buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 23 Maret 2016

PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP



       Edisi 13 th VII : 25 Maret 2016 M / 16 Jumadil Tsani 1437 H
PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP
Penulis: ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Maha suci Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 79 yang artinya “tidak wajar bagi seorang manusia yang telah diberi al-Kitab, hikmah dan kenabian oleh Allah, lalu berkata kepada manusia lain: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani [orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah], karena kamu selalu mengajarkan al-kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada nabi Muhammad saw sebagai suri tauladan sempurna bagi segenap umat manusia sampai akhir jaman.
Umat Islam diperintahkan untuk iqra’ yang diartikan membaca atau dimaknai belajar ataupun mencari ilmu. Pangkal dari perintah ini tentu saja ayat al-Qur’an yang pertama diturunkan yaitu surat al-‘Alaq ayat pertama yang artinya Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-mu Yang Menciptakan”, kemudian akan bermuara ayat ke 102 dari surat Ali ‘Imran yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Jika kedua ayat ini kita tarik benang merahnya dengan ayat 79 surat Ali ‘Imran pada "… hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” maka kita bisa membuat sebuah pandangan bahwa kita diperintahkan untuk membaca/belajar sepanjang kehidupan kita karena kita selalu

mengajarkan kitab dan tetap mempelajarinya sampai kita mati dalam keadaan Islam yang kaffah. Benang merah ini menunjukkan betapa pentingnya pendidikan seumur hidup. Kita mungkin sudah akrab dengan hadits yang artinya “Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian hingga liang lahat”. Hadits ini masih diperselisihkan ke-shahih-annya karena memang tidak jelas perawinya serta tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang masuk dalam kategori kutubus-sittah (enam kitab hadits riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah) bahkan dalam kutubut-tis’ah (kutubus-sittah ditambah riwayat Imam Malik, Imam Ahmad, dan ad-Darimi). Terlepas dari hal tersebut, tentu makna kalimat dalam matannya layak kita implementasikan sebagai penyemangat bagi kita dalam menempuh pendidikan seumur hidup.
            Dalam konteks ini, kita perlu memahami bahwa yang dimaksud dengan “pendidikan” merupakan segala macam jenis pendidikan, bukan cuma pendidikan dalam konsep sekolah formal seperti SD hingga Perguruan Tinggi. Jika pendidikan hanya diasumsikan sebagai pendidikan formal, maka segala sesuatu akan terbentur pada “biaya” dan “batasan umur”. Namun jika kita mengambil sudut pandang bahwa pendidikan merupakan segala sesuatu yang kita lakukan dengan tujuan mempelajari sesuatu untuk merubah diri kita agar lebih baik, maka kita bisa menganggap apapun yang ada di hadapan kita sebagai materi pendidikan. Selain itu, pendidikan akan dapat dilaksanakan kapan pun dan di mana pun tempatnya.
            Jika dalam pola pikir kita sudah terpateri tentang pendidikan, maka kita bisa mewujudkannya dalam setiap kesempatan yang kita miliki. Mungkin saat kita ngopi di warung, kita bisa berbicara atau diskusi ringan tentang hal-hal yang sekiranya bisa memajukan segala usaha kita, baik usaha dunia (pekerjaan) maupun usaha akhirat (ibadah). Begitu juga saat kita istirahat dari pekerjaan di sawah atau di pasar atau di tempat mangkal kendaraan. Segala tempat dapat kita jadikan majelis ilmu. Dalam konsep inilah kita dapat terus berpacu mencari ilmu dalam ranah pendidikan seumur hidup. Kita juga akan bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, berbagi ilmu tanpa kita sadari akan mendapatkan pahala. Pada point inilah kedudukan niat menjadi sangat penting. Jika kita bertemu teman dan kemudian kita niatkan belajar bersama dalam diskusi membuka wawasan ilmu, maka hal ini akan berpahala besar dan memberikan efek luar biasa bagi kita. Sebuah hadits Rasulullah saw yang artinya “Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu maka akan Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah). Matan hadits ini sangat sinkron dengan atsar Ali bin Abi Thalib yang menjelaskan bahwa: “Barang siapa yang menghendaki kebahagiaan dunia, maka harus memakai ilmu, barang siapa yang menghendaki kebahagiaan akhirat harus memakai ilmu, dan barang siapa yang menghendaki keduanya, maka juga harus memakai ilmu.”

Bagi kita yang memang sudah berumah tangga dan sudah menanggung biaya hidup orang lain, namun masih ingin mencari ilmu, kita masih bisa memanfaatkan banyak media. Kita bisa membaca buku-buku yang ditulis oleh penulis yang dapat dipertanggungjawabkan. Kita juga masih bisa menghadiri majelis ta’lim dengan nara sumber ustadz-ustadzah yang berkompeten di bidangnya. Kita juga bisa mendengarkan radio ataupun melihat televisi yang menyajikan acara dakwah Islam.
Sesungguhnya usia bukanlah hambatan untuk belajar karena memang pendidikan dilaksanakan seumur hidup. Pengalaman penulis beserta ketua Pengurus TPQ NU Kortan Ponorogo, pada awal Maret 2016 lalu, mengisi sebuah kegiatan belajar bersama cara membaca al-Qur’an methode an-Nahdliyah di wilayah Poh ijo Sampung. Peserta kegiatan adalah para ibu dan nenek di wilayah tersebut. Meski usia mereka lebih dari sekedar dewasa, namun semangat belajarnya termasuk luar biasa. Mereka mengikuti kegiatan sampai selesai meski cuaca mendung dan hujan. Dalam hal ini, mereka telah menunjukkan rasa syukurnya pada Allah yang telah menciptakan berbagai macam anggota badan. Kaki digunakan untuk berjalan menuju tempat belajar sedang tangan digunakan untuk mengikuti titian murottal saat belajar. Telinga untuk mendengarkan setiap materi pelajaran dan mulut untuk menirukan lafadznya. Sungguh apa yang telah dilakukan tersebut sejalan dengan al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78 yang artinya “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur (untuk kemudian digunakan mempelajari apa yang belum diketahuinya).” Maka jika sudah mengimplementasikan ayat 78 dari surat an-Nahl tersebut, layaklah disinkronkan dengan surat Ibrahim ayat 7 yang artinya “dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." 
Semoga Allah meringankan setiap langkah kita dalam menempuh pendidikan seumur hidup hingga kita mampu sukses mencapai tujuan akhirnya, yaitu meninggal dunia dalam keadaan Islam secara kaffah. Aamiin ...
***




           

PERSATUAN DI ATAS SEGALA



       Edisi 12 th VII : 18 Maret 2016 M / 9 Jumadil Tsani 1437 H
PERSATUAN DI ATAS SEGALA
Penulis: ust. Dana A. Dahlany (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Maha suci Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 10 yang artinya “orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw yang telah bersabda dalam hadits yang artinya “Seorang mukmin bagi mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, saling menguatkan satu sama lain.”
Di ujung barat Samudera Hindia, ada sebuah kepulauan kecil yang kini dikenal sebagai Republik Mauritius (Maros). Meskipun namanya tidak begitu populer di dunia, republik ini termasuk salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di benua Afrika. Tapi prestasi itu tidak diraih dengan mudah. Perlu perjalanan panjang untuk memajukan negara yang baru lepas dari penjajahan Inggris pada tahun 1968 ini. Awalnya, banyak kalangan yang memprediksi bahwa negara ini bakal mengalami konflik antar etnis yang berkepanjangan. Pasalnya, penduduknya berasal dari ras yang bermacam-macam: mulai dari ras Afrika, Eropa, India hingga keturunan Asia Tenggara. Perbedaan agama yang dianut warganya juga semakin menambah tantangan untuk membangun persatuan bangsa. Mayoritas beragama Hindu, sebagian Kristen dan ada pula yang Muslim. Dengan semangat merayakan perbedaan, warga negara Mauritius saling bahu-membahu menjaga persatuan untuk memajukan bangsanya. Bahkan menurut J. Sumardianta dalam bukunya Habis Galau Terbitlah Move On,

negara ini punya sistem Pemilu yang unik untuk menjamin keterwakilan minoritas di parlemen. Undang-Undang mereka telah mengatur untuk “mencadangkan” 8 kursi di parlemen yang diberikan pada partai terbaik yang kalah pemilu. Dengan adanya sistem seperti itu, negara Mauritius berhasil lolos dari konflik antar ras dan agama yang sering mengancam negara-negara multi-etnis. Salah seorang pemimpin mereka, Navin Ramgoolam pernah berujar: “Kita semua tiba dari berbagai benua dengan pelbagai kapal yang berbeda. Sekarang kita berada di kapal yang sama.” Semangat persatuan untuk merayakan perbedaan itulah yang perlu kita tiru dan kita terapkan di bumi Indonesia. Apalagi Indonesia adalah negara mayoritas Muslim terbesar yang saat ini menjadi sorotan dunia. Perbedaan suku, bahasa bahkan agama seharusnya tidak lagi menjadi penghalang bagi kita untuk menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa di atas segala-galanya.
Beberapa waktu lalu, tepatnya pada tanggal 21-25 Februari 2016, Indonesia kedatangan tamu agung, Imam Akbar Grand Syeikh Al-Azhar Mesir. Beliau adalah Prof. Dr. Ahmad Thayyib, seorang pemimpin tertinggi institusi pendidikan tertua di dunia. Dalam ceramah umum yang beliau tujukan untuk segenap umat di Asia Tenggara, beliau memuji Indonesia: “Tidak berlebihan rasanya jika saya memuji Indonesia sebagai bangsa yang dianugerahi kemampuan spesial dari Allah. Kemampuan untuk mempertunjukkan Islam kepada dunia internasional, bahwa agama ini senantiasa mengajak umatnya untuk meraih kemuliaan baik di dunia dan di akhirat. Bangsa ini mampu menyelaraskan khazanah budaya tradisional dengan pesatnya arus modernisasi, juga mengakomodasi hak individu dan menjamin kemaslahatan bersama di masyarakat.” Sebenarnya perkembangan dan kemajuan yang progresif itu tidak dapat dicapai tanpa didasari kuatnya persatuan kita sebagai umat dan rasa kesatuan kita sebagai anak bangsa. Saat memberikan pidato di Masjid Unida Gontor Ponorogo, Syeikh Ahmad Thayyib menyampaikan: “Tujuan utama kunjungan saya ke Indonesia adalah untuk menyerukan persatuan umat Islam. Al-Azhar akan selalu menjadi benteng yang bertanggung jawab menjaga persatuan dan keutuhan umat.”
Syeikh Ahmad Thayyib sempat bercerita mengenai perselisihan pendapat tentang hukum shalawat (pujian) di antara adzan dan iqamah. Kala itu di hadapannya terjadi perdebatan sengit antar kelompok. Kelompok pertama menganggap bahwa pujian setelah adzan itu bid’ah. Kelompok kedua menganggapnya sunnah. Melihat debat kusir yang tak kunjung rampung, saat itu juga beliau menimpali: “Kalau gitu, udah nggak usah adzan sekalian. Sebab adzan itu cuma sunnah, sementara persatuan kalian hukumnya wajib.” Beliau lebih mengutamakan persatuan yang wajib hukumya, daripada melaksanakan kesunnahan yang hanya berujung perselisihan. Ketrampilan beliau dalam menentukan skala prioritas ini juga pernah beliau terapkan ketika Mesir mengalami chaos dan  terjadi demonstrasi  besar-besaran di mana-mana.

Rakyat menuntut Presiden Mesir mundur, tapi sang Presiden beserta antek-anteknya tetap kukuh mempertahankan jabatannya. Pada saat genting seperti itu, sebagai tokoh publik, beliau memilih untuk berpihak pada rakyat dengan memegang prinsip akhaffu dhararain (memilih salah satu risiko yang paling kecil). Hal itu beliau lakukan, lagi-lagi untuk menjaga persatuan umat dan menghindarkannya dari perang saudara.
Bangsa Indonesia sudah sejak lama hidup berdampingan dalam perbedaan. Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi nafas kehidupan kita. Namun tampaknya, masih saja ada pihak-pihak yang tidak suka dengan keharmonisan hidup berbangsa. Mereka akan terus berusaha merongrong persatuan kita dengan menyulut friksi-friksi kecil yang sebenarnya sudah ada sejak lama di tengah-tengah masyarakat. Perbedaan mazhab dan ideologi politik seakan kembali dikipas-kipasi sebagai senjata untuk melancarkan politik adu domba, devide et impera.
Jangan sampai negara kita hancur lebur karena konflik berdarah seperti yang sedang terjadi di Timur Tengah. Kata Prof. Dr. M. Taufiq Ramadhan, seorang cendekiawan dan mursyid tasawuf dari Suriah yang beberapa waktu lalu juga berkunjung ke Indonesia, konflik berkepanjangan yang terjadi di Suriah itu disebabkan oleh fitnah yang disebarkan secara massif bagai sebuah virus yang menjangkiti segenap rakyat Suriah. Karena itu, mereka dengan mudah dihasut untuk memerangi saudaranya sendiri dengan dalih membela agama. Padahal sejatinya semua itu hanya urusan politik dan kekuasaan belaka. Apalagi campur tangan kekuatan asing makin kental dan merajalela.
Belajar dari pengalaman itu, bangsa Indonesia dihimbau agar tidak mudah termakan fitnah yang akhir-akhir ini disebarkan secara massif melalui berbagai media, baik melalui cara konvensional maupun via media sosial. Kita perlu mengutamakan persatuan di atas segalanya. Karena Indonesia tidak akan maju jika rakyatnya tak mau bersatu. Bangsa ini tak akan maju jika pejabatnya tidak jujur dan tak tahu malu.
Wallâhu a’lam bish-shawâb.
***