Edisi 18 th IX : 25 Mei 2018 M / 9
Ramadhan 1439 H
BERKAH RAMADHAN
Penulis:
Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mukmin, Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah menyediakan bulan Ramadhan bagi kita dan berfirman dalam
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183 yang artinya “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa.”. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi
Muhammad saw sebagai manusia yang sempurna ketakwaannya sehingga kita harus
menjadikan beliau sebagi suri tauladan.
Kita tentu sering mendengar ayat
ke 183 dari surat al-Baqarah dibacakan pada bulan Ramadhan oleh penceramah
kuliah subuh maupun khatib Jum’at. Ayat tersebut memang menjadi dasar hukum pelaksanaan puasa Ramadhan. Tujuan
dari diwajibkannya puasa, jika kita mengacu pada ayat tersebut, adalah agar
kita bertakwa. Pengertian sederhana dari “takwa” adalah mengerjakan perintah
Allah disertai menjauhi larangan Allah. Maka jika hanya mengerjakan perintah
namun tidak menjauhi larangan, tentu belum bisa disebut takwa. Begitu juga jika
sekedar menjauhi larangan namun belum mengerjakan perintah, maka tidak bisa disebut
takwa. Oleh sebab itu, takwa haruslah kaffah, tidak bisa hanya salah
satunya. Pengertian lain dari takwa, dapat kita lihat dari surat al-Baqarah ayat
2-5 yang artinya: “Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan
padanya. Petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman
kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki
yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada kitab
(al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu
dan kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah
yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang
beruntung.” Dari ayat ini terlihat
spesifikasi orang yang bertakwa. Dan orang yang bertakwa disebut sebagai orang
yang beruntung. Kenapa beruntung? Tentu saja beruntung sebab orang bertakwa
akan mendapat balasan syurga sebagaimana tersurat dalam ar-Ra’d ayat 35
yang artinya: “Perumpamaan syurga
yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir
sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian
pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat
kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka.”
Berkaitan
dengan takwa, mari kita coba renungkan kisah dari Khalifah Ali bin Abi Thalib
ra ketika ziarah kubur. Di hadapan para sahabat yang menyertai ziarah kubur
tersebut, khalifah Ali bertanya ke arah kuburan: “Wahai ahli kubur di
pe-makaman ini, bagaimana keadaanmu saat ini?” Tentu saja tak ada yang menjawab
pertanyaan khalifah Ali. Dan pertanyaan ini diulangnya lagi namun tetap saja
tak ada jawaban. Khalifah Ali pun kemudian berkata: “Wahai ahli kubur, jika
kalian diam, apakah perlu kuberitahukan tentang keadaan harta dunia yang telah
kalian tinggalkan dan juga keluarga yang dulu kalian cintai? Mereka saat ini
sedang berpesta berbagi hartamu tersebut. Maka aku bertanya lagi pada kalian
wahai ahli kubur, apa pesan yang ingin kalian sampaikan dari alam kubur?” Kemudian khalifah Ali ra
berpaling menghadap ke arah para sahabat dan berkata: “Wahai para sahabatku, jika saja para ahli kubur ini
mampu mengucapkan pesan yang bisa kita dengar, mereka akan berkata: Kalian semua
boleh mencari bekal di dunia yang se banyak-banyaknya. Tapi ingatlah pada al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 197 (yang artinya): “… Berbekal-lah, dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku (Allah) hai
orang-orang yang berakal.”
Dari pemaparan di atas, tentunya kita semakin menyadari betapa kita harus senantiasa
memperbaiki diri demi peningkatan ketakwaan kita. Adapun peningkatan ini
tidaklah bisa kita lakukan secara mendadak dan semaksimal mungkin. Peningkatan
ini selayaknya setahap demi setahap sesuai dengan kemampuan kita, sesuai dengan
solusi yang diberikan dalam al-Qur’an surat at-Taghabun ayat 16 yang artinya: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah
serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. dan barangsiapa yang dipelihara dirinya
dari kekikiran, maka
mereka itulah orang-orang
yang beruntung.” Dalam konsep ini, bukan berarti kita boleh bertakwa dengan sekehendak
hati, bukan seperti itu. Yang dimaksud “menurut kesanggupanmu” adalah sesuai
dengan kemampuan keilmuan, fisik dan kapasitas kita. Dengan stimulus ini
diharapkan akan muncul respon positif yang mendorong peningkatan ketakwaan
secara stimultan.
Salah
satu wujud konsep “menurut kesanggupanmu” misalnya saat puasa ini kita mengetahui bahwa tidur pun sudah dinilai
sebagai ibadah yang berpahala, dengan asumsi bahwa tidur tersebut menyebabkan
kita terbebas dari segala aktifitas yang bersinggungan dengan dosa semisal
membicarakan keburukan orang lain. Hal ini jika memang sudah sesuai dengan kemampuan
keilmuan, fisik dan kapasitas kita, tentu tidak jadi
masalah. Namun secara tahapan takwa, jika kita memang memiliki ilmu yang
memahamkan pada kita perihal betapa aktifitas di luar tidur justru berpotensi
menjadi ibadah yang bernilai pahala berlipat ganda dibanding tidur, maka
tentunya kita harus menjalankan juga “menurut
kesanggupan”. Jika kita adalah seorang pekerja yang memang
harus bekerja untuk mendapatkan uang guna menyambung hidup, maka tentunya kita
tidak boleh hanya memperbanyak tidur saja saat puasa. Apalah artinya kita
mendapatkan pahala tidur namun menyebabkan keluarga yang harus kita nafkahi
menjadi terbengkalai? Oleh karenanya, meski puasa pun kita tetap berkewajiban
mencari nafkah. Dalam konsep ini, mencari nafkah ini mari kita niati sebagai
ibadah agar kita mendapatkan keberkahan bulan Ramadhan. Mungkin kita adalah
pekerja yang mengandalkan tenaga untuk mencari nafkah (semisal petani, tukang
becak dll). Bisa jadi selama puasa, hasil kerja kita menurun secara kuantitas
maupun kualitas. Namun dengan kita niati sebagai ibadah, boleh jadi hasil yang
menurun tersebut justru membawa keberkahan yang luar biasa. Perlu kita pahami
bahwa terkait rizki itu yang terpenting bukan masalah banyak atau sedikit,
melainkan berkah atau tidak berkah.
Terlepas dari segala
macam rona-rona puasa, kita memang tetap perlu mengatur aktifitas kita agar
bisa proporsional antara “kewajiban” kita terhadap keluarga dan kewajiban kita
berburu keberkahan Ramadhan. Walau bagaimanapun, tentu kita tidak boleh
melewatkan Ramadhan ini dengan begitu saja. Ibaratnya jika di jalan
Suromenggolo hari Ahad pagi saat CFD (Car Free Day) apapun bisa dijual dan laku,
maka di bulan Ramadhan ini, apapun bisa kita niatkan ibadah dan in sya Allah
berpahala.
Semoga Allah memudahkan
kita untuk senantiasa berada di jalan-Nya menuju kebahagiaan dunia akhirat.
Aamiin ...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar