buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Senin, 20 Februari 2017

BERMESRAAN DENGAN AL-QUR`AN



       Edisi 03 th VIII : 20 Januari 2017 M / 21 Rabiuts Tsani 1438 H
BERMESRAAN DENGAN AL-QUR’AN
Penulis: ust. Dana A. Dahlany, Lc. (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah menurunkan al-Qur’an untuk segenap umat manusia. Shalawat dan salam semoga tercurah pada nabi Muhammad saw, sang penerima wahyu yang kemudian menyampaikannya pada umat.
Sejak munculnya kasus Ahok yang menjadi tersangka penistaan agama, banyak di antara umat Islam yang begitu bersemangat mengikuti aksi bela Islam dan aksi bela Al-Quran. Aksi-aksi semacam ini terjadi di mana-mana, hampir di setiap kota di tanah air. Penulis menilai bahwa fenomena seperti ini sangat tepat dijadikan sebagai momentum untuk membangkitkan kembali gairah dan semangat kita dalam berislam. Tapi agaknya kita juga perlu mengambil sebuah cermin besar dan bertanya kepada diri sendiri, sudahkah kita memperlakukan Al-Quran sebagaimana mestinya? Bagaimana interaksi kita dengan kitab suci selama ini? Sadarkah kita bahwa Al-Quran itu adalah pesan suci dari Ilahi, bukan sekedar benda mati penghias lemari?
Ada 3 point penting yang patut kita coba untuk membangun interaksi yang ideal berupa kemesraan antara Al-Quran sebagai firman Allah dengan kita sebagai hamba Allah. Ketiga point ini, penulis ambilkan dari sebuah buku berjudul "Kaifa Nata'amal ma'a al-Qur'ani al-'Adhim" karya Dr. Yusuf al-Qardhawi. Beliau juga mengutip 3 point penting ini dari kitab fenomenal karya Imam Ghazali "Ihya' Ulumuddin".
Yang pertama adalah takhshish (spesialisasi). Saat membaca Al-Quran, hendaknya kita menganggap seolah-olah tengah menghadapi sebuah hidangan spesial dari Tuhan. Pesan-pesan yang terdapat di dalamnya seolah-olah dituturkan khusus untuk diri kita. Ayat-ayat yang menerangkan tentang nikmatnya surga adalah hadiah terindah untuk memotivasi kita dalam beramal shalih. Sebaliknya, ayat-ayat tentang siksa neraka adalah ancaman agar kita senantiasa waspada, jangan sampai terjerumus dalam lembah kemaksiatan yang menjadi pintu menuju neraka.

Ayat-ayat yang menerangkan tentang nikmatnya surga adalah hadiah terindah untuk memotivasi kita dalam beramal shalih. Sebaliknya, ayat-ayat tentang siksa neraka adalah ancaman agar kita senantiasa waspada, jangan sampai terjerumus dalam lembah kemaksiatan yang menjadi pintu menuju neraka. Ketika menjumpai ayat yang menjelaskan ciri-ciri orang beriman dan beramal shalih, kita terpacu untuk mengikuti jejak mereka. Tapi saat menemui ayat tentang orang-orang kafir dan penuh dosa, kita merasa bahwa ayat itu sedang menunjuk batang hidung kita sendiri.
Begitulah nilai takhshish ini berperan dalam kehidupan kita. Kita harus berlaku adil sejak dalam pikiran. Jangan hanya mau enaknya saja. Saat menjumpai ayat-ayat tentang orang-orang yang beruntung, dengan bangganya kita menepuk-nepuk dada, seakan-akan kitalah orang paling beruntung sedunia. Begitu tiba di ayat tentang orang-orang yang celaka, kita jadi sibuk menunjuk hidung orang lain, seolah-olah kita sudah selamat dari ancaman itu. Dan justru penyakit inilah yang sedang menjangkiti umat akhir-akhir ini. Penyakit merasa benar sendiri.
Point kedua adalah Ta'atsur (terkesan, terpengaruh). Sebagai seorang muslim, kita sadar sepenuhnya bahwa Al-Quran itu adalah kalam Allah. Tapi belum banyak dari kita yang bisa mencapai derajat Ta'atsur ini, merasa terkesan dengan pesan-pesan yang terkandung dalam kalam Ilahi. Manusia yang sudah mencapai derajat Ta'atsur ini akan menangis sejadi-jadinya ketika membaca ayat-ayat tentang siksa. Di saat yang lain, hatinya akan berbunga-bunga ketika menjumpai ayat tentang nikmat dan kabar gembira. Apabila diceritakan kisah umat terdahulu, bisa tenggelam mengikuti alur ceritanya. Tapi saat kisah tersebut berakhir dengan dahsyatnya azab yang membinasakan kaum-kaum yang durhaka, maka tubuhnya akan gemetar, bahkan bisa jadi tak mampu lagi melanjutkan bacaannya.
Suatu ketika Nabi Muhammad saw. pernah meminta Ibnu Mas'ud untuk membacakan Al-Quran. Tapi begitu sampai pada surat an-Nisa’ ayat 41 yang artinya: “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” Sontak Nabi meminta Ibnu Mas'ud berhenti membaca. Dan mengalirlah air mata dari kedua matanya yang mulia. Tampaknya beliau merasakan betapa beratnya tanggung jawab sebagai saksi di hari kiamat nanti.
Maha benar Allah ketika berfirman dalam al-Qur’an surat az-Zumar ayat 23 yang artinya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.”

Sedangkan point ke tiga adalah Tarqiyyah (peningkatan). Kualitas manusia dalam membaca dan memahami al-Qur’an tentu berbeda-beda. Dan kita dituntut untuk selalu belajar dan meningkatkan kualitas bacaan dari waktu ke waktu. Menurut Imam Ghazali, ada 3 tingkatan manusia jika ditinjau dari kemampuannya membaca dan memahami Al-Quran, yaitu:
1. Orang yang membaca Al-Quran seakan-akan berada di hadapan Tuhan. Ia seolah-olah mampu melihat-Nya dan mendengar kalam-Nya. Makanya, ia membacanya dengan perasaan khusyuk dan penuh kerendah-hatian.
2. Orang yang menganggap bahwa Allah sedang melihatnya, menyampaikan pesan-pesan Ilahiyah langsung kepadanya. Ketika itu hatinya diliputi perasaan malu dan rasa penuh pengagungan.
3. Orang yang mampu menemukan Allah di setiap kalimat dalam Al-Quran, bisa menjumpai sifat-Nya di setiap kata dalam Al-Quran. Ia sudah tidak lagi memperhatikan bacaannya, bahkan tidak melihat dirinya sendiri. Orang semacam ini hanya berfokus pada Allah semata. Dan inilah derajat tertinggi yang hanya mampu dicapai oleh muqarrabin, orang-orang yang begitu dekat dengan Allah.
Imam Jakfar ash-Shadiq pernah berkata mengenai derajat ketiga ini, "Sesungguhnya Allah itu menampakkan diri melalui kalam-Nya, namun sayang banyak orang yang tidak melihat-Nya." Beliau pernah ditanya mengenai sebuah peristiwa yang membuat beliau tersungkur sujud sambil menangis tersedu-sedu di tengah-tengah shalat. Lalu beliau menjawab, "Aku terus mengulang-ulang sepotong ayat hingga aku merasa mendengar ayat tersebut dari Sang Pewicaranya secara langsung. Makanya tubuhku tidak kuasa menerima dahsyatnya peristiwa itu."
Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq dan bimbingan kepada kita, sehingga kita juga diberi kesempatan untuk mencicipi manisnya bermesraan dengan Al-Quran sebagaimana yang pernah dialami oleh orang-orang shalih yang menjadi kekasih-Nya. Semoga Allah juga memudahkan jalan kita. Aamiin.
***







Tidak ada komentar:

Posting Komentar