Edisi 04 th VIII : 27 Januari 2017 M / 28 Rabiuts Tsani
1438 H
KERUKUNAN BERMASYARAKAT
Penulis:
Herul Sabana, S.E (Mayak, Tonatan)
Segala puji hanyalah milik Allah
swt yang telah melimpahkan karunia kepada kita semua berupa kehidupan yang
penuh dengan berkah kedamaian. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan
kepada nabi Muhammad saw, yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Setiap umat manusia dari agama
apa pun pasti mendukung adanya perdamaian antar sesama. Jauh sebelum PBB
mendeklarasikan adanya perdamaian dunia dan menghapus bentuk penjajahan, maupun
para pendiri Negara Indonesia menyusun Pembukaan UUD ’45, Islam telah menyerukan
perdamaian dan kerukunan antar umat beragama. Islam tidak pernah melegalitaskan
pemaksaan memeluk agama tertentu, sehingga beragama diakui sebagai hak
individu. Perbedaan agama dan keyakinan bukan penghalang untuk menyuburkan kerukunan
umat. Manusia tidak boleh mengolok-olok umat agama lain, apalagi mengolok-olok
sesembahan mereka. Al-Qur’an surat al-An’am ayat 108 berbunyi: “Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami hiasi bagi setiap umat pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan
merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang
dahulu mereka kerjakan.” Maka di Indonesia yang majemuk ini,
jangan sampai perbedaan suku, bahasa, adat istiadat maupun agama lantas
menjadikan kita tidak rukun dengan saudara-saudara kita sebangsa dan setanah
air.
Agama
Islam merupakan agama yang seimbang antara hablum minAllah dengan hablum
minan nas-nya. Karena itulah Islam sangat menganjurkan untuk berbuat baik
terhadap sesama manusia. Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk surga bagi orang yang
tetangganya tak aman dari kejelekannya.” (HR. Muslim). Kerukunan dalam
ruang lingkup terkecil yaitu bertetangga merupakan cikal bakal kerukunan yang
lebih global semisal kerukunan bangsa dan bahkan kerukunan dunia. Hidup rukun
dan berbuat baik terhadap tetangga merupakan indikator kesempurnaan iman
seseorang, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw: “Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia mengganggu tetangganya,
barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia
memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
maka hendaknya dia berkata baik atau diam” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam konteks inilah sesungguhnya Islam diberi label rahmatan lil ‘alamin,
di mana dengan ajarannya ini maka dunia akan penuh rahmat kasih sayang antar
manusia.
Menjadi
manusia yang tidak menyusahkan orang lain dan menjadi manusia yang berguna bagi
orang lain, itulah rahmatan lil ‘alamin. Karena itulah Islam mengajarkan
hidup dalam kerukunan di manapun tempatnya. Hidup rukun berarti juga suka
memaafkan kesalahan orang lain serta tidak memperpanjang permasalahan negatif
yang terjadi. Umat Islam diajarkan untuk menjadi insan yang pemaaf, karena
melalui jalur menjadi pemaaf inilah kerukunan dan perdamaian akan terwujud.
Memaafkan kesalahan orang lain memang sangat sulit, maka di point inilah
dijanjikan keagungan pahala dari Allah swt sebagaimana firman-Nya dalam surat
Ali Imran ayat 133 dan 134: “Dan bergegaslah kepada ampunan dari Tuhanmu
dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang
yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya di saat lapang dan
susah (sempit) dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan yang
berbuat kesalahan kepadanya dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Kemudian Rasulullah juga telah bersabda: “Allah tidak akan menambah
kemaafan seseorang melainkan dengan kemuliaan, dan tidaklah seseorang
merendahkan dirinya karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.”
(HR Bukhari dan Muslim).
Sebelum membangun kerukunan dengan umat agama
lain, Islam sudah mem-bangun kerukunan internal (sesama muslim) dengan memberikan
aturan-aturan hab-lum minan nas. Adab sesama muslim antara lain yaitu memenuhi
hak-hak muslim lainnya. Adapun hak-hak tersebut adalah sebagaimana disebutkan
Rasulullah saw: “Hak seorang muslim atas
muslim lain ada lima yaitu menjawab salam, menje-nguk yang sakit, mengantar
jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan yang
bersin” (HR Bukhari
dan Muslim). Konsep ini sangat luar biasa sekali. Kesemuanya mengedepankan
kesensitifan perasaan orang lain, dengan kata lain sangat menjaga perasaan agar
tercipta kerukunan yang pada akhirnya terwujud hidup damai tanpa permasalahan
negatif.
Selain itu Rasulullah saw melarang
umat islam mempunyai akhlak yang buruk pada sesama muslim. Sebagaimana dalam
hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw bersabda: “Jangan kalian
saling hasad, jangan saling melakukan najasy, jangan kalian saling membenci,
jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang
telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang
bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan
dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan
merendahkannya. Ketakwaan itu di sini (beliau menunjuk ke dadanya dan beliau
mengucapkannya 3 kali). Cukuplah seorang muslim dikatakan jelek akhlaknya jika
dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan mengganggu
darah, harta, dan kehormatan muslim lainnya.” Sangat jelas
bagaimana Rasulullah saw melarang manusia mengganggu hak orang lain atau
membuat orang lain merasa tidak nyaman dan sejenisnya. Dari konsep yang
seringkali kita anggap “sepele” inilah Rasulullah kemudian mencetuskan “Mitsaq
Madinah” yang di dunia barat
dikenal sebagai “Madinah Carter” yang merupakan tonggak sejarah peradaban manusia untuk mencapai
kerukunan secara global. Konsep “Mitsaq Madinah” ini merupakan konsep dari nabi Muhammad saw yang
melindungi dan menghormati semua penduduk Madinah, meskipun penduduk tersebut
beragama nashrani, yahudi maupun majusi. Hal ini merupakan implementasi dari islam
rahmatan lil ‘alamin.
Jika
para ilmuwan Barat begitu mengagumi konsep Mitsaq Madinah untuk kemudian mengadopsinya menjadi konsep HAM atau
apapun namanya, maka selayaknya kita yang notabene merupakan pewaris ajaran
Rasulullah saw merasa lebih berhak untuk mengimplementasikannya dalam wujud
kerukunan antar sesama manusia. Semoga kita mampu … ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar