buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Senin, 20 Februari 2017

MENDIDIK ANAK



       Edisi 05 th VIII : 03 Februari 2017 M / 6 Jumadil Ula 1438 H
MENDIDIK ANAK
Penulis: Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mukmin, Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1 yang artinya: “Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia teristimewa, sang revolusioner sejati dalam pendidikan jiwa manusia menuju insan kamil yang sempurna lahir batinnya.
Jika kita telaah lebih teliti, hakikat dari lafadz iqra’ dalam surat al-‘Alaq ayat 1 tersebut di atas merupakan sebuah perintah agar manusia senantiasa belajar sehingga tidak terjebak dalam kebodohan. Menurut ilmu asbabun-nuzul, wahyu pertama ini turun saat nabi Muhammad saw sendirian di gua hira’, sedang beliau adalah seorang yang tidak bisa baca-tulis. Lalu kenapa disuruh “membaca”. Maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa perintah “membaca” tersebut pada hakikatnya ditujukan bagi seluruh umat manusia, dengan asumsi bahwa “membaca” identik dengan belajar. Namun belajar bukanlah sembarang belajar, melainkan belajar yang dilandasi dengan iman dan takwa yang diindikasikan dengan lafadz “… bismi rabbikal-ladzi khalaq”. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, belajar ini disebut juga pendidikan.
Pendidikan adalah sebuah proses untuk mempengaruhi orang lain agar menjadi seperti yang dimaksud. Dalam konsep ini, seringkali kita mendengar khatib jum’at mengumandangkan ayat ke-102 dari surat Ali Imran yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Pesan agar “jangan mati kecuali dalam keadaan Islam” ini merupakan sebuah isyarat bahwa pendidikan merupakan proses panjang tiada henti sampai kematian datang, sebab jika berhenti pada suatu waktu maka bisa jadi landasan iman dan takwa menjadi terkikis.


Kita tentu sudah mengenal sebuah hadits masyhur yang menyebutkan: “Carilah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat.” Ini artinya pendidikan seumur hidup sudah harus dimulai sejak usia sangat dini dan berakhir jika sudah mencapai husnul khatimah. Dari perspektif psikologis, proses pendidikan sejak usia sangat dini tersebutlah sangatlah tepat. Adapun dalam pendidikan Islam, masa bayi ketika masih dalam buaian juga merupakan masa penting. Hal yang harus didengar secara seksama oleh bayi yang baru lahir adalah adzan yang dikumandangkan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. Ajakan untuk bersyahadat, shalat serta menuju kebaha-giaan ini mengiringi beberapa tahapan penyesuaian bayi yang baru memasuki dunia baru setelah meninggalkan dunia rahim ibu. Penyesuaian tersebut diantaranya: penyesuaian perubahan temperatur (temperatur dalam rahim ibu berkisar 36 derajat celcius, sedang di luarnya berkisar 20 derajat celcius dan bisa berubah-ubah), penyesuaian system pernapasan, konsumsi dan pembuangan (dalam rahim ibu, semua system melalui plasenta dari tali pusat).
Kemudian masa bayi yang merupakan masa ketergantungan akan berakhir sekitar tahun ke-2, dan si bayi akan memasuki masa kanak-kanak yang merupakan masa pertumbuhan kemandirian. Masa ini disebut juga masa meniru, yaitu si anak menjadi peniru ulung dengan cara meniru pembicaraan maupun perbuatan orang lain tanpa perlu mengetahui apa makna yang ditirunya tersebut. Pada usia 5 tahun, pertumbuhan otak seorang anak sudah mencapai 75% dari ukuran otak orang dewasa. Bahkan pada usia 6 tahun sudah mencapai 90%-nya. Oleh karenanya masa kanak-kanak menjadi masa yang potensial untuk mempelajari sesuatu. Intelektualnya berkembang cepat, sehingga para ahli psikologi menyebutnya “periode emas”. John Piaget (ahli psikologi) mengkategorikan masa ini sebagai tahap berpikir pra operasional dan membaginya dalam dua bagian, yaitu umur 2-4 tahun dengan perkembangan pemikiran simbolis dan umur 4-7 tahun dengan perkembangan intuitif. Dalam ajaran Islam, diterangkan dalam surat Luqman ayat 14: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” Maka terlihat jelas bahwa masa bayi menurut Islam memang berakhir sejak penyapihan pada usia 2 tahun. Kemudian hal yang harus dilakukan oleh orang tua setelah si anak keluar dari masa bayi adalah dengan mulai mendidiknya. Pendidikan keluarga menjadi sangat penting bagi anak.

Selain itu, pendidikan tentang budi pekerti juga sangat urgen bagi kehidupan masa kanak-kanak awal. Jika kita mendapati seorang anak bertindak semaunya sendiri dan menjadi trouble maker, maka secara otomatis orang-orang akan bertanya: “siapa sih orang tuanya?” Dalam hal ini secara implisit mereka menyalahkan orang tua yang tidak mampu mendidik anaknya. Secara psikologis, menurut Dr. Langeveld bahwa konsep pendidikan dapat diterima individu sejak usia tiga setengah tahun. Maka jauh sebelum konsep para ahli psikologi Barat ini dikemukakan, Islam sudah terlebih dahulu mengajukan konsepnya melalui berbagai hal yang diajarkan nabi Muhammad saw, seperti sebuah hadits: “Sahabat Ayub bin Musa meriwayatkan hadits dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Mendidik budi pekerti luhur kepada anak lebih utama daripada bersedekah setakar buah kurma." (HR. Tirmidzi). Hadits ini menunjukkan sebuah konsep bahwa pendidikan lebih utama dari harta atau apapun. Jika para ahli psikologi Barat menyebut masa kanak-kanak sebagai periode diletakkannya dasar struktur perilaku kompleks yang dibangun sepanjang kehidupan, maka Islam mengkonsep bahwa mendidik anak dengan baik dapat menjadi investasi luar biasa dalam kehidupan dunia akhirat. Seorang anak shalih yang mau mendoakan orang tuanya akan menjadi amal yang tiada putus meski si orang tua sebagai aktor pembentuk keshalihan si anak telah wafat. Bahkan jika orang tua mampu juga mendidik anaknya dan pendidikan tersebut terus diimplementasikan oleh si anak, maka ini juga menjadi amal yang tiada putus. Hal ini sejalan dengan konsep bahwa mendidik anak merupakan wujud syukur pada Allah swt yang telah menganugerahi keturunan. Dan hal tersebut sudah digambarkan dalam al-Qur’an surat Ibrahim ayat 7 yang artinya “dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." 
Semoga kita mampu mendidik generasi muda kita dengan metode-metode baru yang sinkron dengan perkembangan mereka sebagaimana difatwakan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib: Didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan untuk jaman-nya bukan jamanmu.” Semoga Allah melimpahkan ridha-Nya. Aamiin.
***




.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar