Edisi 49 th VII : 09 Desember 2016 M / 09 Rabiul Awwal
1438 H
BERSATU DALAM PERBEDAAN
Penulis:
Ust. Dana A. Dahlany, Lc (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Puji syukur pada Allah yang telah
berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Kemudian
shalawat salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw, sang pembawa
risalah penghimpun bagi segenap manusia yang mengharapkan kebahagiaan dunia
akhirat.
Dalam sebuah kunjungan ke
Kedutaan Besar RI di Lebanon beberapa waktu lalu, rombongan Persatuan Ulama
Lebanon menyampaikan kekaguman dan apresiasi-nya terhadap Islam yang diterapkan
di Indonesia. Menurut Press Release yang diterbitkan KBRI setempat, para ulama
tersebut meminta Indonesia untuk menjadi orang tua umat Islam seluruh dunia.
Ini bukan sekedar ungkapan basa-basi belaka. Mereka melihat ada harapan untuk
meraih kembali kejayaan umat Islam, dan kejayaan itu harus dimulai dari
Indonesia sebagai bangsa dengan jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia.
Mereka optimis seperti itu karena melihat muslimin Indonesia yang ramah,
inklusif dan toleran terhadap perbedaan, usai mengunjungi negeri ini beberapa
bulan yang lalu. Mereka sudah bosan merasakan berbagai konflik yang terjadi di
tanah kelahirannya dengan perang saudara yang mengatasnamakan agama dan jihad.
Mari kita
cermati, betapa Indonesia dilirik dunia untuk dijadikan rujukan bagaimana
menerapkan ajaran Islam yang santun sesuai dengan budaya bangsa yang telah
mengakar beribu-ribu tahun lamanya. Namun sayangnya, akhir-akhir ini kerukunan
itu tengah didera berbagai macam ujian. Riak-riak perpecahan sudah mulai
terasa. Isu paling santer adalah dugaan penistaan al-Qur’an yang dilakukan oleh
Gubernur DKI Jakarta, Ahok. Betapa isu itu telah menyita waktu dan konsentrasi
kita selama berbulan-bulan. Perang opini menggelinding bak bola salju yang
sewaktu-waktu bisa dibenturkan dengan semangat kita untuk mempererat persatuan
umat. Luapan emosi dan untaian caci maki bermunculan bak jamur di musim hujan.
Aneka sumpah serapah mulai menghiasi gaya komunikasi kita, terutama di media
sosial seperti Facebook, Twitter dan Whatsapp. Hanya gara-gara Ahok seorang,
jutaan umat Islam turut merespon isu sensitif itu dan kemudian saling serang
opini di media. Satu pihak membela, pihak lain menghujat dan menghina. Media
sosial seketika berubah bagaikan hukum rimba belantara.
Bahkan, banyak
di antara kita yang mulai berani menghina dan mencaci ulama. Begitu melihat ada
seorang kyai atau cendekiawan yang berbeda pandangan dengan kita, kata-kata
kotor semacam 'ndhasmu' bukan lagi menjadi hal tabu. Dan kata itu dengan
ringannya terlontar kepada tokoh panutan. Gelar-gelar tak pantas seperti 'habib
resek' juga banyak berseliweran, bahkan sangat mudah kita temukan di kolom
komentar di media sosial. Inikah yang kita inginkan? Beginikah wajah Islam yang
selama ini kita gembor-gemborkan sebagai agama penebar kedamaian?
Sebenarnya tak
ada larangan untuk berbeda. al-Qur’an sendiri sudah menyatakan bahwa perbedaan
itu adalah sunnatullah. Selama bisa disikapi dengan bijak dan santun, perbedaan
itu akan menjadi rahmat dan anugerah bagi alam semesta. Kita berbeda untuk
saling mengenal dan mengisi.
***
Terkait perbedaan ini, ada sebuah
kisah menarik antara sahabat Nabi Saw. yang bernama Hisyam bin Hakim dan Umar
bin Khattab. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari-Muslim
dikisahkan, suatu ketika Umar pernah hampir menghajar Hisyam saat ia membaca
surat al-Furqan dalam shalatnya. Apa sebab? Gara-garanya, Hisyam membaca surat
itu dengan bacaan (huruf) yang berbeda dari versi bacaan yang dipakai Umar. Selama
ini, Umar memang dikenal sangat tegas terhadap penyelewangan, apalagi terkait al-Qur’an.
Dan kasus Hisyam ini dianggapnya sebagai penyelewengan yang sangat fatal karena
sudah menyangkut bacaan al-Qur’an. Usai shalat, Umar langsung menegur Hisyam, “Siapa
yang mengajarimu membaca surat al-Furqan seperti itu?” Hisyam pun menjawab:
“Rasulullah Saw. yang mengajariku,” Umar semakin marah: “Kamu bohong.
Demi Allah, Rasulullah Saw. pernah mengajariku surat yang sama dengan yang
kau baca Tapi bacaan yang diajarkan kepadaku berbeda dengan bacaanmu
tadi.”
Umar kemudian membawa Hisyam
menghadap Rasulullah Saw. Ia menceritakan kronologi kejadiannya. Dengan bijak,
Nabi Saw. menyuruh Hisyam membaca surat al-Furqan itu terlebih dahulu. Usai
Hisyam membacanya, Nabi Saw bersabda, “Begitulah al-Qur’an diturunkan.” Selanjutnya,
Nabi memberi kesempatan yang sama kepada Umar untuk membacanya dengan versi
bacaan yang telah beliau ajarkan kepadanya. Usai Umar membaca, Nabi Saw.
kembali bersabda, “Sesungguhnya, al-Qur’an itu diturunkan dalam ‘tujuh
huruf’. Bacalah dengan bacaan yang termudah darinya!”
Dari hadits di atas, kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa Nabi Saw. memang mengajarkan al-Qur’an dengan
beberapa macam bacaan. Meskipun sama-sama membaca surat al-Furqan, ternyata
bacaan Umar berbeda dengan bacaan Hisyam.
Kisah tersebut mencerminkan bahwa
tidak selamanya apa yang kita anggap benar itu adalah sebuah kebenaran mutlak
yang harus diterima oleh orang lain. Dan tidak selamanya apa yang kita anggap
salah itu adalah sebuah kesalahan mutlak yang wajib dihindari oleh orang lain.
Sesuai dengan redaksi Imam Syafi'i ketika mengeluarkan sebuah ijtihad
(pendapat), "Pendapatku benar dan punya kemungkinan salah. Sedangkan
pendapat orang lain salah dan punya kemungkinan benar." Terkadang, suatu
pemikiran cocok untuk kita tapi belum tentu cocok untuk orang lain. Spirit
inilah yang perlu kita tumbuh-kembangkan. Ketika melihat sebuah kebenaran
menurut versi kita, jangan lantas merasa benar sendiri dan menganggap orang
lain seratus persen salah. Kebiasaan menuduh orang lain sesat, liberal, wahabi,
syiah, ahli bid'ah, munafik, musyrik, kafir adalah wabah yang mengancam
persatuan kita.
Terkait
perbedaan pola pikir kita terhadap kasus Ahok, yang patut kita syukuri, berkat
"jasa" Ahok yang melontarkan isu al-Maidah 51 ini, umat Islam semakin
sadar mau mempelajari ayat tersebut hingga ke tafsirnya. Juga umat Islam dari
berbagai aliran dan ormas mau bersatu untuk aksi istighosah dzikir dan doa
bersama 212 dengan ramah, tertib, cinta kebersihan dan cinta lingkungan. Sudah
saatnya kita percayakan kasus Ahok kepada pihak berwajib untuk segera
menuntaskannya. Mari kita curahkan energi kita untuk membangun bangsa, sehingga
bangsa ini mampu menjadi orang tua bagi umat Islam di seluruh dunia, dan di
sisi lain juga tetap bisa mengayomi minoritas yang hidup berdampingan di
nusantara. Semoga Allah meridhai.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar