buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Sabtu, 21 Maret 2015

TRADISI TINGKEBAN



Edisi 46 th V : 14 Nopember 2014 M / 21 Muharam 1436 H
TRADISI TINGKEBAN
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji dalam alam ini hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 189 yang artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya. Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan pada anak terhebat yang pernah dilahirkan yang kemudian menjadi pemimpin bagi seluruh umat manusia yaitu Nabi Muhammad saw.
Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh, upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini secara filosofi adat bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil di mandikan dengan air kembang setaman dan disertai doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
Pada dasarnya definisi tradisi adalah setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia sehingga mudah bagi mereka untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan. Tradisi merupakan jalur kaitan masa lalu dengan masa sekarang diwariskan
dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. tradisi tidak hanya diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan masa lalu sampai sekarang.
            Tradisi semacam tingkeban mungkin bagi sebagian saudara muslim kita masih dianggap sebagai perbuatan mubadzir sia-sia, bid’ah yang harus dijauhi dan sebagainya. Namun perlu kita sadari bersama bahwasanya perbedaan perspektif atau cara pandang seperti ini janganlah membuat perpecahan antara umat Islam. Setiap orang tentu memiliki pilihan sendiri. Dan yang terpenting adalah jalannya tidak keluar dari syariat Islam. Penghargaan Islam pada sebuah tradisi bukan berarti tanpa syarat karena dalam Islam, orang tidak bisa serta merta membuat peraturan ibadah tersendiri atau memasukkan kebiasaan mereka menjadi ibadah. Inilah yang menjadi substansi atau isi pokok sebenarnya dari kelonggaran Islam terhadap setiap tradisi dari masyarakat di luar Arab. Hal ini karena memang tradisi setiap wilayah pasti berbeda, sedangkan Islam muncul dari wilayah Arab. Oleh karena Rasulullah saw belum bepergian ke wilayah di luar Arab untuk menentukan keabsahan setiap tradisi, maka dalil yang bisa dipakai sebagai rujukan adalah dalil-dalil yang umum, bukan dalil khusus yang misalnya melarang atau membolehkan tingkeban, karena memang di Arab tidak ada tradisi tingkeban. Persoalannya, mampukah kita menjadikan tradisi sebagai lahan dakwah?
Tingkeban di wilayah Ponorogo biasanya dijadikan sebagai sebuah tasyakuran kehamilan yang biasa dilaksanakan pada saat usia kehamilan anak pertama mencapai 7 bulan. Dalam acara tersebut tetangga sekitar baik laki-laki maupun perempuan diundang, acara pertama dibacakan ayat suci al-Qur’an misalnya surat Yusuf, surat Maryam, surat Luqman kemudian dilanjutkan dengan pembacaan shalawat, bacaan fatihah dan seterusnya sampai do’a. Acara dilanjutkan menyantap sedekah hidangan dari si shahibul hajat yang diteruskan memberi oleh-oleh (berkat) untuk dibawa pulang. Kegiatan ini ada maksud untuk memohon agar ibu yang mengandung dan anak yang masih dalam kandungan diberi limpahan rahmat oleh Allah swt. Hal ini tidaklah tercela sama sekali karena banyak ayat al-Qur’an maupun hadits baik yang memerintahkan untuk berdoa dan sedekah. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186 yang artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. Dari ayat inilah dapat ditarik pemahaman bahwa selama dalam hal kebenaran yang tidak menentang syari’at Islam, maka kita boleh memohon pada Allah.

Dalam konteks tradisi semacam tingkeban ini, syari’at Islam menempatkan adat atau tradisi pada tempat yang semestinya yaitu dengan memberikan apresiasi yang tinggi sehingga muncul beberapa qaidah fiqh antara lain :
الأصل في العادات الإباحة إلا ما نهى عنه الشرع
Asal di dalam adat itu adalah boleh kecuali apa yang diharamkan oleh syariat” .
Juga dalam hadits Nabi Muhammad saw bersabda
فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيئ
Maka apa saja yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang baik maka hal itu di sisi Allah juga baik, dan apa saja yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang jelek maka hal itu di sisi Allah juga jelek” (HR Ahmad). Yusuf Al-Qardhawi, seorang ulama kontemporer berkata, “Adapun adat dan hubungan sosial, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mengandung mafsadat dan mudharat”. Dengan mengetahui kaidah ini, maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan-penemuan baru pada masa sekarang. Di mana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.
            Adapun tradisi tingkeban yang diisi dengan bacaan al-Qur’an, sedekah dan do’a, maka tentunya tidak ada larangan di dalamnya. Sedangkan serangkaian seremoni tingkeban seperti guyur air, memecah kelapa dan sebagainya haruslah dimaknai sebagai sebuah budaya. Dalam point inilah kita harus mampu memahami bahwa tingkeban bukanlah suatu bentuk ibadah, melainkan tradisi. Adapun ibadah akan mendapatkan pahala, sedangkan tradisi adalah mubah atau boleh. Jika tradisi diisi dengan ibadah, maka akan bernilai plus. Di mata masyarakat, kita akan dinilai memuliakan leluhur, sedang di mata agama, kita akan mendapat pahala dari bacaan al-Qur’an dan sedekahnya.
            Semoga sekelumit tulisan ini mampu memberikan sebuah gambaran sederhana tentang Tingkeban dari perspektif agama. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar