Edisi 46 th V :
14 Nopember 2014 M / 21 Muharam 1436 H
TRADISI TINGKEBAN
Penulis:
ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji dalam alam ini hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 189 yang artinya: “Dialah
yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya. Dia menciptakan
isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya,
isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan
(beberapa waktu). kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri)
bermohon kepada Allah, seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami
anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan
pada anak terhebat yang pernah dilahirkan yang kemudian menjadi pemimpin bagi seluruh umat
manusia yaitu Nabi Muhammad saw.
Upacara Tingkeban
adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut juga mitoni
berasal dari kata pitu yang artinya tujuh, upacara ini dilaksanakan pada usia
kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini secara
filosofi adat bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi
semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang
sedang hamil di mandikan dengan air kembang setaman dan disertai doa yang
bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan
berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
Pada dasarnya
definisi tradisi adalah setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia sehingga
mudah bagi mereka untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan. Tradisi
merupakan jalur kaitan masa lalu dengan masa sekarang diwariskan
dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. tradisi tidak hanya diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan masa lalu sampai sekarang.
dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. tradisi tidak hanya diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan masa lalu sampai sekarang.
Tradisi semacam tingkeban mungkin
bagi sebagian saudara muslim kita masih dianggap sebagai perbuatan mubadzir
sia-sia, bid’ah yang harus dijauhi dan sebagainya. Namun perlu kita sadari
bersama bahwasanya perbedaan perspektif atau cara pandang seperti ini janganlah
membuat perpecahan antara umat Islam. Setiap orang tentu memiliki pilihan
sendiri. Dan yang terpenting adalah jalannya tidak keluar dari syariat Islam. Penghargaan
Islam pada sebuah tradisi bukan berarti tanpa syarat karena dalam Islam, orang
tidak bisa serta merta membuat peraturan ibadah tersendiri atau memasukkan
kebiasaan mereka menjadi ibadah. Inilah yang menjadi substansi atau isi pokok
sebenarnya dari kelonggaran Islam terhadap setiap tradisi dari masyarakat di
luar Arab. Hal ini karena memang tradisi setiap wilayah pasti berbeda,
sedangkan Islam muncul dari wilayah Arab. Oleh karena Rasulullah saw belum
bepergian ke wilayah di luar Arab untuk menentukan keabsahan setiap tradisi,
maka dalil yang bisa dipakai sebagai rujukan adalah dalil-dalil yang umum,
bukan dalil khusus yang misalnya melarang atau membolehkan tingkeban, karena
memang di Arab tidak ada tradisi tingkeban. Persoalannya, mampukah kita
menjadikan tradisi sebagai lahan dakwah?
Tingkeban di wilayah Ponorogo biasanya dijadikan sebagai sebuah
tasyakuran kehamilan yang biasa dilaksanakan pada saat usia kehamilan anak
pertama mencapai 7 bulan. Dalam acara tersebut tetangga sekitar baik laki-laki
maupun perempuan diundang, acara pertama dibacakan ayat suci al-Qur’an misalnya
surat Yusuf, surat Maryam, surat Luqman kemudian dilanjutkan dengan pembacaan
shalawat, bacaan fatihah dan seterusnya sampai do’a. Acara dilanjutkan
menyantap sedekah hidangan dari si shahibul hajat yang diteruskan
memberi oleh-oleh (berkat) untuk dibawa pulang. Kegiatan ini ada maksud untuk
memohon agar ibu yang mengandung dan anak yang masih dalam kandungan diberi
limpahan rahmat oleh Allah swt. Hal ini tidaklah tercela sama sekali karena
banyak ayat al-Qur’an maupun hadits baik yang memerintahkan untuk berdoa dan
sedekah. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186 yang artinya: “Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya
Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
Dari ayat inilah dapat ditarik pemahaman bahwa selama dalam hal kebenaran yang
tidak menentang syari’at Islam, maka kita boleh memohon pada Allah.
Dalam konteks tradisi semacam tingkeban ini, syari’at Islam
menempatkan adat atau tradisi pada tempat yang semestinya yaitu dengan
memberikan apresiasi yang tinggi sehingga muncul beberapa qaidah fiqh antara
lain :
الأصل في
العادات الإباحة إلا ما نهى عنه الشرع
“ Asal di dalam adat itu adalah boleh kecuali apa yang diharamkan oleh syariat” .
Juga dalam hadits Nabi Muhammad saw bersabda
“ Asal di dalam adat itu adalah boleh kecuali apa yang diharamkan oleh syariat” .
Juga dalam hadits Nabi Muhammad saw bersabda
فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا
فهو عند الله سيئ
“Maka apa saja yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang baik maka hal itu di sisi Allah juga baik, dan apa saja yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang jelek maka hal itu di sisi Allah juga jelek” (HR Ahmad). Yusuf Al-Qardhawi, seorang ulama kontemporer berkata, “Adapun adat dan hubungan sosial, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mengandung mafsadat dan mudharat”. Dengan mengetahui kaidah ini, maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan-penemuan baru pada masa sekarang. Di mana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.
“Maka apa saja yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang baik maka hal itu di sisi Allah juga baik, dan apa saja yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang jelek maka hal itu di sisi Allah juga jelek” (HR Ahmad). Yusuf Al-Qardhawi, seorang ulama kontemporer berkata, “Adapun adat dan hubungan sosial, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mengandung mafsadat dan mudharat”. Dengan mengetahui kaidah ini, maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan-penemuan baru pada masa sekarang. Di mana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.
Adapun tradisi tingkeban yang diisi
dengan bacaan al-Qur’an, sedekah dan do’a, maka tentunya tidak ada larangan di
dalamnya. Sedangkan serangkaian seremoni tingkeban seperti guyur air, memecah
kelapa dan sebagainya haruslah dimaknai sebagai sebuah budaya. Dalam point
inilah kita harus mampu memahami bahwa tingkeban bukanlah suatu bentuk ibadah,
melainkan tradisi. Adapun ibadah akan mendapatkan pahala, sedangkan tradisi
adalah mubah atau boleh. Jika tradisi diisi dengan ibadah, maka akan
bernilai plus. Di mata masyarakat, kita akan dinilai memuliakan leluhur, sedang
di mata agama, kita akan mendapat pahala dari bacaan al-Qur’an dan sedekahnya.
Semoga sekelumit tulisan ini mampu
memberikan sebuah gambaran sederhana tentang Tingkeban dari perspektif agama.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar