Edisi 07 th IX : 23 Februari 2018 M /
7 Jumadil Akhir 1439 H
PERENUNGAN
Penulis:
Pandu Maewu Kaendran (Bangunsari)
Segala puji hanyalah milik Allah
swt, yang telah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 1-5 yang artinya: “Alif
laam miim. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan
kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Quran) yang telah
diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta
mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat
petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” Shalawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad s.a.w., sang suri
tauladan pemimpin umat.
Ayat ke satu sampai ke lima dari
surat al-Baqarah tersebut di atas, sangat bagus untuk kita renungkan. Gaya
bahasa yang dipakai dengan menguraikan sesuatu dan memberikan gambaran akhir
yang luar biasa, yaitu “orang-orang yang beruntung”. Tentu kita sering
mendengar idiom bahwa “wong pinter sik kalah karo wong bejo (orang cerdas
masih kalah dengan orang yang beruntung)”. Point ini harus jadi perenungan
mendalam. Bagaimana cara kita agar menjadi orang yang beruntung? Ternyata
secara teori, syaratnya tidaklah banyak sebagaimana diuraikan dalam ayat-ayat
tersebut. Namun memang untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata,
tidaklah semudah menuliskannya dalam sebuah artikel seperti bulletin ini. Kita
butuh iman dan taqwa untuk mendorong ke arah yang tepat menuju keberuntungan.
Marilah kita
senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt dengan
senantiasa meningkatkan amal shalih seraya mendekatkan diri kepada-Nya serta
menjauhi segala bentuk kemaksiatan yang mendatangkan azab dan siksa dari Allah
swt. Hal seperti ini memang harus dilakukan karena kita tidak akan pernah
mengetahui sampai batas kapan umur kita. Disebutkan dalam al-Qur’an surat
al-A’raf ayat 34: “Tiap-tiap umat memiliki
batas waktu. Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat
mengundurkannya walau sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” Meskipun
ayat ini menyebut kata umat yang kemudian ditafsirkan sebagai masa kejayaan
suatu umat atau bangsa, namun dapat juga ditafsirkan sebagai individu manusia
yang memiliki batas waktu kehidupan di dunia. Oleh karenanya ayat ini dapat
dikaitkan dengan Surat Ali Imran ayat 102: “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Kemudian
ayat ini mengisyaratkan betapa pentingnya menjaga ketakwaan yang menjadi
landasan dasar bagi semua amal ibadah manusia. Dengan semakin meningkatnya
ketakwaan, maka tentunya semakin bagus kualitas dan kuantitas ibadah seseorang.
Dengan begitu persiapan bekal untuk kehidupan setelah kematianpun akan terasa
semakin mantap. Bagaimanapun kematian adalah sesuatu yang pasti akan menimpa
manusia, sebagaimana tersirat dalam al-Qur’an surat al-Anbiyaa’ ayat 35: “tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada Kamilah, kamu
dikembalikan.” Oleh karena itu kita
haruslah mempersiapkan diri terhadap kematian yang datangnya tidak akan pernah
memberi kabar terlebih dahulu. Dalam rangka persiapan tersebut, ada beberapa
hal yang harus dilakukan diantaranya adalah dzikrul maut
(mengingat kematian). Adapun dzikrul
maut ini bukan berarti menjadikan kita pesimistis terhadap kehidupan
dunia kemudian melalaikan pekerjaan untuk mencari nafkah dan bersosialisasi
dengan orang lain. Akan tetapi justru akan menjadi sugesti diri untuk menjadi
manusia yang selalu terus bersemangat dalam hal-hal kebaikan dan setelah mati
nanti akan dikenang sebagai orang baik. Dengan senantiasa dzikrul maut mengingat mati, diharapkan kita akan tersadar
untuk lebih memperbaiki amal ibadah. Rasulullah pun bersabda dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah: “Cukuplah
kematian menjadi pelajaran bagimu.”
Setiap manusia
yang hidup di dunia selain diberi nikmat, juga akan diberi ujian dunia. Ujian
tidak selamanya berupa keburukan dan musibah. Ujian dapat berupa kemiskinan,
kekurangan fisik, “nasib” yang terasa selalu sial, dan sebagainya. Namun ujian
juga dapat berupa pangkat jabatan, kekayaan, ketampanan, kecantikan, dan
sebagainya. Khalifah Umar ibn Khattab diuji dengan pangkat khalifah yang diama
diamanatkan kepadanya. Namun beliau
selalu takut berbuat sesuatu yang sekiranya menyalahi amanat tersebut. Dalam
sebuah kisah diceritakan bahwa putra beliau merasa malu dengan banyaknya
tambalan yang melekat di baju yang dikenakannya setiap hari. Maka diapun
merengek-rengek pada sang ayah yang merupakan khalifah dari sebuah negara yang
sangat luas wilayahnya, demi hanya meminta baju baru yang lebih pantas
dikenakan. Melihat kesedihan putranya, khalifah Umar pun mendatangi bendahara
negara untuk sekedar meminjam uang guna membelikan baju sang putra. Namun
respon jawaban dari bendahara kas negara sungguh mengagetkan sekaligus
menjadikan bahan renungan mendalam bagi sang khalifah. Si bendahara kas negara
berkata: “Wahai Khalifah, apakah engkau
menjamin akan mengembalikan uang ini?” Maka yang ada dalam pikiran khalifah
Umar bukanlah apakah ia nanti akan punya uang untuk mengembalikannya, melainkan
apakah ia nanti masih memiliki waktu untuk mengembalikan jika berhutang pada
negara, mengingat bahwa kematian akan datang tanpa permisi terlebih dulu. Akhirnya
khalifah Umar pun mengurungkaan niatnya karena takut menanggung hutang.
Karena hidup di
dunia tidak abadi, maka setiap manusia pastilah mati dan sampai di alam kubur.
Pada hakikatnya, hidup di dunia ini adalah untuk mengabdi pada Allah sehingga
mendapatkan rahmat serta ridha-Nya. Karena itulah kita diberi tuntunan oleh
Rasulullah saw agar tidak salah langkah dalam pencarian rahmat serta ridha
tersebut. Tuntunan Rasulullah saw yang terangkum dalam konsep keimanan dan
ketakwaan akan menjadikan kita sebagai manusia yang seutuhnya, menjadi insan
kamil yang mendapatkan kebahagiaan di dunia dan juga di akhirat. Adapun
yang lebih penting sesungguhnya adalah kebahagiaan akhirat karena kehidupan
akhirat adalah abadi sedang kehidupan dunia adalah hanya sementara saja.
Semoga Allah
memudahkan segala perjalanan hidup kita untuk kebaikan diri kita sendiri maupun
orang lain. Semoga Allah juga meridhai dan merahmati kita agar menjadi manusia
beruntung yang dapat hidup dan mati dalam keadaaan Islam yang kaffah.
Aamiin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar