buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Senin, 20 Februari 2017

TAUHID



       Edisi 07 th VIII : 17 Februari 2017 M / 20 Jumadil Ula 1438 H
TAUHID
Penulis: Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mukmin, Bangunsari)
Segala puji hanya kepada Allah sebagai Penguasa Tunggal alam semesta, sebagai tempat memohon dan berserah diri yang telah berfirman dengan luar biasa dalam al-Qur’an surat al-Ikhlash yang artinya: “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." Kemudian shalawat dan salam senantiasa kita sanjungkan pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia ciptaan Allah yang paling sempurna yang telah menunjukkan ajaran tauhid yang benar sebagai pegangan manusia di seluruh dunia di sepanjang masa. Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengikuti segala macam suri tauladan yang telah beliau tunjukkan dalam masa hidupnya.
Tauhid merupakan landasan utama dalam agama Islam. Tauhid merupakan hal pokok yang membedakan agama Islam dengan lainnya. Memang harus diakui bahwa semua agama pada kenyataannya mengajarkan akhlaq yang baik bagi sesama manusia. Adapun jika kemudian ada manusia beragama namun berakhlaq tidak baik, maka berarti dia memang belum bisa mengimplementasikan ajaran agama yang dianutnya. Pada intinya semua agama memang mengajarkan kebaikan, sebab jika tidak mengajarkan kebaikan maka tidak akan disebut agama. Adapun yang membedakan satu dengan lainnya, yang pertama adalah masalah Tuhan yang disembah, baru kemudian masalah tatacara beribadah, serta konsep mana yang dosa mana yang berpahala yang bermuara pada neraka dan surga.

Dalam agama Islam, ajaran tauhid memegang peranan yang sangat fundamental, menjadi landasan bagi setiap amal perbuatan baik ibadah mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh. Tauhid bukan hanya mengakui bahwa Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah, tetapi lebih dari itu. Referensi sejarah Arab membuktikan bahwa orang-orang di masa jahiliyah mengakui bahwa dunia beserta isinya ini diciptakan oleh Tuhan. Merekapun mengakui bahwa mereka juga menyembah pada Tuhan yang mereka sebut Allah, namun melalui banyak penyimpangan yaitu berhala-berhala yang mereka pahat sendiri kemudian diberi nama sendiri (hampir sama konteksnya dengan dengan ajaran Hindu yang menyembah Dewa-Dewa namun tetap mengakui ke-esaan Sang Hyang Widhi). Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul pada masa jahiliyah adalah untuk mengembalikan ajaran tauhid yang benar seperti yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim as. Misi yang diemban memurnikan kembali tauhid. Misi ini adalah sama seperti misi Rasul-Rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad saw sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an Surat az-Zumar ayat 65-66 yang artinya: “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelum kamu: Jika kamu mempersekutukan (Allah) niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.”  Dari ayat ini juga dapat ditarik tafsir bahwa segala amal kebaikan yang dikerjakan oleh manusia haruslah dilandasi dengan tauhid yang benar. Sedangkan jika terkontaminasi syirik atau bahkan memang dilakukan oleh musyrikin maka amal tersebut hanya sia-sia saja. Konsep inilah yang kemudian menjadi pegangan kita dalam menjaga tauhid.
            Tauhid yang benar hanya mampu dilakukan oleh orang yang meyakini tentang Allah dengan segala kebenarannya secara mutlak. Dalam hal ini, secara kasat mata kita memang hanya mampu mengenal ciptaan Allah, tetapi secara batiniyah kita juga harus mampu mengenal Allah melalui berbagai macam mujahadah serta ibadah seperti yang dituntunkan oleh Rasulullah saw. Memang ada golongan yang secara eksplisit maupun implisit meragukan keberadaan Allah. Mereka meyakini bahwa kekuatan bisa datang bukan hanya dari Allah, sehingga mereka mengagungkan apa yang mampu diindera oleh jasmani saja. Golongan yang seperti ini sesungguhnya berada dalam kegelapan dan tersesat. Al-Qur’an sudah mengisyaratkannya melalui Surat Luqman ayat 20 yang artinya: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang dilangit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (ke-esaan) Allah, (padahal manusia tersebut membantahnya) tanpa memiliki ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab yang memberinya penerangan.”

Secara garis besar, tauhid dirumuskan dengan pengertian tidak memper-sekutukan Allah dengan apapun sebagaimana diungkapkan melalui kisah Luqmanul Hakim yang diabadikan dalam al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 yang artinya: “Dan ketika Luqman berkata pada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran pada anaknya: hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Dari ayat ini diambil tafsir bahwa syirik adalah bentuk kezaliman yang terhitung besar, karena ini berarti menzalimi diri sendiri sekaligus bentuk pengkhianatan pada Sang Pencipta. Karena itulah keimanan harus dijaga dengan cara pemurnian tauhid sehingga akan senantiasa mendapat hidayah dari Allah, sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an Surat al-An’am ayat 82 yang artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), mereka itulah orang–orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Jika tauhid sudah terealisasi secara murni dan konsekwen, maka ada banyak hikmah yang terkandung di dalamnya, diantaranya adalah
Ø  Tauhid menghapuskan pola pikir sesat dan perbudakan sesama manusia, karena tauhid mengajarkan semua manusia sama di hadapan Allah.
Ø  Tauhid menguatkan jiwa, seiring dengan semakin tebalnya keimanan dan keyakinan akan keberadaan Allah.
Ø  Tauhid menghadirkan ketenangan dan rasa aman, karena dengan tauhid maka akan merasa senantiasa dilindungi dan didampingi Allah.
Ø  Tauhid menghadirkan nilai ruhani yang penuh harap melalui mujahadah, do’a dan tawakkal pada Allah yang berkuasa atas segala sesuatu.
Ø  Tauhid membentuk rasa persaudaraan dan keadilan, dengan dasar pemikiran bahwa semua manusia dikenakan kewajiban beribadah yang sama.
Demikianlah sekelumit tentang tauhid Islam yang sangat berbeda dengan tauhid non Islam atau yang biasa disebut theologi. Semoga kita mampu menjaga kemurnian tauhid kita agar tidak menyimpang dari agama Islam. Aamiin...
***





           




BERKATA YANG BAIK



       Edisi 06 th VIII : 10 Februari 2017 M / 13 Jumadil Ula 1438 H
BERKATA YANG BAIK
Penulis: ust. Mahfud, S.Pd.I (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 125 yang artinya “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw, sang guru sejati bagi seluruh umat manusia sampai akhir jaman, yang memberikan tuntunan terbaik bagaimana cara kita menghadapi setiap masalah dalam kehidupan.
Allah swt menganugerahkan kepada manusia berupa lisan yang bisa digunakan untuk berkomunikasi sesama manusia. Lisan juga sebagai sarana berdzikir kepada Allah swt. Penceramah yang handal, Qori’ yang indah suaranya, penyanyi yang terkenal, orator yang hebat adalah termasuk orang-orang yang diberi kelebihan oleh Allah swt melalui salah satu anggota tubuhnya yaitu lisan. Namun tak sedikit orang yang celaka karena tidak pandai menjaga lisan. Rumah tangga berantakan bisa terjadi karena ketidak mampuan suami atau istri dalam menjaga lisan. Terjadinya tawuran massa dan permusuhan kelompok bisa dipicu karena tersinggung oleh ucapan lisan.
Ada kata mutiara yang bisa digunakan sebagai nasihat: “Salamatul Insan fii hifdzil lisan” keselamatan manusia tergantung bagaimana ia mampu menjaga lisannya. Oleh karena itu Islam mengajarkan bahwa karakter muslim bukanlah orang yang suka menyakiti orang lain baik 

 dengan lisan maupun tangannya, sebagaimana sabda nabi Muhammad saw yang artinya: “Muslim adalah orang menyelamatkan kaum muslim lainnya dari lisan dan tangannya, orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan hal-hal yang terlarang untuk dilakukannya dan seorang mukmin adalah orang yang memberikan keamanan bagi orang lain atas darah dan harta mereka.”(HR. Tirmidzi dan Nasa’i).
            Berkata baik dan tidak menyakiti orang lain menurut redaksi hadits di atas adalah indikator muslim bagi seseorang. Tidak hanya itu bahkan keimanan seseorang menjadi sempurna apabila ia bisa berkata yang baik. Rasulullah saw bersabda lagi yang artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam” (HR Bukhari dan Muslim). Imam Nawawi mengatakan bahwa penjelasan Imam Syafi’i terkait hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata maka pikirkanlah akibatnya, apabila dirasa akibatnya baik yang berkata, apabila akibatnya buruk ya diam saja. Ada banyak ungkapan terkait hal ini, misalny “Diam adalah emas, namun berkata baik adalah mutiara”, “ Diam itu selamat” dan lain sebagainya. Orang yang berilmu tidak pantas apabila diam, sebab ia akan memberi manfaat pada orang lain apabila menyampaikan ilmunya pada orang lain. Namun bagi orang yang bodoh hendaknya diam. Sebab perkataan orang bodoh cenderung membawa pada kemudhorotan.
            Berkata sopan kepada orang yang lebih tua, merupakan wujud penghormatan kepada orang yang lebih tua. Orang tua dalam bahasa arab disebut Syaikh. Sedangkan dalam dunia pendidikan Islam, syaikh merupakan gelar bagi orang berilmu tinggi atau orang yang hafal al Qur’an walau usianya masih muda. Penghormatan terhadap orang yang lebih tua melaui perkataan diimplementasikan oleh orang jawa dengan adanya pembedaan pemakaian bahasa. Orang yang lebih muda memakai bahasa Krama Inggil apabila bicara dengan orang yang lebih tua.
            Dalam dunia Islam kesopanan sahabat tidak memanggil nabi Muhammad saw dengan nama beliau, tidak dengan ya Muhammad, tetapi dengan yaa Rasulallah, atau ya Nabiyyallah. Ada larangan khusus menyakiti perasaan kedua orang tua, walaupun hanya dengan lisan, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23 yang artinya: “Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya”.  Walaupun ayat tersebut secara eksplisit untuk kedua orang tua, namun itu bisa berlaku untuk orang yang lebih tua, untuk orang ‘alim dan orang-orang yang harus kita hormati, baik ulama’ maupun umaro’. Berkata yang sopan dan baik merupakan etika luhur yang dijunjung tinggi oleh umat Islam dan bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia juga menjunjung adab yang baik terhadap orang lain sebagaimana dirumuskan dalam Pancasila sila kedua yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dari sila tersebut kita juga bisa merumuskan bahwa berkata yang baik dan sopan juga merupakan implementasi dari pancasila sila ke dua. Bangsa Indonesia dulu terkenal dengan ramah tamahnya karena kemampuan memadukan karakter bangsa dan karakter muslim.
Penggunaan lisan untuk berbicara yang baik ternyata lebih efektif untuk menggapai pahala daripada bersedekah namun diikuti dengan perkataan yang menyakiti hati orang sebagaimana firman Allah swt  dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 263 yang artinya: “Perkataan yang baik dan lemah lembut yang tidak menyakiti lebih baik daripada memberi akan tetapi dengan disertai kata-kata yang menyakitkan.”. Menyakiti si penerima sedekah dan mengungkit-ungkit sedekah hanya akan menghilangkan pahala sedekah. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat sesudahnya yaitu ayat 264: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”
            Dalam peristiwa isra’ dan mi’raj, nabi Muhammad saw melihat ada sapi yang keluar dari batu melalui lobang kecil, yang maknanya adalah sapi ibarat perkataan seseorang. Bahwasanya perkataan yang sudah keluar tidak bisa kembali sebagaimana tidak bisa kembalinya sapi melalui lubang yang kecil di batu.
Dari sekelumit uraian ini kita bisa menarik benang merah pentingnya perkataan yang baik dalam muamalah. Semoga Allah meridhai lisan dan hati kita agar senantiasa terhiasi dalam kebaikan sehingga lisan dan hati kita tersebut dapat bermanfaat bagi kita sendiri maupun orang lain. Aamiin.
***