buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Jumat, 15 Juni 2018

PERENUNGAN


   Edisi 07 th IX : 23 Februari 2018 M / 7 Jumadil Akhir 1439 H
PERENUNGAN
Penulis: Pandu Maewu Kaendran (Bangunsari)
Segala puji hanyalah milik Allah swt, yang telah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 1-5 yang artinya: “Alif laam miim. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad s.a.w., sang suri tauladan pemimpin umat.
Ayat ke satu sampai ke lima dari surat al-Baqarah tersebut di atas, sangat bagus untuk kita renungkan. Gaya bahasa yang dipakai dengan menguraikan sesuatu dan memberikan gambaran akhir yang luar biasa, yaitu “orang-orang yang beruntung”. Tentu kita sering mendengar idiom bahwa “wong pinter sik kalah karo wong bejo (orang cerdas masih kalah dengan orang yang beruntung)”. Point ini harus jadi perenungan mendalam. Bagaimana cara kita agar menjadi orang yang beruntung? Ternyata secara teori, syaratnya tidaklah banyak sebagaimana diuraikan dalam ayat-ayat tersebut. Namun memang untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata, tidaklah semudah menuliskannya dalam sebuah artikel seperti bulletin ini. Kita butuh iman dan taqwa untuk mendorong ke arah yang tepat menuju keberuntungan.

Marilah kita senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt dengan senantiasa meningkatkan amal shalih seraya mendekatkan diri kepada-Nya serta menjauhi segala bentuk kemaksiatan yang mendatangkan azab dan siksa dari Allah swt. Hal seperti ini memang harus dilakukan karena kita tidak akan pernah mengetahui sampai batas kapan umur kita. Disebutkan dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 34: “Tiap-tiap umat memiliki batas waktu. Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya walau sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”  Meskipun ayat ini menyebut kata umat yang kemudian ditafsirkan sebagai masa kejayaan suatu umat atau bangsa, namun dapat juga ditafsirkan sebagai individu manusia yang memiliki batas waktu kehidupan di dunia. Oleh karenanya ayat ini dapat dikaitkan dengan Surat Ali Imran ayat 102: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Kemudian ayat ini mengisyaratkan betapa pentingnya menjaga ketakwaan yang menjadi landasan dasar bagi semua amal ibadah manusia. Dengan semakin meningkatnya ketakwaan, maka tentunya semakin bagus kualitas dan kuantitas ibadah seseorang. Dengan begitu persiapan bekal untuk kehidupan setelah kematianpun akan terasa semakin mantap. Bagaimanapun kematian adalah sesuatu yang pasti akan menimpa manusia, sebagaimana tersirat dalam al-Qur’an surat al-Anbiyaa’ ayat 35: “tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada Kamilah, kamu dikembalikan.”  Oleh karena itu kita haruslah mempersiapkan diri terhadap kematian yang datangnya tidak akan pernah memberi kabar terlebih dahulu. Dalam rangka persiapan tersebut, ada beberapa hal yang harus dilakukan diantaranya adalah dzikrul maut (mengingat kematian). Adapun dzikrul maut ini bukan berarti menjadikan kita pesimistis terhadap kehidupan dunia kemudian melalaikan pekerjaan untuk mencari nafkah dan bersosialisasi dengan orang lain. Akan tetapi justru akan menjadi sugesti diri untuk menjadi manusia yang selalu terus bersemangat dalam hal-hal kebaikan dan setelah mati nanti akan dikenang sebagai orang baik. Dengan senantiasa dzikrul maut mengingat mati, diharapkan kita akan tersadar untuk lebih memperbaiki amal ibadah. Rasulullah pun bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah: “Cukuplah kematian menjadi pelajaran bagimu.”
Setiap manusia yang hidup di dunia selain diberi nikmat, juga akan diberi ujian dunia. Ujian tidak selamanya berupa keburukan dan musibah. Ujian dapat berupa kemiskinan, kekurangan fisik, “nasib” yang terasa selalu sial, dan sebagainya. Namun ujian juga dapat berupa pangkat jabatan, kekayaan, ketampanan, kecantikan, dan sebagainya. Khalifah Umar ibn Khattab diuji dengan pangkat khalifah yang diama

diamanatkan kepadanya. Namun beliau selalu takut berbuat sesuatu yang sekiranya menyalahi amanat tersebut. Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa putra beliau merasa malu dengan banyaknya tambalan yang melekat di baju yang dikenakannya setiap hari. Maka diapun merengek-rengek pada sang ayah yang merupakan khalifah dari sebuah negara yang sangat luas wilayahnya, demi hanya meminta baju baru yang lebih pantas dikenakan. Melihat kesedihan putranya, khalifah Umar pun mendatangi bendahara negara untuk sekedar meminjam uang guna membelikan baju sang putra. Namun respon jawaban dari bendahara kas negara sungguh mengagetkan sekaligus menjadikan bahan renungan mendalam bagi sang khalifah. Si bendahara kas negara berkata: “Wahai Khalifah, apakah engkau menjamin akan mengembalikan uang ini?” Maka yang ada dalam pikiran khalifah Umar bukanlah apakah ia nanti akan punya uang untuk mengembalikannya, melainkan apakah ia nanti masih memiliki waktu untuk mengembalikan jika berhutang pada negara, mengingat bahwa kematian akan datang tanpa permisi terlebih dulu. Akhirnya khalifah Umar pun mengurungkaan niatnya karena takut menanggung hutang. 
Karena hidup di dunia tidak abadi, maka setiap manusia pastilah mati dan sampai di alam kubur. Pada hakikatnya, hidup di dunia ini adalah untuk mengabdi pada Allah sehingga mendapatkan rahmat serta ridha-Nya. Karena itulah kita diberi tuntunan oleh Rasulullah saw agar tidak salah langkah dalam pencarian rahmat serta ridha tersebut. Tuntunan Rasulullah saw yang terangkum dalam konsep keimanan dan ketakwaan akan menjadikan kita sebagai manusia yang seutuhnya, menjadi insan kamil yang mendapatkan kebahagiaan di dunia dan juga di akhirat. Adapun yang lebih penting sesungguhnya adalah kebahagiaan akhirat karena kehidupan akhirat adalah abadi sedang kehidupan dunia adalah hanya sementara saja.
Semoga Allah memudahkan segala perjalanan hidup kita untuk kebaikan diri kita sendiri maupun orang lain. Semoga Allah juga meridhai dan merahmati kita agar menjadi manusia beruntung yang dapat hidup dan mati dalam keadaaan Islam yang kaffah. Aamiin.
***








Tidak ada komentar:

Posting Komentar