buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Minggu, 19 Februari 2017

BERSATU DALAM PERBEDAAN



       Edisi 49 th VII : 09 Desember 2016 M / 09 Rabiul Awwal 1438 H
BERSATU DALAM PERBEDAAN
Penulis: Ust. Dana A. Dahlany, Lc (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
 Puji syukur pada Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Kemudian shalawat salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw, sang pembawa risalah penghimpun bagi segenap manusia yang mengharapkan kebahagiaan dunia akhirat.
Dalam sebuah kunjungan ke Kedutaan Besar RI di Lebanon beberapa waktu lalu, rombongan Persatuan Ulama Lebanon menyampaikan kekaguman dan apresiasi-nya terhadap Islam yang diterapkan di Indonesia. Menurut Press Release yang diterbitkan KBRI setempat, para ulama tersebut meminta Indonesia untuk menjadi orang tua umat Islam seluruh dunia. Ini bukan sekedar ungkapan basa-basi belaka. Mereka melihat ada harapan untuk meraih kembali kejayaan umat Islam, dan kejayaan itu harus dimulai dari Indonesia sebagai bangsa dengan jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Mereka optimis seperti itu karena melihat muslimin Indonesia yang ramah, inklusif dan toleran terhadap perbedaan, usai mengunjungi negeri ini beberapa bulan yang lalu. Mereka sudah bosan merasakan berbagai konflik yang terjadi di tanah kelahirannya dengan perang saudara yang mengatasnamakan agama dan jihad.

Mari kita cermati, betapa Indonesia dilirik dunia untuk dijadikan rujukan bagaimana menerapkan ajaran Islam yang santun sesuai dengan budaya bangsa yang telah mengakar beribu-ribu tahun lamanya. Namun sayangnya, akhir-akhir ini kerukunan itu tengah didera berbagai macam ujian. Riak-riak perpecahan sudah mulai terasa. Isu paling santer adalah dugaan penistaan al-Qur’an yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ahok. Betapa isu itu telah menyita waktu dan konsentrasi kita selama berbulan-bulan. Perang opini menggelinding bak bola salju yang sewaktu-waktu bisa dibenturkan dengan semangat kita untuk mempererat persatuan umat. Luapan emosi dan untaian caci maki bermunculan bak jamur di musim hujan. Aneka sumpah serapah mulai menghiasi gaya komunikasi kita, terutama di media sosial seperti Facebook, Twitter dan Whatsapp. Hanya gara-gara Ahok seorang, jutaan umat Islam turut merespon isu sensitif itu dan kemudian saling serang opini di media. Satu pihak membela, pihak lain menghujat dan menghina. Media sosial seketika berubah bagaikan hukum rimba belantara.
Bahkan, banyak di antara kita yang mulai berani menghina dan mencaci ulama. Begitu melihat ada seorang kyai atau cendekiawan yang berbeda pandangan dengan kita, kata-kata kotor semacam 'ndhasmu' bukan lagi menjadi hal tabu. Dan kata itu dengan ringannya terlontar kepada tokoh panutan. Gelar-gelar tak pantas seperti 'habib resek' juga banyak berseliweran, bahkan sangat mudah kita temukan di kolom komentar di media sosial. Inikah yang kita inginkan? Beginikah wajah Islam yang selama ini kita gembor-gemborkan sebagai agama penebar kedamaian?
Sebenarnya tak ada larangan untuk berbeda. al-Qur’an sendiri sudah menyatakan bahwa perbedaan itu adalah sunnatullah. Selama bisa disikapi dengan bijak dan santun, perbedaan itu akan menjadi rahmat dan anugerah bagi alam semesta. Kita berbeda untuk saling mengenal dan mengisi.
***
Terkait perbedaan ini, ada sebuah kisah menarik antara sahabat Nabi Saw. yang bernama Hisyam bin Hakim dan Umar bin Khattab. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari-Muslim dikisahkan, suatu ketika Umar pernah hampir menghajar Hisyam saat ia membaca surat al-Furqan dalam shalatnya. Apa sebab? Gara-garanya, Hisyam membaca surat itu dengan bacaan (huruf) yang berbeda dari versi bacaan yang dipakai Umar. Selama ini, Umar memang dikenal sangat tegas terhadap penyelewangan, apalagi terkait al-Qur’an. Dan kasus Hisyam ini dianggapnya sebagai penyelewengan yang sangat fatal karena sudah menyangkut bacaan al-Qur’an. Usai shalat, Umar langsung menegur Hisyam, “Siapa yang mengajarimu membaca surat al-Furqan seperti itu?” Hisyam pun menjawab: “Rasulullah Saw. yang mengajariku,” Umar semakin marah: “Kamu bohong. Demi Allah, Rasulullah Saw. pernah mengajariku surat yang sama dengan yang kau baca Tapi bacaan yang diajarkan kepadaku berbeda dengan bacaanmu tadi.”


Umar kemudian membawa Hisyam menghadap Rasulullah Saw. Ia menceritakan kronologi kejadiannya. Dengan bijak, Nabi Saw. menyuruh Hisyam membaca surat al-Furqan itu terlebih dahulu. Usai Hisyam membacanya, Nabi Saw bersabda, “Begitulah al-Qur’an diturunkan.” Selanjutnya, Nabi memberi kesempatan yang sama kepada Umar untuk membacanya dengan versi bacaan yang telah beliau ajarkan kepadanya. Usai Umar membaca, Nabi Saw. kembali bersabda, “Sesungguhnya, al-Qur’an itu diturunkan dalam ‘tujuh huruf’. Bacalah dengan bacaan yang termudah darinya!
Dari hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Nabi Saw. memang mengajarkan al-Qur’an dengan beberapa macam bacaan. Meskipun sama-sama membaca surat al-Furqan, ternyata bacaan Umar berbeda dengan bacaan Hisyam.
Kisah tersebut mencerminkan bahwa tidak selamanya apa yang kita anggap benar itu adalah sebuah kebenaran mutlak yang harus diterima oleh orang lain. Dan tidak selamanya apa yang kita anggap salah itu adalah sebuah kesalahan mutlak yang wajib dihindari oleh orang lain. Sesuai dengan redaksi Imam Syafi'i ketika mengeluarkan sebuah ijtihad (pendapat), "Pendapatku benar dan punya kemungkinan salah. Sedangkan pendapat orang lain salah dan punya kemungkinan benar." Terkadang, suatu pemikiran cocok untuk kita tapi belum tentu cocok untuk orang lain. Spirit inilah yang perlu kita tumbuh-kembangkan. Ketika melihat sebuah kebenaran menurut versi kita, jangan lantas merasa benar sendiri dan menganggap orang lain seratus persen salah. Kebiasaan menuduh orang lain sesat, liberal, wahabi, syiah, ahli bid'ah, munafik, musyrik, kafir adalah wabah yang mengancam persatuan kita.
Terkait perbedaan pola pikir kita terhadap kasus Ahok, yang patut kita syukuri, berkat "jasa" Ahok yang melontarkan isu al-Maidah 51 ini, umat Islam semakin sadar mau mempelajari ayat tersebut hingga ke tafsirnya. Juga umat Islam dari berbagai aliran dan ormas mau bersatu untuk aksi istighosah dzikir dan doa bersama 212 dengan ramah, tertib, cinta kebersihan dan cinta lingkungan. Sudah saatnya kita percayakan kasus Ahok kepada pihak berwajib untuk segera menuntaskannya. Mari kita curahkan energi kita untuk membangun bangsa, sehingga bangsa ini mampu menjadi orang tua bagi umat Islam di seluruh dunia, dan di sisi lain juga tetap bisa mengayomi minoritas yang hidup berdampingan di nusantara. Semoga Allah meridhai.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar