Edisi 20 th IX : 15 Juni 2018 M / 01 Syawal
1439 H
UCAPAN
LEBARAN
Penulis:
Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mukmin Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Ra’d ayat 21 yang artinya: “Dan
orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan (silaturrahmi), dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada
hisab yang buruk.” Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan
pada nabi Muhammad saw yang merupakan uswatun hasanah bagi kita semua.
Nabi Muhammad saw merupakan orang paling bagus tutur katanya. Beliau
memberikan tauladan kepada para sahabatnya, bagaimana cara bersosialisasi yang
ideal. Bahkan beliau juga orang yang mampu menjaga lisan di hadapan orang yang
memusuhi sekalipun. Konsep menghiasi lisan dengan kata-kata yang bagus ini
merupakan konsep dasar bagi disiplin ilmu komunikasi. Konsep menghiasi lisan
dengan kata-kata bagus juga menghasilkan efek positif dari segi muamalah maupun
ibadah. Dari segi muamalah akan mempererat hubungan kita dengan orang lain,
baik orang yang kenal dengan kita maupun belum kenal. Adapun dari segi ibadah akan
menghasilkan pahala yang bisa kita nikmati kelak di akhirat. Rasulullah saw
bersabda dalam salah satu hadits
وَالْكَلِمَةُ
الطَّيّـِبَةُ صَدَقَةٌ
Artinya: “Dan
perkataan yang baik merupakan sedekah.” (HR Bukhari dan muslim)
Jika kita menarik hubungan antara surat ar-Ra’d
ayat 21 dengan hadits Rasulullah saw tersebut, maka kita bisa mengambil benang
merah bahwa untuk menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan yakni silaturrahmi, maka kita harus menggunakan kata-kata
yang baik. Dan kita semua tentu sama-sama sudah mafhum bahwa
moment lebaran merupakan moment spesial
untuk menyambung silaturrahmi.
Beberapa saudara kita ada yang bersikeras
menyatakan bahwa untuk menyambung silaturrahmi dan saling meminta maaf bukan
dikhususkan pada moment lebaran melainkan harus setiap saat. Pernyataan ini
benar, namun bukan berarti kemudian boleh menyalahkan tradisi lebaran bangsa
Indonesia yang memang berbeda dengan tradisi di tanah Arab. Jika di Arab Saudi,
hari ketiga atau keempat lebaran mungkin bukan lagi hari yang spesial sehingga
berlangsung sebagaimana hari-hari biasa. Tapi di sini, di Indonesia ini, moment
lebaran masih berlangsung spesial sampai hari ke tujuh, bahkan dilanjut hari-hari
berikutnya yang menjadi ajang halal bi halal.
Tradisi ini memang merupakan kearifan lokal yang
harus senantiasa dilestarikan demi menjaga keistimewaan khasanah budaya bangsa
Indonesia. Lafadz halal bi halal sendiri akan sulit ditemukan di Arab
Saudi sana, karena lafadz ini memang “asli” bikinan Indonesia dengan
menggunakan bahasa Arab. Lafadz lain yang sulit ditemukan di Arab Saudi sana
adalah ucapan minal ‘aidin wal faizin. Ucapan ini begitu familiar
bagi bangsa Indonesia dan menjadi ucapan “wajib” saat lebaran tiba. Biasanya
lafadz minal ‘aidin wal faizin diteruskan dengan ucapan “mohon ma’af
lahir dan batin”. Dua kalimat dengan bahasa asal yang berbeda dan makna yang
berbeda ini digabungkan menjadi satu dan kemudian seolah-olah kalimat bahasa
Indonesianya merupakan terjemahan bahasa Arabnya, padahal bukan. Jika kita coba
uraikan, maka akan didapati bahwa kata Min artinya 'termasuk'; Al-aidin artinya
'orang-orang yang kembali'; Wa artinya 'dan'; Al-faizin artinya
'menang'. Secara harfiah, lafadz Minal 'Aidin wal Faizin dalam bahasa Indonesia artinya “termasuk dari orang-orang yang kembali sebagai orang yang menang”. Namun dalam konteksnya, lafadz Minal 'Aidin
wal Faizin bermakna “Selamat
berhari raya, dan semoga termasuk orang yang mendapatkan kemenangan”. Karena (عيد) ‘id yang artinya: hari raya, terbentuk dari
fi’il عاد (‘aada) yang
fa’il-nya adalah عائد (‘aaidun),
jika dalam bentuk jamak dan majrur menjadi العائدين (‘aaidin). Maka ‘aaidin bisa
juga diartikan: orang-orang yang berhari raya.
Lalu apakah mengucapkan Minal 'Aidin wal
Faizin ini termasuk tercela,
karena tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat? Tentu saja
tidak. Kita tentu bisa menyimak kembali tentang Mahdah dan Ghairu
Mahdah. Maka kita bisa memasukkan ucapan Minal 'Aidin wal Faizin
pada orang lain ini sebagai Ghairu
Mahdah dengan berlandasakan hadits Rasulullah bahwa berkata yang baik
merupakan
merupakan sedekah. Juga berlandaskan ayat ke 21 dari surat ar-Ra’d yang secara
tersirat memerintahkan kita menyambung silaturrahmi agar terhindar dari hisab
yang buruk. Jalinan silaturrahmi ini bisa disambung melalui ucapan maupun
tulisan di pesan singkat SMS atau WA atau FB atau Twitter dan sejenisnya. Di
era digital seperti sekarang ini, semua sarana bisa kita manfaatkan untuk
silaturrahmi.
Mungkin ada saudara kita
yang masih suka ngotot kurang menyukai ucapan Minal 'Aidin wal Faizin dengan
mempertanyakan bahwa “kita ini menang dari apa, kok diberi selamat? Kenapa pula
hari ‘Ied dianggap sebagai hari kemenangan?” Hal semacam ini tidak perlu
ditanggapi dengan serius. Kita cukuplah mengatakan bahwa hari raya ‘Ied
merupakan kemenangan orang-orang yang berpuasa melawan hawa nafsunya. Lalu
mungkin ada sanggahan lagi bahwa “apakah setelah merasa menang lalu kita boleh
berpuas diri dan berpesta?” Maka cukuplah dijawab bahwa meraih kemenangan itu
mudah, namun mempertahankan kemenangan itu akan selalu sulit. Jadi haruslah
dipahami bahwa banyaknya makanan saat lebaran itu bukanlah “pesta foya-foya”
sebagaimana umumnya. Banyaknya makanan saat lebaran merupakan perwujudan rasa
syukur pada Allah yang kemudian diaplikasikan dengan menjalin tali silaturrahmi
dengan saling mengunjungi dan menjamu tamu.
Ucapan lebaran lain yang
sudah familiar bagi kita adalah “Taqabbalallahu Minna wa Mingkum” yang maknanya semoga Allah menerima amal kebaikan
kita semua. Hal ini merupakan
ungkapan doa sebagaimana dibaca para Sahabat radhiAllahu ‘anhum saat berhari
raya ‘iedul fitri. Ucapan lainnya adalah ucapan dengan berbahasa daerah semisal
“sugeng riyadin, nyuwun pangapunten sedoyo kalepatan kulo, duso kulo lan
duso sampean dipun lebur wonten ing dinten rioyo niki”. Hal-hal semacam ini
boleh saja dan sah-sah saja. Semua perkataan baik itu sedekah. Oleh karenanya,
janganlah kita mempermasalahkan suatu tradisi yang tidak perlu dipermasalahkan.
Akhirnya, segenap crew
buletin TELAGA JIWA TPQ NU Ponorogo mengucapkan selamat hari raya ‘Iedul Fitri
dan mohon ma’af lahir batin. Semoga Allah meridhai kita menjadi lebih baik lagi
di hari-hari mendatang. Aamiin ...
***