiada tara. Karena Allah swt telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Anbiya’ ayat 107 yang artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta.” Kemudian dijelaskan lagi dalam surat Yunus ayat 58 yang artinya: Katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini, yang dimaksud karunia Allah adalah ilmu pengetahuan dan rahmat-Nya adalah Nabi Muhammad saw.
Dalam peringatan Maulid Nabi, biasanya selalu diadakan ceramah agama yang menceritakan keteladanan Rasulullah saw maupun kajian-kajian Islam lainnya. Hal ini berarti apa yang dilakukan itu adalah hal baik yang berpahala. Jika kita merujuk pada hadits Rasulullah saw:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. رواه الإمام مسلم في صحيحه

Artinya: “Barangsiapa yang memulai dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (HR. Muslim dalam shahihnya)
Jika kita mau mencari dalil-dalil lagi yang berkaitan dengan keutamaan mensyukuri dianugerahkannya manusia paling mulia di dunia dan akhirat yaitu Nabi Muhammad saw, maka kita akan mendapatkan lagi beragam hadits maupun ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan itu. Tapi, yang terpenting adalah pemahaman kita jangan sampai keliru bahwa mensyukuri kelahiran Nabi Muhammad saw adalah tidak sama dengan perayaan natal umat Kristen. Sudah seharusnya kita mengagungkan Nabi yang akan memberi syafa’at di hari tiada orang yang mampu memberi syafa’at selain beliau. Jika kita mengharapkan syafa’at tersebut, sudah selayaknya kita berusaha dengan cara mencintai beliau dengan berbagai cara yang baik menurut syari’at agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar