Edisi 03 th VIII : 20 Januari 2017 M / 21 Rabiuts Tsani
1438 H
BERMESRAAN DENGAN AL-QUR’AN
Penulis:
ust. Dana A. Dahlany, Lc. (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah menurunkan al-Qur’an untuk segenap umat manusia. Shalawat dan salam
semoga tercurah pada nabi Muhammad saw, sang penerima wahyu yang kemudian
menyampaikannya pada umat.
Sejak munculnya kasus Ahok yang
menjadi tersangka penistaan agama, banyak di antara umat Islam yang begitu
bersemangat mengikuti aksi bela Islam dan aksi bela Al-Quran. Aksi-aksi semacam
ini terjadi di mana-mana, hampir di setiap kota di tanah air. Penulis menilai
bahwa fenomena seperti ini sangat tepat dijadikan sebagai momentum untuk
membangkitkan kembali gairah dan semangat kita dalam berislam. Tapi agaknya
kita juga perlu mengambil sebuah cermin besar dan bertanya kepada diri sendiri,
sudahkah kita memperlakukan Al-Quran sebagaimana mestinya? Bagaimana interaksi
kita dengan kitab suci selama ini? Sadarkah kita bahwa Al-Quran itu adalah
pesan suci dari Ilahi, bukan sekedar benda mati penghias lemari?
Ada 3 point penting yang patut kita coba untuk membangun
interaksi yang ideal berupa kemesraan antara Al-Quran sebagai firman Allah
dengan kita sebagai hamba Allah. Ketiga point ini, penulis ambilkan dari sebuah
buku berjudul "Kaifa Nata'amal ma'a al-Qur'ani al-'Adhim"
karya Dr. Yusuf al-Qardhawi. Beliau juga mengutip 3 point penting ini dari
kitab fenomenal karya Imam Ghazali "Ihya' Ulumuddin".
Yang pertama adalah takhshish
(spesialisasi). Saat membaca Al-Quran, hendaknya kita menganggap seolah-olah
tengah menghadapi sebuah hidangan spesial dari Tuhan. Pesan-pesan yang terdapat
di dalamnya seolah-olah dituturkan khusus untuk diri kita. Ayat-ayat yang
menerangkan tentang nikmatnya surga adalah hadiah terindah untuk memotivasi
kita dalam beramal shalih. Sebaliknya, ayat-ayat tentang siksa neraka adalah
ancaman agar kita senantiasa waspada, jangan sampai terjerumus dalam lembah
kemaksiatan yang menjadi pintu menuju neraka.
Ayat-ayat yang menerangkan
tentang nikmatnya surga adalah hadiah terindah untuk memotivasi kita dalam
beramal shalih. Sebaliknya, ayat-ayat tentang siksa neraka adalah ancaman agar
kita senantiasa waspada, jangan sampai terjerumus dalam lembah kemaksiatan yang
menjadi pintu menuju neraka. Ketika menjumpai ayat yang menjelaskan ciri-ciri
orang beriman dan beramal shalih, kita terpacu untuk mengikuti jejak mereka.
Tapi saat menemui ayat tentang orang-orang kafir dan penuh dosa, kita merasa
bahwa ayat itu sedang menunjuk batang hidung kita sendiri.
Begitulah nilai takhshish
ini berperan dalam kehidupan kita. Kita harus berlaku adil sejak dalam pikiran.
Jangan hanya mau enaknya saja. Saat menjumpai ayat-ayat tentang orang-orang
yang beruntung, dengan bangganya kita menepuk-nepuk dada, seakan-akan kitalah
orang paling beruntung sedunia. Begitu tiba di ayat tentang orang-orang yang
celaka, kita jadi sibuk menunjuk hidung orang lain, seolah-olah kita sudah
selamat dari ancaman itu. Dan justru penyakit inilah yang sedang menjangkiti
umat akhir-akhir ini. Penyakit merasa benar sendiri.
Point kedua adalah
Ta'atsur (terkesan, terpengaruh). Sebagai seorang muslim, kita
sadar sepenuhnya bahwa Al-Quran itu adalah kalam Allah. Tapi belum banyak dari
kita yang bisa mencapai derajat Ta'atsur ini, merasa terkesan dengan
pesan-pesan yang terkandung dalam kalam Ilahi. Manusia yang sudah mencapai
derajat Ta'atsur ini akan menangis sejadi-jadinya ketika membaca
ayat-ayat tentang siksa. Di saat yang lain, hatinya akan berbunga-bunga ketika
menjumpai ayat tentang nikmat dan kabar gembira. Apabila diceritakan kisah umat
terdahulu, bisa tenggelam mengikuti alur ceritanya. Tapi saat kisah tersebut
berakhir dengan dahsyatnya azab yang membinasakan kaum-kaum yang durhaka, maka tubuhnya
akan gemetar, bahkan bisa jadi tak mampu lagi melanjutkan bacaannya.
Suatu ketika Nabi Muhammad saw.
pernah meminta Ibnu Mas'ud untuk membacakan Al-Quran. Tapi begitu sampai pada
surat an-Nisa’ ayat 41 yang artinya: “Maka bagaimanakah (halnya orang
kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap
umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu
(sebagai umatmu).” Sontak Nabi meminta Ibnu Mas'ud berhenti membaca.
Dan mengalirlah air mata dari kedua matanya yang mulia. Tampaknya beliau
merasakan betapa beratnya tanggung jawab sebagai saksi di hari kiamat nanti.
Maha benar Allah ketika berfirman
dalam al-Qur’an surat az-Zumar ayat 23 yang artinya: “Allah telah
menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Quran yang serupa (mutu
ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang
takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu
mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada
baginya seorang pemimpinpun.”
Sedangkan point ke tiga adalah Tarqiyyah (peningkatan). Kualitas manusia dalam membaca dan
memahami al-Qur’an tentu berbeda-beda. Dan kita dituntut untuk
selalu belajar dan meningkatkan kualitas bacaan dari waktu ke waktu. Menurut Imam Ghazali, ada 3
tingkatan manusia jika ditinjau dari kemampuannya membaca dan memahami Al-Quran,
yaitu:
1. Orang yang membaca Al-Quran seakan-akan berada di hadapan Tuhan. Ia
seolah-olah mampu melihat-Nya dan mendengar kalam-Nya. Makanya, ia membacanya
dengan perasaan khusyuk dan penuh kerendah-hatian.
2. Orang yang menganggap bahwa Allah sedang melihatnya, menyampaikan
pesan-pesan Ilahiyah langsung kepadanya. Ketika itu hatinya diliputi perasaan
malu dan rasa penuh pengagungan.
3. Orang yang mampu menemukan Allah di setiap kalimat dalam Al-Quran,
bisa menjumpai sifat-Nya di setiap kata dalam Al-Quran. Ia sudah tidak lagi
memperhatikan bacaannya, bahkan tidak melihat dirinya sendiri. Orang semacam
ini hanya berfokus pada Allah semata. Dan inilah derajat tertinggi yang hanya
mampu dicapai oleh muqarrabin, orang-orang yang begitu dekat dengan
Allah.
Imam Jakfar
ash-Shadiq pernah berkata mengenai derajat ketiga ini, "Sesungguhnya
Allah itu menampakkan diri melalui kalam-Nya, namun sayang banyak orang yang
tidak melihat-Nya." Beliau pernah ditanya mengenai sebuah peristiwa
yang membuat beliau tersungkur sujud sambil menangis tersedu-sedu di
tengah-tengah shalat. Lalu beliau menjawab, "Aku terus mengulang-ulang
sepotong ayat hingga aku merasa mendengar ayat tersebut dari Sang Pewicaranya
secara langsung. Makanya tubuhku tidak kuasa menerima dahsyatnya peristiwa itu."
Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq dan
bimbingan kepada kita, sehingga kita juga diberi kesempatan untuk mencicipi
manisnya bermesraan dengan Al-Quran sebagaimana yang pernah dialami oleh
orang-orang shalih yang menjadi kekasih-Nya. Semoga Allah juga
memudahkan jalan kita. Aamiin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar