Edisi 52 th V : 26
Desember 2014 M / 4 Rabiul Awwal 1436 H
MAULIDAN
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat,
Mayak)
Segala puji bagi Allah yang telah
berfirman dalam al-Qur’an surat
Ali Imran ayat 144: “Muhammad itu tidak lain
hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.
Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?
Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.” Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan
pada nabi Muhammad saw, manusia terbaik yang diangkat sebagai rasul terakhir
bagi semua umat manusia sampai akhir jaman.
Arti kata Maulid
Nabi adalah kelahiran Nabi. Pada perkembangannya kemudian menjadi perayaan umat
Islam yang memperingati kelahiran manusia paling mulia di dunia dan akhirat
yaitu Nabi Muhammad saw. Pada zaman sekarang ini bukan hanya masyarakat tingkat
RT RW atau kelurahan saja yang merayakannya, tapi sudah meluas ke tingkat
kabupaten serta nasional. Hal ini terbukti dengan adanya instansi-instansi baik
pemerintah maupun non-pemerintah yang menyelenggarakan nya. Bahkan, Presiden
beserta pemerintahannya pun tidak ketinggalan.
Ada perbedaan pendapat mengenai kapan dan siapa
yang memulai peringatan Maulid Nabi. Ada yang berpendapat bahwa yang pertama
kali mengadakan adalah raja Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1184 M/580 H untuk
mengembalikan semangat para pejuang muslim dalam perang melawan persekutuan
tentara salib ketika memperebutkan tanah Palestina. Salah satu acara dalam
peringatan Maulid tersebut adalah dengan mengadakan sayembara penulisan sastra
Islam dengan tema
mengenang
perjuangan Nabi Muhammad saw dalam menyebarkan agama Islam. Pemenang dari
sayembara tersebut adalah Syaikh Ja’far al-Barzanji, sehingga karyanya pun
disebut kitab Barzanji atau dalam bahasa Jawa disebut Berjanjen. Biasanya para
muda-mudi atau remaja masjid rutin melakukan kegiatan pembacaan kitab Barzanji
meski bukan pada bulan Maulud/Rabiul Awwal.
Ada pula yang
berpendapat berdasarkan kitab Tarikh Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang
pertama kali menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah raja
kerajaan Ibril di Irak yang bernama Mudzaffaruddin al-Kawkabri pada sekitar
tahun 604 H. Sang Raja ini menyelenggarakan acara besar-besaran dengan
menyembelih banyak kambing dan unta lalu mengundang rakyat, dan juga ulama’
dari berbagai disiplin ilmu baik fiqih, ushuluddin, tasawuf maupun yang
lainnya.
Terlepas dari
berbagai perbedaan pendapat mengenai siapa yang pertama kali menyelenggarakan
acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, maka kita tidak perlu terlalu
mempermasalahkannya. Yang terpenting adalah menurut kesepakatan ulama’ bahwa
hal itu termasuk amalan bid’ah hasanah atau sesuatu yang baru tapi baik dan
bermanfaat. Imam Suyuthi dalam kitabnya Husnu al-Maqsid fi ‘Amal al-Maulid
membahas khusus tentang peringatan Maulid Nabi ini. Al-Hafidz ibnu Dihyah juga
menulis tentang Maulid dalam kitab At-Tanwir fi Maulid al-Basyir an-Nadzir.
Adapun berbagai
argumen yang menyatakan bahwa
peringatan
Maulid Nabi adalah bid’ah sesat maka akan termentahkan dengan berbagai bukti
sejarah dari beberapa sumber. Salah satu hal yang mendorong umat Islam yang
berfaham Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi
adalah salah satu hadits Nabi yang berkaitan dengan kebiasaan Nabi untuk
berpuasa hari Senin.
عَنْ
اَبِي قَتَادَةَ اْلاَنْصَارِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ
وُلِدْتُ وَفِيْهِ اُنْزِلَ عَلَيَّ. رواه مسلم
Artinya:
“Dari Abi Qatadah al-Anshariy, sesungguhnya Rasulullah saw ditanya tentang
puasa Senin (yang sudah menjadi kebiasaan beliau), lalu beliau saw menjawab
bahwa pada hari itu aku dilahirkan dan (pada hari itu pula) wahyu diturunkan
(Allah swt) kepadaku.” (HR. Muslim)
Jadi, meskipun Rasulullah SAW tidak
memerintahkan umatnya untuk memperingati hari kelahirannya, tetapi beliau
sendiri mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa sunnah. Hal ini berarti
kita pun juga boleh mensyukuri hari kelahiran Nabi tersebut dengan
kegiatan-kegiatan yang baik yang meskipun itu tidak dilakukan oleh
beliau. Merayakan Maulid Nabi berarti mensyukuri
rahmat Allah yang tiada tara. Karena Allah swt telah berfirman dalam al-Qur’an
surat al-Anbiya’ ayat 107 yang artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu
melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta.” Kemudian dijelaskan lagi
dalam surat Yunus ayat 58 yang artinya: “Katakanlah dengan karunia Allah dan
rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” Ibnu
Abbas menafsirkan ayat ini, yang dimaksud karunia Allah adalah ilmu pengetahuan
dan rahmat-Nya adalah Nabi Muhammad saw.
Dalam peringatan
Maulid Nabi, biasanya selalu diadakan ceramah agama yang menceritakan
keteladanan Rasulullah saw maupun kajian-kajian Islam lainnya. Hal ini berarti
apa yang dilakukan itu adalah hal baik yang berpahala. Jika kita merujuk pada
hadits Rasulullah saw:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. رواه
الإمام مسلم في صحيحه
Artinya: “Barangsiapa yang memulai dalam Islam
sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan
pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun.” (HR. Muslim dalam shahihnya)
Jika kita mau mencari dalil-dalil lagi yang
berkaitan dengan keutamaan mensyukuri dianugerahkannya manusia paling mulia di
dunia dan akhirat yaitu Nabi Muhammad saw, maka kita akan mendapatkan lagi
beragam hadits maupun ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan itu. Tapi, yang
terpenting adalah pemahaman kita jangan sampai keliru bahwa mensyukuri kelahiran
Nabi Muhammad saw adalah tidak sama dengan perayaan natal umat Kristen. Sudah
seharusnya kita mengagungkan Nabi yang akan memberi syafa’at di hari tiada
orang yang mampu memberi syafa’at selain beliau. Jika kita mengharapkan
syafa’at tersebut, sudah selayaknya kita berusaha dengan cara mencintai beliau
dengan berbagai cara yang baik menurut syari’at agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar