buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Jumat, 15 Juni 2018

UCAPAN LEBARAN


       Edisi 20 th IX : 15 Juni 2018 M / 01 Syawal 1439 H
UCAPAN LEBARAN
Penulis: Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mukmin Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Ra’d ayat 21 yang artinya: “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (silaturrahmi), dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw yang merupakan uswatun hasanah bagi kita semua.
Nabi Muhammad saw merupakan orang paling bagus tutur katanya. Beliau memberikan tauladan kepada para sahabatnya, bagaimana cara bersosialisasi yang ideal. Bahkan beliau juga orang yang mampu menjaga lisan di hadapan orang yang memusuhi sekalipun. Konsep menghiasi lisan dengan kata-kata yang bagus ini merupakan konsep dasar bagi disiplin ilmu komunikasi. Konsep menghiasi lisan dengan kata-kata bagus juga menghasilkan efek positif dari segi muamalah maupun ibadah. Dari segi muamalah akan mempererat hubungan kita dengan orang lain, baik orang yang kenal dengan kita maupun belum kenal. Adapun dari segi ibadah akan menghasilkan pahala yang bisa kita nikmati kelak di akhirat. Rasulullah saw bersabda dalam salah satu hadits
وَالْكَلِمَةُ الطَّيّـِبَةُ صَدَقَةٌ
Artinya: “Dan perkataan yang baik merupakan sedekah.” (HR Bukhari dan muslim)

Jika kita menarik hubungan antara surat ar-Ra’d ayat 21 dengan hadits Rasulullah saw tersebut, maka kita bisa mengambil benang merah bahwa untuk menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan yakni silaturrahmi, maka kita harus menggunakan kata-kata yang baik. Dan kita semua tentu sama-sama sudah mafhum bahwa moment lebaran merupakan moment spesial untuk menyambung silaturrahmi.
Beberapa saudara kita ada yang bersikeras menyatakan bahwa untuk menyambung silaturrahmi dan saling meminta maaf bukan dikhususkan pada moment lebaran melainkan harus setiap saat. Pernyataan ini benar, namun bukan berarti kemudian boleh menyalahkan tradisi lebaran bangsa Indonesia yang memang berbeda dengan tradisi di tanah Arab. Jika di Arab Saudi, hari ketiga atau keempat lebaran mungkin bukan lagi hari yang spesial sehingga berlangsung sebagaimana hari-hari biasa. Tapi di sini, di Indonesia ini, moment lebaran masih berlangsung spesial sampai hari ke tujuh, bahkan dilanjut hari-hari berikutnya yang menjadi ajang halal bi halal.
Tradisi ini memang merupakan kearifan lokal yang harus senantiasa dilestarikan demi menjaga keistimewaan khasanah budaya bangsa Indonesia. Lafadz halal bi halal sendiri akan sulit ditemukan di Arab Saudi sana, karena lafadz ini memang “asli” bikinan Indonesia dengan menggunakan bahasa Arab. Lafadz lain yang sulit ditemukan di Arab Saudi sana adalah ucapan minal ‘aidin wal faizin. Ucapan ini begitu familiar bagi bangsa Indonesia dan menjadi ucapan “wajib” saat lebaran tiba. Biasanya lafadz minal ‘aidin wal faizin diteruskan dengan ucapan “mohon ma’af lahir dan batin”. Dua kalimat dengan bahasa asal yang berbeda dan makna yang berbeda ini digabungkan menjadi satu dan kemudian seolah-olah kalimat bahasa Indonesianya merupakan terjemahan bahasa Arabnya, padahal bukan. Jika kita coba uraikan, maka akan didapati bahwa kata Min artinya 'termasuk'; Al-aidin artinya 'orang-orang yang kembali'; Wa artinya 'dan'; Al-faizin artinya 'menang'. Secara harfiah, lafadz Minal 'Aidin wal Faizin dalam bahasa Indonesia artinya “termasuk dari orang-orang yang kembali sebagai orang yang menang. Namun dalam konteksnya, lafadz Minal 'Aidin wal Faizin bermakna “Selamat berhari raya, dan semoga termasuk orang yang mendapatkan kemenangan”. Karena (عيد) ‘id yang artinya: hari raya, terbentuk dari fi’il عاد (‘aada) yang fa’il-nya adalah عائد (‘aaidun), jika dalam bentuk jamak dan majrur menjadi العائدين (‘aaidin). Maka ‘aaidin bisa juga diartikan: orang-orang yang berhari raya.
Lalu apakah mengucapkan Minal 'Aidin wal Faizin ini termasuk tercela, karena tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat? Tentu saja tidak. Kita tentu bisa menyimak kembali tentang Mahdah dan Ghairu Mahdah. Maka kita bisa memasukkan ucapan Minal 'Aidin wal Faizin pada orang lain ini sebagai Ghairu Mahdah dengan berlandasakan hadits Rasulullah bahwa berkata yang baik merupakan

merupakan sedekah. Juga berlandaskan ayat ke 21 dari surat ar-Ra’d yang secara tersirat memerintahkan kita menyambung silaturrahmi agar terhindar dari hisab yang buruk. Jalinan silaturrahmi ini bisa disambung melalui ucapan maupun tulisan di pesan singkat SMS atau WA atau FB atau Twitter dan sejenisnya. Di era digital seperti sekarang ini, semua sarana bisa kita manfaatkan untuk silaturrahmi.
            Mungkin ada saudara kita yang masih suka ngotot kurang menyukai ucapan Minal 'Aidin wal Faizin dengan mempertanyakan bahwa “kita ini menang dari apa, kok diberi selamat? Kenapa pula hari ‘Ied dianggap sebagai hari kemenangan?” Hal semacam ini tidak perlu ditanggapi dengan serius. Kita cukuplah mengatakan bahwa hari raya ‘Ied merupakan kemenangan orang-orang yang berpuasa melawan hawa nafsunya. Lalu mungkin ada sanggahan lagi bahwa “apakah setelah merasa menang lalu kita boleh berpuas diri dan berpesta?” Maka cukuplah dijawab bahwa meraih kemenangan itu mudah, namun mempertahankan kemenangan itu akan selalu sulit. Jadi haruslah dipahami bahwa banyaknya makanan saat lebaran itu bukanlah “pesta foya-foya” sebagaimana umumnya. Banyaknya makanan saat lebaran merupakan perwujudan rasa syukur pada Allah yang kemudian diaplikasikan dengan menjalin tali silaturrahmi dengan saling mengunjungi dan menjamu tamu.
            Ucapan lebaran lain yang sudah familiar bagi kita adalah Taqabbalallahu Minna wa Mingkum” yang maknanya semoga Allah menerima amal kebaikan kita semua. Hal ini merupakan ungkapan doa sebagaimana dibaca para Sahabat radhiAllahu ‘anhum saat berhari raya ‘iedul fitri. Ucapan lainnya adalah ucapan dengan berbahasa daerah semisal “sugeng riyadin, nyuwun pangapunten sedoyo kalepatan kulo, duso kulo lan duso sampean dipun lebur wonten ing dinten rioyo niki”. Hal-hal semacam ini boleh saja dan sah-sah saja. Semua perkataan baik itu sedekah. Oleh karenanya, janganlah kita mempermasalahkan suatu tradisi yang tidak perlu dipermasalahkan.
            Akhirnya, segenap crew buletin TELAGA JIWA TPQ NU Ponorogo mengucapkan selamat hari raya ‘Iedul Fitri dan mohon ma’af lahir batin. Semoga Allah meridhai kita menjadi lebih baik lagi di hari-hari mendatang. Aamiin ...
***






BERKAH RAMADHAN


       Edisi 18 th IX : 25 Mei 2018 M / 9 Ramadhan 1439 H
BERKAH RAMADHAN
Penulis: Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mukmin, Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah menyediakan bulan Ramadhan bagi kita dan berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia yang sempurna ketakwaannya sehingga kita harus menjadikan beliau sebagi suri tauladan.
Kita tentu sering mendengar ayat ke 183 dari surat al-Baqarah dibacakan pada bulan Ramadhan oleh penceramah kuliah subuh maupun khatib Jum’at. Ayat tersebut memang menjadi dasar hukum pelaksanaan puasa Ramadhan. Tujuan dari diwajibkannya puasa, jika kita mengacu pada ayat tersebut, adalah agar kita bertakwa. Pengertian sederhana dari “takwa” adalah mengerjakan perintah Allah disertai menjauhi larangan Allah. Maka jika hanya mengerjakan perintah namun tidak menjauhi larangan, tentu belum bisa disebut takwa. Begitu juga jika sekedar menjauhi larangan namun belum mengerjakan perintah, maka tidak bisa disebut takwa. Oleh sebab itu, takwa haruslah kaffah, tidak bisa hanya salah satunya. Pengertian lain dari takwa, dapat kita lihat dari surat al-Baqarah ayat 2-5 yang artinya: “Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu

dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” Dari ayat ini terlihat spesifikasi orang yang bertakwa. Dan orang yang bertakwa disebut sebagai orang yang beruntung. Kenapa beruntung? Tentu saja beruntung sebab orang bertakwa akan mendapat balasan syurga sebagaimana tersurat dalam ar-Ra’d ayat 35 yang artinya: “Perumpamaan syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka.”
            Berkaitan dengan takwa, mari kita coba renungkan kisah dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra ketika ziarah kubur. Di hadapan para sahabat yang menyertai ziarah kubur tersebut, khalifah Ali bertanya ke arah kuburan: “Wahai ahli kubur di pe-makaman ini, bagaimana keadaanmu saat ini?” Tentu saja tak ada yang menjawab pertanyaan khalifah Ali. Dan pertanyaan ini diulangnya lagi namun tetap saja tak ada jawaban. Khalifah Ali pun kemudian berkata: “Wahai ahli kubur, jika kalian diam, apakah perlu kuberitahukan tentang keadaan harta dunia yang telah kalian tinggalkan dan juga keluarga yang dulu kalian cintai? Mereka saat ini sedang berpesta berbagi hartamu tersebut. Maka aku bertanya lagi pada kalian wahai ahli kubur, apa pesan yang ingin kalian sampaikan dari alam kubur? Kemudian khalifah Ali ra berpaling menghadap ke arah para sahabat dan berkata: “Wahai para sahabatku, jika saja para ahli kubur ini mampu mengucapkan pesan yang bisa kita dengar, mereka akan berkata: Kalian semua boleh mencari bekal di dunia yang se banyak-banyaknya. Tapi ingatlah pada al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 197 (yang artinya): “… Berbekal-lah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku (Allah) hai orang-orang yang berakal.”
Dari pemaparan di atas, tentunya kita semakin menyadari betapa kita harus senantiasa memperbaiki diri demi peningkatan ketakwaan kita. Adapun peningkatan ini tidaklah bisa kita lakukan secara mendadak dan semaksimal mungkin. Peningkatan ini selayaknya setahap demi setahap sesuai dengan kemampuan kita, sesuai dengan solusi yang diberikan dalam al-Qur’an surat at-Taghabun ayat 16 yang artinya: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. dan barangsiapa yang dipelihara dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Dalam konsep ini, bukan berarti kita boleh bertakwa dengan sekehendak hati, bukan seperti itu. Yang dimaksud “menurut kesanggupanmu” adalah sesuai dengan kemampuan keilmuan, fisik dan kapasitas kita. Dengan stimulus ini diharapkan akan muncul respon positif yang mendorong peningkatan ketakwaan secara stimultan.

Salah satu wujud konsep “menurut kesanggupanmu” misalnya saat puasa ini kita mengetahui bahwa tidur pun sudah dinilai sebagai ibadah yang berpahala, dengan asumsi bahwa tidur tersebut menyebabkan kita terbebas dari segala aktifitas yang bersinggungan dengan dosa semisal membicarakan keburukan orang lain. Hal ini jika memang sudah sesuai dengan kemampuan keilmuan, fisik dan kapasitas kita, tentu tidak jadi masalah. Namun secara tahapan takwa, jika kita memang memiliki ilmu yang memahamkan pada kita perihal betapa aktifitas di luar tidur justru berpotensi menjadi ibadah yang bernilai pahala berlipat ganda dibanding tidur, maka tentunya kita harus menjalankan juga “menurut kesanggupan”. Jika kita adalah seorang pekerja yang memang harus bekerja untuk mendapatkan uang guna menyambung hidup, maka tentunya kita tidak boleh hanya memperbanyak tidur saja saat puasa. Apalah artinya kita mendapatkan pahala tidur namun menyebabkan keluarga yang harus kita nafkahi menjadi terbengkalai? Oleh karenanya, meski puasa pun kita tetap berkewajiban mencari nafkah. Dalam konsep ini, mencari nafkah ini mari kita niati sebagai ibadah agar kita mendapatkan keberkahan bulan Ramadhan. Mungkin kita adalah pekerja yang mengandalkan tenaga untuk mencari nafkah (semisal petani, tukang becak dll). Bisa jadi selama puasa, hasil kerja kita menurun secara kuantitas maupun kualitas. Namun dengan kita niati sebagai ibadah, boleh jadi hasil yang menurun tersebut justru membawa keberkahan yang luar biasa. Perlu kita pahami bahwa terkait rizki itu yang terpenting bukan masalah banyak atau sedikit, melainkan berkah atau tidak berkah.
Terlepas dari segala macam rona-rona puasa, kita memang tetap perlu mengatur aktifitas kita agar bisa proporsional antara “kewajiban” kita terhadap keluarga dan kewajiban kita berburu keberkahan Ramadhan. Walau bagaimanapun, tentu kita tidak boleh melewatkan Ramadhan ini dengan begitu saja. Ibaratnya jika di jalan Suromenggolo hari Ahad pagi saat CFD (Car Free Day) apapun bisa dijual dan laku, maka di bulan Ramadhan ini, apapun bisa kita niatkan ibadah dan in sya Allah berpahala.
Semoga Allah memudahkan kita untuk senantiasa berada di jalan-Nya menuju kebahagiaan dunia akhirat. Aamiin ...
***