Edisi 07 th VII : 12 Februari 2016 M / 03 Jumadil Ula 1437
H
BERBINCANG DENGAN ALLAH
Penulis:
ust. Dana A. Dahlany, Lc (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Maha suci Allah yang telah
berfirman dalam al-Qur’an sehingga kita sebagai makhluk-Nya bisa membaca dan berusaha memahami kalam Ilahi
tersebut. Shalawat dan salam semoga tercurah pada nabi Muhammad saw,
sang penerima al-Qur’an yang
kemudian meneruskannya pada segenap umat manusia.
Alkisah, setelah merantau ke negeri Madyan di selatan dataran
Syam dan menuntaskan 10 tahun kontrak kerjanya dengan sang mertua, Nabi Musa ‘alaihi
as-salam berpamitan. Ia berangkat kembali ke
Mesir dengan membawa serta sang istri. Ketika sampai di
dataran Sinai, ia menjumpai seonggok api yang bersinar terang di samping bukit
Thur. Iapun mendekat ke
sumber api. Tiba-tiba terdengar ada suara yang
memanggil-manggil dirinya. Itu bukan suara istrinya, juga bukan suara dari manusia atau hewan. “Hai Musa, sesungguhya Aku-lah Allah, Tuhan alam semesta,”
bunyi suara itu. Nabi Musa merasa
gentar dan mulai ketakutan.
“Lemparkanlah tongkatmu!” perintah
suara itu. Nabi Musa melemparkan
tongkatnya, dan tongkat itu
menggeliat, bergerak-gerak bagai ular melata dan menggelepar mencari-cari
sesuatu. Nabi Musa ketakutan dan lari. Namun suara itu memanggilnya lagi. “Hai Musa, kembalilah! Masukkanlah
tanganmu ke saku bajumu. Tangan itu nanti akan keluar putih bersih tanpa
cacat.” Suara itu terus berseru tanpa
henti. Perintah-perintah aneh makin membuat Nabi Musa ketakutan. “Jika masih ketakutan, dekapkanlah kedua tanganmu ke dada!” Maka nabi Musa pun menuruti
perintah tersebut. Setelah mendekapkan kedua tangannya di dada,
Nabi Musa merasa agak tenang dan
terkendali
Dan memang dua perintah
sebelumnya itu adalah dua hal luar biasa yang tidak dapat dijangkau oleh akal
pikiran manusia. Kelak dua hal ini disebut mukjizat. Mukjizat ini bisa
dibawa Nabi Musa untuk membuktikan kenabiannya dan sebagai bekal untuk
menghadapi keangkuhan Fir’aun yang berkuasa di Mesir. Sejak peristiwa itu, Nabi
Musa dijuluki “Kalîmullah” (orang yang diajak berbincang oleh Allah).
Kisah ini dijelaskan secara panjang lebar oleh Syeikh Dr. Muhammad Sayyid
Thanthawi dalam Tafsir al-Wasith-nya ketika mengupas Surat Al-Qashash
(28): 29-32.
Sebagai umat
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita diberi sebuah anugerah
yang tak ternilai harganya. Jika kita ingin berbincang dengan Allah, kita tidak
perlu mengalami hal-hal mengerikan dan tidak masuk akal sebagaimana yang
dialami Nabi Musa as di atas. Kita juga tidak perlu menggigil dan berkeringat
dingin seperti yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad saw saat menerima wahyu.
Lantas apa yang perlu kita lakukan jika kita ingin mengobrol dan diajak
berbincang oleh Allah?
Seorang arif
nan bijak bestari bernama Hasan al-Bashri pernah berkata, “Barang siapa
yang ingin diajak bicara oleh Allah, hendaklah ia membaca Al-Quran. Dan barang
siapa yang ingin mengajak bicara Allah, hendaklah ia shalat.”
Lebih lanjut, beliau mengisahkan
bahwa generasi para sahabat dan salafush-shalih menganggap dan
memperlakukan Al-Quran sebagai pesan kasih dan surat cinta dari Allah Sang
Pencipta. Saat malam menjelang, mereka membaca dan merenungi pesan-pesan yang
terkandung di dalamnya. Dan ketika siang menyingsing, mereka mempelajari dan
menelusuri intisari dari ajaran yang tersirat di kitab.
Lalu apakah
Allah juga akan membalas dan merespon obrolan kita? Untuk menjawab pertanyaan
itu, ada baiknya kita simak sebuah hadits Qudsi berikut ini. Hadits Qudsi
sebenarnya adalah firman Allah, tetapi disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw.
dengan menggunakan redaksi dari beliau sendiri. Hadits Qudsi ini menjelaskan
tentang respon Allah terhadap orang yang membaca Surat Al-Fatihah dalam shalat.
Rasulullah Saw. bersabda:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: «قَسَمْتُ
الصَّلاَةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»
Allah berfirman, "Aku
membagi shalat menjadi dua, antara diri-Ku dan hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku, apa
yang dia minta."
فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ:الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعالَمِينَ. قَالَ اللهُ: حَمَدَنِي عَبْدِي
Ketika seorang hamba membaca: Alhamdulillâhi
rabbi-l 'âlamîn, Allah berkata, "Hamba-Ku telah memuji-Ku."
وَإِذَا قَالَ: الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي
Ketika ia membaca: Ar-rahmâni-r
rahîm, Allah berkata, "Hamba-Ku menyanjung-Ku."
وَإِذَا قَالَ: ملِكِ يَوْمِ
الدِّينِ قَالَ اللهُ: مَجَّدَنِى عَبْدِى
Ketika ia membaca: Maliki
yaumi-d dîn, Allah berkata, "Hamba-Ku mengagungkan-Ku."
فَإِذَا قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ.
قَالَ اللهُ: هذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Ketika ia membaca: Iyyâka
na'budu wa iyyâka nasta'în, Allah berkata, "Ini antara Aku dan
hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku, apa yang ia minta."
فَإِذَا قَالَ: اهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِراطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ. قَالَ اللهُ: هذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Dan ketika ia membaca: Shirâtha-l
ladzîna an’amta ‘alaihim ghairi-l maghdhûbi ‘alaihim
wa lâ-dh-dhâllîn, Allah berfirman, "Ini untuk hamba-Ku, dan bagi
hamba-Ku, apa yang ia minta."
(HR. Muslim)
Bukankah itu
adalah respon luar biasa yang disampaikan oleh Allah Sang Penguasa dunia kepada
orang-orang yang mau membaca Surat Al-Fatihah. Ini hanya surat Al-Fatihah saja lho!
Coba bayangkan, respon bagaimana lagi yang akan Dia sampaikan kepada mereka
yang mau membaca Al-Quran 30 juz? Tentu akan sangat luar biasa! Tapi ada satu
catatan penting yang wajib diingat dan diperhatikan. Jika kita ingin berbincang
dengan Tuhan, tentu kita harus menyiapkan dan memantaskan diri kita sendiri
untuk berhadapan dengan Tuhan. Kita sucikan jiwa raga kita terlebih dahulu,
kita fokuskan pandangan mata lahir dan mata batin, selanjutnya kita cerna dan
kita pahami baik-baik apa yang sedang kita baca. Anggap saja kita sedang
menjadi tamu Tuhan, sedang membaca kalam-Nya di hadapan Rasulullah saw. Insya
Allah itu semua bisa menjadi wasilah yang menjadi jembatan
komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Jika Tuhan sudah menjadi
konsultan kehidupan, insya Allah semua problematika hidup kita bisa
tertangani dengan sebaik-baiknya.
Semoga Allah
menjadikan kita sebagai hamba yang rajin membaca kalam-Nya, memahami isi
kandungannya dan mengamalkan ajarannya. Wallâhu a'lam bish shawâb.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar