Edisi 12 th VII : 18 Maret 2016 M / 9 Jumadil Tsani 1437
H
PERSATUAN DI ATAS SEGALA
Penulis:
ust. Dana A. Dahlany (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Maha suci Allah yang telah berfirman
dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 10 yang artinya “orang-orang beriman
itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan)
antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad
saw yang telah bersabda dalam hadits yang artinya “Seorang mukmin bagi
mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, saling menguatkan satu sama lain.”
Di ujung barat Samudera Hindia,
ada sebuah kepulauan kecil yang kini dikenal sebagai Republik Mauritius
(Maros). Meskipun namanya tidak begitu populer di dunia, republik ini termasuk
salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di benua Afrika. Tapi
prestasi itu tidak diraih dengan mudah. Perlu perjalanan panjang untuk
memajukan negara yang baru lepas dari penjajahan Inggris pada tahun 1968 ini.
Awalnya, banyak kalangan yang memprediksi bahwa negara ini bakal mengalami
konflik antar etnis yang berkepanjangan. Pasalnya, penduduknya berasal dari ras
yang bermacam-macam: mulai dari ras Afrika, Eropa, India hingga keturunan Asia
Tenggara. Perbedaan agama yang dianut warganya juga semakin menambah tantangan
untuk membangun persatuan bangsa. Mayoritas beragama Hindu, sebagian Kristen
dan ada pula yang Muslim. Dengan semangat merayakan perbedaan, warga negara
Mauritius saling bahu-membahu menjaga persatuan untuk memajukan bangsanya. Bahkan
menurut J. Sumardianta dalam bukunya Habis Galau Terbitlah Move On,
negara ini punya sistem Pemilu
yang unik untuk menjamin keterwakilan minoritas di parlemen. Undang-Undang
mereka telah mengatur untuk “mencadangkan” 8 kursi di parlemen yang diberikan
pada partai terbaik yang kalah pemilu. Dengan adanya sistem seperti itu, negara
Mauritius berhasil lolos dari konflik antar ras dan agama yang sering mengancam
negara-negara multi-etnis. Salah seorang pemimpin mereka, Navin Ramgoolam
pernah berujar: “Kita semua tiba dari berbagai benua dengan pelbagai kapal
yang berbeda. Sekarang kita berada di kapal yang sama.” Semangat persatuan
untuk merayakan perbedaan itulah yang perlu kita tiru dan kita terapkan di bumi
Indonesia. Apalagi Indonesia adalah negara mayoritas Muslim terbesar yang saat
ini menjadi sorotan dunia. Perbedaan suku, bahasa bahkan agama seharusnya tidak
lagi menjadi penghalang bagi kita untuk menjunjung tinggi persatuan dan
kesatuan bangsa di atas segala-galanya.
Beberapa waktu
lalu, tepatnya pada tanggal 21-25 Februari 2016, Indonesia kedatangan tamu
agung, Imam Akbar Grand Syeikh Al-Azhar Mesir. Beliau adalah Prof. Dr. Ahmad
Thayyib, seorang pemimpin tertinggi institusi pendidikan tertua di dunia. Dalam
ceramah umum yang beliau tujukan untuk segenap umat di Asia Tenggara, beliau memuji
Indonesia: “Tidak berlebihan rasanya jika saya memuji Indonesia sebagai
bangsa yang dianugerahi kemampuan spesial dari Allah. Kemampuan untuk
mempertunjukkan Islam kepada dunia internasional, bahwa agama ini senantiasa
mengajak umatnya untuk meraih kemuliaan baik di dunia dan di akhirat. Bangsa
ini mampu menyelaraskan khazanah budaya tradisional dengan pesatnya arus
modernisasi, juga mengakomodasi hak individu dan menjamin kemaslahatan bersama
di masyarakat.” Sebenarnya perkembangan dan kemajuan yang progresif itu
tidak dapat dicapai tanpa didasari kuatnya persatuan kita sebagai umat dan rasa
kesatuan kita sebagai anak bangsa. Saat memberikan pidato di Masjid Unida
Gontor Ponorogo, Syeikh Ahmad Thayyib menyampaikan: “Tujuan utama kunjungan
saya ke Indonesia adalah untuk menyerukan persatuan umat Islam. Al-Azhar akan
selalu menjadi benteng yang bertanggung jawab menjaga persatuan dan keutuhan
umat.”
Syeikh Ahmad
Thayyib sempat bercerita mengenai perselisihan pendapat tentang hukum shalawat
(pujian) di antara adzan dan iqamah. Kala itu di hadapannya terjadi perdebatan
sengit antar kelompok. Kelompok pertama menganggap bahwa pujian setelah adzan
itu bid’ah. Kelompok kedua menganggapnya sunnah. Melihat debat
kusir yang tak kunjung rampung, saat itu juga beliau menimpali: “Kalau gitu,
udah nggak usah adzan sekalian. Sebab adzan itu cuma sunnah, sementara
persatuan kalian hukumnya wajib.” Beliau lebih mengutamakan persatuan yang
wajib hukumya, daripada melaksanakan kesunnahan yang hanya berujung
perselisihan. Ketrampilan beliau dalam menentukan skala prioritas ini juga
pernah beliau terapkan ketika Mesir mengalami chaos dan terjadi demonstrasi besar-besaran di mana-mana.
Rakyat menuntut Presiden Mesir
mundur, tapi sang Presiden beserta antek-anteknya tetap kukuh mempertahankan jabatannya.
Pada saat genting seperti itu, sebagai tokoh publik, beliau memilih untuk
berpihak pada rakyat dengan memegang prinsip akhaffu dhararain (memilih
salah satu risiko yang paling kecil). Hal itu beliau lakukan, lagi-lagi untuk
menjaga persatuan umat dan menghindarkannya dari perang saudara.
Bangsa
Indonesia sudah sejak lama hidup berdampingan dalam perbedaan. Semboyan negara Bhinneka
Tunggal Ika sudah menjadi nafas kehidupan kita. Namun tampaknya, masih saja
ada pihak-pihak yang tidak suka dengan keharmonisan hidup berbangsa. Mereka
akan terus berusaha merongrong persatuan kita dengan menyulut friksi-friksi
kecil yang sebenarnya sudah ada sejak lama di tengah-tengah masyarakat.
Perbedaan mazhab dan ideologi politik seakan kembali dikipas-kipasi sebagai
senjata untuk melancarkan politik adu domba, devide et impera.
Jangan sampai
negara kita hancur lebur karena konflik berdarah seperti yang sedang terjadi di
Timur Tengah. Kata Prof. Dr. M. Taufiq Ramadhan, seorang cendekiawan dan
mursyid tasawuf dari Suriah yang beberapa waktu lalu juga berkunjung ke
Indonesia, konflik berkepanjangan yang terjadi di Suriah itu disebabkan oleh
fitnah yang disebarkan secara massif bagai sebuah virus yang menjangkiti
segenap rakyat Suriah. Karena itu, mereka dengan mudah dihasut untuk memerangi
saudaranya sendiri dengan dalih membela agama. Padahal sejatinya semua itu
hanya urusan politik dan kekuasaan belaka. Apalagi campur tangan kekuatan asing
makin kental dan merajalela.
Belajar dari
pengalaman itu, bangsa Indonesia dihimbau agar tidak mudah termakan fitnah yang
akhir-akhir ini disebarkan secara massif melalui berbagai media, baik melalui
cara konvensional maupun via media sosial. Kita perlu mengutamakan persatuan di
atas segalanya. Karena Indonesia tidak akan maju jika rakyatnya tak mau
bersatu. Bangsa ini tak akan maju jika pejabatnya tidak jujur dan tak tahu
malu.
Wallâhu a’lam bish-shawâb.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar