buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 02 Maret 2016

BERBINCANG DENGAN ALLAH



       Edisi 07 th VII : 12 Februari 2016 M / 03 Jumadil Ula 1437 H
BERBINCANG DENGAN ALLAH
Penulis: ust. Dana A. Dahlany, Lc (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Maha suci Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an sehingga kita sebagai makhluk-Nya bisa membaca dan berusaha memahami kalam Ilahi tersebut. Shalawat dan salam semoga tercurah pada nabi Muhammad saw, sang penerima al-Qur’an yang kemudian meneruskannya pada segenap umat manusia.
Alkisah, setelah merantau ke negeri Madyan di selatan dataran Syam dan menuntaskan 10 tahun kontrak kerjanya dengan sang mertua, Nabi Musa ‘alaihi as-salam berpamitan. Ia berangkat kembali ke Mesir dengan membawa serta sang istri. Ketika sampai di dataran Sinai, ia menjumpai seonggok api yang bersinar terang di samping bukit Thur. Iapun mendekat ke sumber api. Tiba-tiba terdengar ada suara yang memanggil-manggil dirinya. Itu bukan suara istrinya, juga bukan suara dari manusia atau hewan. “Hai Musa, sesungguhya Aku-lah Allah, Tuhan alam semesta,” bunyi suara itu. Nabi Musa merasa gentar dan mulai ketakutan. “Lemparkanlah tongkatmu!” perintah suara itu. Nabi Musa melemparkan tongkatnya, dan tongkat itu menggeliat, bergerak-gerak bagai ular melata dan menggelepar mencari-cari sesuatu.  Nabi Musa ketakutan dan lari. Namun suara itu memanggilnya lagi. “Hai Musa, kembalilah! Masukkanlah tanganmu ke saku bajumu. Tangan itu nanti akan keluar putih bersih tanpa cacat.” Suara itu terus berseru tanpa henti.  Perintah-perintah aneh makin membuat Nabi Musa ketakutan. “Jika masih ketakutan, dekapkanlah kedua tanganmu ke dada!” Maka nabi Musa pun menuruti perintah tersebut. Setelah mendekapkan kedua tangannya di dada, Nabi Musa merasa agak tenang dan terkendali

Dan memang dua perintah sebelumnya itu adalah dua hal luar biasa yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Kelak dua hal ini disebut mukjizat. Mukjizat ini bisa dibawa Nabi Musa untuk membuktikan kenabiannya dan sebagai bekal untuk menghadapi keangkuhan Fir’aun yang berkuasa di Mesir. Sejak peristiwa itu, Nabi Musa dijuluki “Kalîmullah” (orang yang diajak berbincang oleh Allah). Kisah ini dijelaskan secara panjang lebar oleh Syeikh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi dalam Tafsir al-Wasith-nya ketika mengupas Surat Al-Qashash (28): 29-32.
Sebagai umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita diberi sebuah anugerah yang tak ternilai harganya. Jika kita ingin berbincang dengan Allah, kita tidak perlu mengalami hal-hal mengerikan dan tidak masuk akal sebagaimana yang dialami Nabi Musa as di atas. Kita juga tidak perlu menggigil dan berkeringat dingin seperti yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad saw saat menerima wahyu. Lantas apa yang perlu kita lakukan jika kita ingin mengobrol dan diajak berbincang oleh Allah?
Seorang arif nan bijak bestari bernama Hasan al-Bashri pernah berkata, “Barang siapa yang ingin diajak bicara oleh Allah, hendaklah ia membaca Al-Quran. Dan barang siapa yang ingin mengajak bicara Allah, hendaklah ia shalat.”
Lebih lanjut, beliau mengisahkan bahwa generasi para sahabat dan salafush-shalih menganggap dan memperlakukan Al-Quran sebagai pesan kasih dan surat cinta dari Allah Sang Pencipta. Saat malam menjelang, mereka membaca dan merenungi pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Dan ketika siang menyingsing, mereka mempelajari dan menelusuri intisari dari ajaran yang tersirat di kitab.
Lalu apakah Allah juga akan membalas dan merespon obrolan kita? Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita simak sebuah hadits Qudsi berikut ini. Hadits Qudsi sebenarnya adalah firman Allah, tetapi disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. dengan menggunakan redaksi dari beliau sendiri. Hadits Qudsi ini menjelaskan tentang respon Allah terhadap orang yang membaca Surat Al-Fatihah dalam shalat.
Rasulullah Saw. bersabda:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: «قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»
Allah berfirman, "Aku membagi shalat menjadi dua, antara diri-Ku dan hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku, apa yang dia minta."
فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ:الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ. قَالَ اللهُ: حَمَدَنِي عَبْدِي
Ketika seorang hamba membaca: Alhamdulillâhi rabbi-l 'âlamîn, Allah berkata, "Hamba-Ku telah memuji-Ku."
وَإِذَا قَالَ: الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي
Ketika ia membaca: Ar-rahmâni-r rahîm, Allah berkata, "Hamba-Ku menyanjung-Ku."



وَإِذَا قَالَ: ملِكِ يَوْمِ الدِّينِ قَالَ اللهُ: مَجَّدَنِى عَبْدِى
Ketika ia membaca: Maliki yaumi-d dîn, Allah berkata, "Hamba-Ku mengagungkan-Ku."
فَإِذَا قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ. قَالَ اللهُ: هذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Ketika ia membaca: Iyyâka na'budu wa iyyâka nasta'în, Allah berkata, "Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku, apa yang ia minta."
فَإِذَا قَالَ: اهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِراطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ. قَالَ اللهُ: هذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Dan ketika ia membaca: Shirâtha-l ladzîna  an’amta ‘alaihim ghairi-l maghdhûbi ‘alaihim wa lâ-dh-dhâllîn, Allah berfirman, "Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku, apa yang ia minta."
(HR. Muslim)  
Bukankah itu adalah respon luar biasa yang disampaikan oleh Allah Sang Penguasa dunia kepada orang-orang yang mau membaca Surat Al-Fatihah. Ini hanya surat Al-Fatihah saja lho! Coba bayangkan, respon bagaimana lagi yang akan Dia sampaikan kepada mereka yang mau membaca Al-Quran 30 juz? Tentu akan sangat luar biasa! Tapi ada satu catatan penting yang wajib diingat dan diperhatikan. Jika kita ingin berbincang dengan Tuhan, tentu kita harus menyiapkan dan memantaskan diri kita sendiri untuk berhadapan dengan Tuhan. Kita sucikan jiwa raga kita terlebih dahulu, kita fokuskan pandangan mata lahir dan mata batin, selanjutnya kita cerna dan kita pahami baik-baik apa yang sedang kita baca. Anggap saja kita sedang menjadi tamu Tuhan, sedang membaca kalam-Nya di hadapan Rasulullah saw. Insya Allah itu semua bisa menjadi wasilah yang menjadi jembatan komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Jika Tuhan sudah menjadi konsultan kehidupan, insya Allah semua problematika hidup kita bisa tertangani dengan sebaik-baiknya.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba yang rajin membaca kalam-Nya, memahami isi kandungannya dan mengamalkan ajarannya. Wallâhu a'lam bish shawâb.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar