Edisi 05 th VIII : 03 Februari 2017 M / 6 Jumadil Ula 1438
H
MENDIDIK ANAK
Penulis:
Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mukmin, Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1 yang artinya: “Bacalah,
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” Shalawat dan salam
semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia teristimewa, sang
revolusioner sejati dalam pendidikan jiwa manusia menuju insan kamil
yang sempurna lahir batinnya.
Jika kita telaah lebih teliti,
hakikat dari lafadz iqra’ dalam surat al-‘Alaq ayat 1 tersebut di atas
merupakan sebuah perintah agar manusia senantiasa belajar sehingga tidak
terjebak dalam kebodohan. Menurut ilmu asbabun-nuzul, wahyu pertama ini
turun saat nabi Muhammad saw sendirian di gua hira’, sedang beliau adalah
seorang yang tidak bisa baca-tulis. Lalu kenapa disuruh “membaca”. Maka kita
dapat menarik kesimpulan bahwa perintah “membaca” tersebut pada hakikatnya
ditujukan bagi seluruh umat manusia, dengan asumsi bahwa “membaca” identik
dengan belajar. Namun belajar bukanlah sembarang belajar, melainkan belajar
yang dilandasi dengan iman dan takwa yang diindikasikan dengan lafadz “… bismi
rabbikal-ladzi khalaq”. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, belajar ini
disebut juga pendidikan.
Pendidikan adalah sebuah proses untuk mempengaruhi orang lain agar
menjadi seperti yang dimaksud. Dalam
konsep ini, seringkali kita mendengar khatib jum’at mengumandangkan ayat ke-102
dari surat Ali Imran yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali
kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Pesan agar “jangan
mati kecuali dalam keadaan Islam” ini merupakan sebuah isyarat bahwa
pendidikan merupakan proses panjang tiada henti sampai kematian datang, sebab
jika berhenti pada suatu waktu maka bisa jadi landasan iman dan takwa menjadi
terkikis.
Kita tentu
sudah mengenal sebuah hadits masyhur yang menyebutkan: “Carilah ilmu
sejak dari buaian hingga liang lahat.” Ini artinya pendidikan seumur
hidup sudah harus dimulai sejak usia sangat dini dan berakhir jika sudah
mencapai husnul khatimah. Dari perspektif psikologis, proses pendidikan
sejak usia sangat dini tersebutlah sangatlah tepat. Adapun dalam pendidikan
Islam, masa bayi ketika masih dalam buaian juga merupakan masa penting. Hal
yang harus didengar secara seksama oleh bayi yang baru lahir adalah adzan yang
dikumandangkan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. Ajakan untuk
bersyahadat, shalat serta menuju kebaha-giaan ini mengiringi beberapa tahapan
penyesuaian bayi yang baru memasuki dunia baru setelah meninggalkan dunia rahim
ibu. Penyesuaian tersebut diantaranya: penyesuaian perubahan temperatur
(temperatur dalam rahim ibu berkisar 36 derajat celcius, sedang di luarnya
berkisar 20 derajat celcius dan bisa berubah-ubah), penyesuaian system
pernapasan, konsumsi dan pembuangan (dalam rahim ibu, semua system melalui
plasenta dari tali pusat).
Kemudian masa
bayi yang merupakan masa ketergantungan akan berakhir sekitar tahun ke-2, dan
si bayi akan memasuki masa kanak-kanak yang merupakan masa pertumbuhan kemandirian.
Masa ini disebut juga masa meniru, yaitu si anak menjadi peniru ulung dengan
cara meniru pembicaraan maupun perbuatan orang lain tanpa perlu mengetahui apa
makna yang ditirunya tersebut. Pada usia 5 tahun, pertumbuhan otak seorang anak
sudah mencapai 75% dari ukuran otak orang dewasa. Bahkan pada usia 6 tahun
sudah mencapai 90%-nya. Oleh karenanya masa kanak-kanak menjadi masa yang
potensial untuk mempelajari sesuatu. Intelektualnya berkembang cepat, sehingga
para ahli psikologi menyebutnya “periode emas”. John Piaget (ahli psikologi)
mengkategorikan masa ini sebagai tahap berpikir pra operasional dan membaginya
dalam dua bagian, yaitu umur 2-4 tahun dengan perkembangan pemikiran simbolis
dan umur 4-7 tahun dengan perkembangan intuitif. Dalam ajaran Islam,
diterangkan dalam surat Luqman ayat 14: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada kedua orang ibu bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaKu
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” Maka terlihat jelas
bahwa masa bayi menurut Islam memang berakhir sejak penyapihan pada usia 2
tahun. Kemudian hal yang harus dilakukan oleh orang tua setelah si anak keluar
dari masa bayi adalah dengan mulai mendidiknya. Pendidikan keluarga menjadi
sangat penting bagi anak.
Selain itu,
pendidikan tentang budi pekerti juga sangat urgen bagi kehidupan masa
kanak-kanak awal. Jika kita mendapati seorang anak bertindak semaunya sendiri
dan menjadi trouble maker, maka secara otomatis orang-orang akan
bertanya: “siapa sih orang tuanya?” Dalam hal ini secara implisit mereka
menyalahkan orang tua yang tidak mampu mendidik anaknya. Secara psikologis,
menurut Dr. Langeveld bahwa konsep pendidikan dapat diterima individu sejak
usia tiga setengah tahun. Maka jauh sebelum konsep para ahli psikologi Barat
ini dikemukakan, Islam sudah terlebih dahulu mengajukan konsepnya melalui
berbagai hal yang diajarkan nabi Muhammad saw, seperti sebuah hadits: “Sahabat
Ayub bin Musa meriwayatkan hadits dari ayahnya
dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Mendidik budi pekerti luhur kepada anak
lebih utama daripada bersedekah
setakar buah kurma." (HR.
Tirmidzi). Hadits ini menunjukkan
sebuah konsep bahwa pendidikan lebih utama dari harta atau apapun. Jika para
ahli psikologi Barat menyebut masa kanak-kanak sebagai periode diletakkannya
dasar struktur perilaku kompleks yang dibangun sepanjang kehidupan, maka Islam
mengkonsep bahwa mendidik anak dengan baik dapat menjadi investasi luar biasa
dalam kehidupan dunia akhirat. Seorang anak shalih yang mau mendoakan orang
tuanya akan menjadi amal yang tiada putus meski si orang tua sebagai aktor
pembentuk keshalihan si anak telah wafat. Bahkan jika orang tua mampu juga
mendidik anaknya dan pendidikan tersebut terus diimplementasikan oleh si anak,
maka ini juga menjadi amal yang tiada putus. Hal ini sejalan dengan konsep
bahwa mendidik anak merupakan wujud syukur pada Allah swt yang telah
menganugerahi keturunan. Dan hal tersebut sudah digambarkan dalam al-Qur’an surat Ibrahim ayat 7 yang artinya “dan (ingatlah),
tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."
Semoga
kita mampu mendidik generasi muda kita dengan metode-metode baru yang sinkron
dengan perkembangan mereka sebagaimana difatwakan oleh khalifah Ali bin Abi
Thalib: “Didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan untuk jaman-nya
bukan jamanmu.” Semoga Allah melimpahkan ridha-Nya. Aamiin.
***
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar