buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Minggu, 22 Maret 2015

PENGHARAPAN



Edisi 50 th V : 12 Desember 2014 M / 20 Shaffar 1436 H
PENGHARAPAN
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji bagi Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 286: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggu-pannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia menda-pat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada nabi Muhammad saw, sang pelopor pencerahan dalam ketauhidan manusia.
                        Kita menjalani kehidupan dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan seterus-nya. Setiap saat pasti ada masalah yang menghampiri. Sangatlah tidak mungkin ada manusia yang tidak mengalami masalah. Masalah ini boleh jadi masalah yang menye-dihkan, namun bisa jadi juga masalah yang menyenangkan. Dalam menghadapinya, tentu kita harus meyakini bahwa apapun bentuk masalah tersebut merupakan ujian dari Allah. Dan dalam setiap ujian tersebut, tidaklah mungkin Allah salah dalam memberi ujian pada manusia, dalam arti tidak mungkin Allah memberi ujian atau masalah yang tidak ada solusinya bagi manusia. Oleh karenanya ketika manusia menghadapi masalah, selayaknya selalu ada pengharapan pada Allah.
Dalam kitab Riyadhus-Shalihin bab ikhlas dan niat, disebutkan ada sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dimana hadits ini berasal dari Abdullah bin Umar ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda (bercerita): “Di jaman dahulu, ada tiga orang penjelajah tersesat di hutan dan bermalam di gua. Mereka tidak mengira akan terjadi sebuah musibah yaitu sebuah batu besar jatuh dari atas bukit dan menutup pintu goa, sedang mereka bertiga tidak dapat bergerak lagi. Mereka bingung mencari jalan keluarnya. Maka mereka segera bermusyawarah dengan cepat, salah seorang diantaranya berkata: “Satu-satunya jalan yang dapat mengatasi permasalahan ini hanyalah memanjatkan do’a kepada Allah swt disertai tawassul mengungkap amal kebaikan yang pernah kita lakukan dulu.” Kemudian salah seorang dari mereka mengawali do’a: “ya Allah, karena baktiku pada kedua orang tuaku ketika mereka masih hidup, tidak seorangpun dari keluarga atau pembantuku diperbolehkan minum susu sebelum kedua ayah ibuku lebih dahulu meminumnya. Pada suatu hari aku terlambat pulang dari pekerjaanku hingga larut malam. Aku temui ayah ibuku sudah tidur nyenyak. Lalu aku memerah susu, namun aku enggan membangunkan mereka berdua, sedang tidak seorangpun diperkenankan minum susu tersebut. Aku menunggui mereka tidur hingga terbit fajar, maka bangunlah keduanya dan meminum susu yang kuperah tadi malam. Padahal semalam anak-anakku menangis ingin meminum susu tersebut dan mereka merengek-rengek di dekat kakiku. Ya Allah, jika semua itu kulakukan semata mencari ridha-Mu, maka tolonglah kami dalam mengatasi kesulitan yang tengah kami hadapi dalam goa ini.” Alkisah, batu yang menutupi pintu goa tersebut bergeser sedikit dari tempatnya, tetapi mereka belum bisa keluar juga. Lalu orang kedua memulai do’anya: “Ya Allah, aku pernah mencintai gadis keponakanku sendiri (anak pamanku). Setiap saat aku merayu dan ingin melampiaskan nafsu birahi padanya, namun ia selalu menolaknya. Di suatu musim paceklik, keluarganya kehabisan makanan. Dan pada suatu hari ia dating minta bantuan pangan padaku. Aku segera mengambil uang 120 dinar dengan syarat ia mau menuruti pelampiasan nafsu birahiku di malam harinya. Maka ketika malam tiba, iapun datang memenuhi janjinya. Dan saat aku sudah berada di antara kedua kakinya, tiba-tiba ia memberi peringatan kepadaku dan berkata: “Bertakwalah kamu kepada Allah dan jangan kau nodai aku, jangan kau renggut keperawananku kecuali dengan ikatan pernikahan yang sah.” Kemudian aku segera membatalkan niat buruk tersebut dan bangun tidak jadi memperdayainya, padahal nafsu birahiku masih bergelora. Dan uang 120 dinar itu kuserahkan dengan tulus ikhlas tanpa mengharap imbalan apapun darinya. Ya Allah jika semua itu kulakukan semata mencari ridha-Mu, maka bebaskanlah kami dari musibah ini.” Alkisah, batu yang menutupi goa tersebut pun bergeser lagi dari tempatnya, namun belum cukup untuk menjadi pintu keluarnya.

Akhirnya orang ketigapun mulai memanjatkan do’anya: “Ya Allah, dulu aku adalah seorang yang memiliki usaha bisnis dengan memiliki banyak karyawan. Pada suatu hari ketika aku membagikan upah pada para karyawan tersebut, salah seorang diantaranya pulang ke rumahnya tanpa mengambil upah yang kusediakan, dan ia tidak kembali lagi bekerja. Maka uang upah tersebut aku jadikan modal usaha lagi. Hari demi hari, minggu berganti bulan dan tahun, berkembanglah uang tersebut menjadi kekayaan. Sesudah melewati masa waktu yang cukup lama, datanglah karyawan dulu itu menagih upah yang dulu belum diambilnya: “Wahai Abdullah, aku meminta upahku yang dulu itu.” Aku pun berkata: “Ambilah semua harta kekayaan di hadapanmu yang semula dari modal upahmu itu, berupa hewan ternak dan penggembalanya.” Ia tercengang dan berkata: “Kau jangan menghinaku wahai Abdullah.” Maka aku pun menyahut: “Tidak, bukan aku menghinamu.” Akhirnya semua harta yang kusebutkan diambilnya tanpa sisa. Ya Allah, jika semua itu kulakukan untuk mencari ridha-Mu, maka bebaskanlah kami dari musibah ini.” Alkisah, batu yang menutupi goa bergeser lagi sehingga mereka pun dapat keluar dengan selamat.”
Beberapa hal yang dapat ditarik kesimpulan dari hadits tersebut di atas adalah bahwa ada keikhlasan yang luar biasa yang hanya mengharap ridha Allah, pada saat sebenarnya orang memiliki kesempatan dan kekuatan untuk berbuat lebih dari yang dia mau namun dia tidak mau melakukannya, ternyata hal tersebut menjadi catatan tersendiri di sisi Allah. Jika pada saatnya dia tidak lagi memiliki kesempatan dan kekuatan untuk melakukan sesuatu hal yang sekiranya dapat menolong dirinya sendiri, maka dengan penuh pengharapan pada pertolongan Allah, berbekal keikhlasan yang dulu pernah dilakukan, ternyata dapat menjadi sebab atas terbukanya pertolongan dari Allah.
Semoga kita semua dapat menjadi orang yang ikhlas dalam melakukan segala hal dengan hanya mengharap ridha dari Allah atas apa yang telah kita lakukan tersebut. Aamiin …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar