buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 23 Maret 2016

PERSATUAN DI ATAS SEGALA



       Edisi 12 th VII : 18 Maret 2016 M / 9 Jumadil Tsani 1437 H
PERSATUAN DI ATAS SEGALA
Penulis: ust. Dana A. Dahlany (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Maha suci Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 10 yang artinya “orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw yang telah bersabda dalam hadits yang artinya “Seorang mukmin bagi mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, saling menguatkan satu sama lain.”
Di ujung barat Samudera Hindia, ada sebuah kepulauan kecil yang kini dikenal sebagai Republik Mauritius (Maros). Meskipun namanya tidak begitu populer di dunia, republik ini termasuk salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di benua Afrika. Tapi prestasi itu tidak diraih dengan mudah. Perlu perjalanan panjang untuk memajukan negara yang baru lepas dari penjajahan Inggris pada tahun 1968 ini. Awalnya, banyak kalangan yang memprediksi bahwa negara ini bakal mengalami konflik antar etnis yang berkepanjangan. Pasalnya, penduduknya berasal dari ras yang bermacam-macam: mulai dari ras Afrika, Eropa, India hingga keturunan Asia Tenggara. Perbedaan agama yang dianut warganya juga semakin menambah tantangan untuk membangun persatuan bangsa. Mayoritas beragama Hindu, sebagian Kristen dan ada pula yang Muslim. Dengan semangat merayakan perbedaan, warga negara Mauritius saling bahu-membahu menjaga persatuan untuk memajukan bangsanya. Bahkan menurut J. Sumardianta dalam bukunya Habis Galau Terbitlah Move On,

negara ini punya sistem Pemilu yang unik untuk menjamin keterwakilan minoritas di parlemen. Undang-Undang mereka telah mengatur untuk “mencadangkan” 8 kursi di parlemen yang diberikan pada partai terbaik yang kalah pemilu. Dengan adanya sistem seperti itu, negara Mauritius berhasil lolos dari konflik antar ras dan agama yang sering mengancam negara-negara multi-etnis. Salah seorang pemimpin mereka, Navin Ramgoolam pernah berujar: “Kita semua tiba dari berbagai benua dengan pelbagai kapal yang berbeda. Sekarang kita berada di kapal yang sama.” Semangat persatuan untuk merayakan perbedaan itulah yang perlu kita tiru dan kita terapkan di bumi Indonesia. Apalagi Indonesia adalah negara mayoritas Muslim terbesar yang saat ini menjadi sorotan dunia. Perbedaan suku, bahasa bahkan agama seharusnya tidak lagi menjadi penghalang bagi kita untuk menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa di atas segala-galanya.
Beberapa waktu lalu, tepatnya pada tanggal 21-25 Februari 2016, Indonesia kedatangan tamu agung, Imam Akbar Grand Syeikh Al-Azhar Mesir. Beliau adalah Prof. Dr. Ahmad Thayyib, seorang pemimpin tertinggi institusi pendidikan tertua di dunia. Dalam ceramah umum yang beliau tujukan untuk segenap umat di Asia Tenggara, beliau memuji Indonesia: “Tidak berlebihan rasanya jika saya memuji Indonesia sebagai bangsa yang dianugerahi kemampuan spesial dari Allah. Kemampuan untuk mempertunjukkan Islam kepada dunia internasional, bahwa agama ini senantiasa mengajak umatnya untuk meraih kemuliaan baik di dunia dan di akhirat. Bangsa ini mampu menyelaraskan khazanah budaya tradisional dengan pesatnya arus modernisasi, juga mengakomodasi hak individu dan menjamin kemaslahatan bersama di masyarakat.” Sebenarnya perkembangan dan kemajuan yang progresif itu tidak dapat dicapai tanpa didasari kuatnya persatuan kita sebagai umat dan rasa kesatuan kita sebagai anak bangsa. Saat memberikan pidato di Masjid Unida Gontor Ponorogo, Syeikh Ahmad Thayyib menyampaikan: “Tujuan utama kunjungan saya ke Indonesia adalah untuk menyerukan persatuan umat Islam. Al-Azhar akan selalu menjadi benteng yang bertanggung jawab menjaga persatuan dan keutuhan umat.”
Syeikh Ahmad Thayyib sempat bercerita mengenai perselisihan pendapat tentang hukum shalawat (pujian) di antara adzan dan iqamah. Kala itu di hadapannya terjadi perdebatan sengit antar kelompok. Kelompok pertama menganggap bahwa pujian setelah adzan itu bid’ah. Kelompok kedua menganggapnya sunnah. Melihat debat kusir yang tak kunjung rampung, saat itu juga beliau menimpali: “Kalau gitu, udah nggak usah adzan sekalian. Sebab adzan itu cuma sunnah, sementara persatuan kalian hukumnya wajib.” Beliau lebih mengutamakan persatuan yang wajib hukumya, daripada melaksanakan kesunnahan yang hanya berujung perselisihan. Ketrampilan beliau dalam menentukan skala prioritas ini juga pernah beliau terapkan ketika Mesir mengalami chaos dan  terjadi demonstrasi  besar-besaran di mana-mana.

Rakyat menuntut Presiden Mesir mundur, tapi sang Presiden beserta antek-anteknya tetap kukuh mempertahankan jabatannya. Pada saat genting seperti itu, sebagai tokoh publik, beliau memilih untuk berpihak pada rakyat dengan memegang prinsip akhaffu dhararain (memilih salah satu risiko yang paling kecil). Hal itu beliau lakukan, lagi-lagi untuk menjaga persatuan umat dan menghindarkannya dari perang saudara.
Bangsa Indonesia sudah sejak lama hidup berdampingan dalam perbedaan. Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi nafas kehidupan kita. Namun tampaknya, masih saja ada pihak-pihak yang tidak suka dengan keharmonisan hidup berbangsa. Mereka akan terus berusaha merongrong persatuan kita dengan menyulut friksi-friksi kecil yang sebenarnya sudah ada sejak lama di tengah-tengah masyarakat. Perbedaan mazhab dan ideologi politik seakan kembali dikipas-kipasi sebagai senjata untuk melancarkan politik adu domba, devide et impera.
Jangan sampai negara kita hancur lebur karena konflik berdarah seperti yang sedang terjadi di Timur Tengah. Kata Prof. Dr. M. Taufiq Ramadhan, seorang cendekiawan dan mursyid tasawuf dari Suriah yang beberapa waktu lalu juga berkunjung ke Indonesia, konflik berkepanjangan yang terjadi di Suriah itu disebabkan oleh fitnah yang disebarkan secara massif bagai sebuah virus yang menjangkiti segenap rakyat Suriah. Karena itu, mereka dengan mudah dihasut untuk memerangi saudaranya sendiri dengan dalih membela agama. Padahal sejatinya semua itu hanya urusan politik dan kekuasaan belaka. Apalagi campur tangan kekuatan asing makin kental dan merajalela.
Belajar dari pengalaman itu, bangsa Indonesia dihimbau agar tidak mudah termakan fitnah yang akhir-akhir ini disebarkan secara massif melalui berbagai media, baik melalui cara konvensional maupun via media sosial. Kita perlu mengutamakan persatuan di atas segalanya. Karena Indonesia tidak akan maju jika rakyatnya tak mau bersatu. Bangsa ini tak akan maju jika pejabatnya tidak jujur dan tak tahu malu.
Wallâhu a’lam bish-shawâb.
***






Tidak ada komentar:

Posting Komentar