buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Jumat, 15 Juni 2018

MAHDHAH DAN GHAIRU MAHDHAH


       Edisi 15 th IX : 03 Mei 2018 M / 17 Sya’ban 1439 H
IBADAH MAHDHAH DAN GHAIRU MAHDHAH
Penulis: Kinanti Sonyaning Ratri (Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah Yang Maha Kuasa yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya: “Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah mengabdi kepada-Ku.”. Shalawat salam semoga tercurah pada Rasulullah saw, pribadi hebat yang menjadi uswatun hasanah bagi segenap manusia yang telah memberikan berbagai macam tuntunan ibadah agar diaplikasikan oleh umat manusia demi kebahagiaan dunia akhirat.
Kata “ibadah” pasti sudah familiar bagi kita semua. Secara etimologi, kata “ibadah” diambil dari kata ‘abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, bahkan dirinya sendiri milik tuannya, sehingga seluruh aktifitas hidup hamba tersebut hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya. Dalam konsep “ibadah”, manusia adalah hamba Allah dengan jiwa raga hanya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk  ibadah atau menghamba kepada-Nya. Namun dalam kehidupannya, manusia masih diberi kemudahan hidup di dunia dengan karunia akal fikiran. Bahkan manusia diberi kewenangan sebagai khalifah di bumi. Terkait dengan hal-hal tersebut, kemudian muncul konsep hablum min Allah dan hablum minan nas yang keduanya bisa menjadi konsep ibadah dengan melalui niat si pelaku.

            Dalam kajian ilmu Fiqh, ibadah yang dilakukan oleh umat Islam dibagi menjadi dua jenis dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya, yaitu ibadah Mahdhah dan ibadah Ghairu Mahdhah. Kedua jenis ibadah ini memiliki karakteristik dan prinsip yang berbeda. Oleh karenanya, kedua jenis ibadah ini juga memiliki hikmah yang berbeda pula.
Ibadah Mahdhah,  artinya  penghambaan murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung. ibadah Mahdhah memiliki 4 prinsip:
1.    Harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun Hadits. Jenis ibadah ini merupakan otoritas wahyu, sudah ditetapkan melalui syari’at dan tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika terkait keberadaannya. Contohnya: Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji.
2.    Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasulullah saw. Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada, yang populer disebut bid’ah dhalalah. Misalnya: tatacara Shalat harus sesuai pola Rasulullah saw.
3.    Bersifat supra-rasional (di atas jangkauan akal). Maksudnya adalah bahwa ibadah Mahdhah bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu. Dalam hal ini akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, Haji, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at atau tidak. Oleh karenanya, jenis ibadah Mahdhah pasti memiliki syarat sah dan rukun yang harus dipenuhi oleh pelaku ibadah.
4.    Azasnya “taat”. Penting untuk dipahami bahwa yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah mahdhah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba tersebut, bukan untuk Allah.
Dari sedikit uraian prinsip dan karakteristik ibadah mahdhah ini, mari kita cermati tentang ibadah Shalat yang masuk jenis ibadah mahdhah. (1) Perintah tentang shalat jelas ada dalam al-Qur’an terutama dalam ayat-ayat yang terdapat lafadz “aqimish-shalata”. (2) Tatacara shalat harus meniru pola Rasulullah saw sesuai perintah hadits
صلوا كما رايتمونى اصلى .رواه البخاري   
Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat.
(HR Bukhari)
(3) Kita tidak harus bisa melogika-kan kenapa Shalat harus ada ruku’, sujud dan lain sebagainya. Tugas kita adalah memenuhi syarat sah dan rukun shalat sesuai yang ditetapkan dalam ilmu fiqh berdasarkan dalil al-Qur’an dan Hadits. Inilah yang disebut konsep Tawhiedul harakah (kesatuan gerak). (4) Kita juga tidak perlu mempermasalahkan kenapa Shalat harus menghadap ke arah Ka’bah (secara wujud hanya sebuah bangunan) sebagai kiblat. Hal ini semata karena salah satu syarat sah

Shalat adalah harus menghadap kiblat. Inilah konsep Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). (4) Kita juga tidak perlu mempermasalahkan kenapa harus Shalat 5 waktu dalam sehari semalam. Yang kita lakukan adalah mewujudkan perintah al-Qur’an, mengikuti Hadits, dan berdasar ta’at pada Allah.
Ibadah Ghairu Mahdhah, yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan  hamba dengan Allah juga merupakan hubungan antara hamba dengan makhluk lainnya.  Prinsip dan karakteristik dalam ibadah Ghairu Mahdhah ini juga ada 4:
1.    Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama tidak ada dalil yang melarang, maka ibadah Ghairu Mahdhah boleh diselenggarakan. Misalnya menyelenggarakan Maulidan, Rajabiyah, Tahlilan, dan lain sebagainya.
2.    Tatacaranya tidak harus berpola pada contoh Rasul, namun harus berada dalam jalur syari’at. Karenanya dalam ibadah Ghairu Mahdhah maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan bid’ah yang melenceng dari syari’at disebut bid’ah dhalalah. Misalnya tatacara Tahlilan secara urutan dzikirnya tidak berpola dengan urutan dzikir Rasulullah, namun bacaan dzikirnya tidak melenceng dari syari’at dan merupakan tuntunan dari Rasulullah saw.
3.    Bersifat rasional,  ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika.  Sehingga jika menurut logika adalah buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan. Misalnya dalam Tahlilan itu apakah merugikan pihak penyelenggara ataukah tidak. Jika merugikan (misalnya dari uang berhutang) maka hukumnya makruh, dan jika banyak madharat, maka menjadi haram.
4.    Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan. Misalnya Tahlilan dilakukan dengan dana yang cukup, tidak membebani, dan membawa manfaat mengumpulkan banyak orang dalam ibadah dzikir bersama, maka dihukumi sunah.
Demikianlah sekelumit pengetahuan tentang ibadah Mahdhah dan ibadah Ghairu Mahdhah. Semoga menambah manfaat bagi penulis maupun pembaca agar terus menggali berbagai ilmu untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga Allah meridhai segala upaya kita. Aamiin … ***








 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar