Edisi 15 th IX : 03 Mei 2018 M / 17
Sya’ban 1439 H
IBADAH MAHDHAH DAN GHAIRU
MAHDHAH
Penulis:
Kinanti Sonyaning Ratri (Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi
Allah Yang Maha Kuasa yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyat
ayat 56 yang artinya: “Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah mengabdi kepada-Ku.”. Shalawat salam semoga tercurah pada
Rasulullah saw, pribadi hebat yang menjadi uswatun hasanah bagi segenap
manusia yang telah memberikan berbagai macam tuntunan ibadah agar diaplikasikan
oleh umat manusia demi kebahagiaan dunia akhirat.
Kata “ibadah”
pasti sudah familiar bagi kita semua. Secara etimologi, kata “ibadah” diambil dari kata ‘abada, ya’budu,
‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang
yang tidak memiliki apa-apa, bahkan dirinya sendiri milik tuannya, sehingga
seluruh aktifitas hidup hamba tersebut hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya
dan menghindarkan murkanya. Dalam konsep “ibadah”, manusia adalah hamba Allah
dengan jiwa raga hanya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin
kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba
kepada-Nya. Namun dalam kehidupannya, manusia masih diberi kemudahan
hidup di dunia dengan karunia akal fikiran. Bahkan manusia diberi kewenangan
sebagai khalifah di bumi. Terkait dengan hal-hal tersebut, kemudian muncul
konsep hablum min Allah dan hablum minan nas yang keduanya bisa
menjadi konsep ibadah dengan melalui niat si pelaku.
Dalam kajian ilmu Fiqh, ibadah yang
dilakukan oleh umat Islam dibagi menjadi dua jenis dengan bentuk dan sifat yang
berbeda antara satu dengan lainnya, yaitu ibadah Mahdhah dan ibadah
Ghairu Mahdhah. Kedua jenis ibadah ini memiliki karakteristik dan prinsip
yang berbeda. Oleh karenanya, kedua jenis ibadah ini juga memiliki hikmah yang
berbeda pula.
Ibadah
Mahdhah, artinya penghambaan murni hanya merupakan
hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung. ibadah Mahdhah memiliki
4 prinsip:
1.
Harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Qur’an maupun Hadits. Jenis ibadah ini merupakan otoritas wahyu, sudah ditetapkan
melalui syari’at dan tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika terkait keberadaannya. Contohnya: Syahadat, Shalat,
Zakat, Puasa dan Haji.
2.
Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasulullah saw.
Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan
praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara
mengada-ada, yang populer disebut bid’ah dhalalah. Misalnya: tatacara
Shalat harus sesuai pola Rasulullah saw.
3.
Bersifat supra-rasional (di atas jangkauan akal).
Maksudnya adalah bahwa ibadah Mahdhah bukan ukuran logika, karena bukan
wilayah akal, melainkan wilayah wahyu. Dalam hal ini akal hanya berfungsi
memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat,
Haji, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh
mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan
syari’at atau tidak. Oleh karenanya, jenis ibadah Mahdhah pasti
memiliki syarat sah dan rukun yang harus dipenuhi oleh pelaku ibadah.
4.
Azasnya “taat”. Penting untuk
dipahami bahwa yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah mahdhah
ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang
diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan
hamba tersebut, bukan untuk Allah.
Dari sedikit
uraian prinsip dan karakteristik ibadah mahdhah ini, mari kita cermati
tentang ibadah Shalat yang masuk jenis ibadah mahdhah. (1) Perintah
tentang shalat jelas ada dalam al-Qur’an terutama dalam ayat-ayat yang terdapat
lafadz “aqimish-shalata”. (2) Tatacara shalat harus meniru pola
Rasulullah saw sesuai perintah hadits
صلوا كما رايتمونى اصلى .رواه
البخاري
Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. (HR Bukhari)
Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. (HR Bukhari)
(3) Kita tidak
harus bisa melogika-kan kenapa Shalat harus ada ruku’, sujud dan lain
sebagainya. Tugas kita adalah memenuhi syarat sah dan rukun shalat sesuai yang
ditetapkan dalam ilmu fiqh berdasarkan dalil al-Qur’an dan Hadits. Inilah yang
disebut konsep Tawhiedul harakah (kesatuan gerak). (4) Kita juga
tidak perlu mempermasalahkan kenapa Shalat harus menghadap ke arah Ka’bah
(secara wujud hanya sebuah bangunan) sebagai kiblat. Hal ini semata karena
salah satu syarat sah
Shalat adalah
harus menghadap kiblat. Inilah konsep Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). (4) Kita
juga tidak perlu mempermasalahkan kenapa harus Shalat 5 waktu dalam sehari
semalam. Yang kita lakukan adalah mewujudkan perintah al-Qur’an, mengikuti
Hadits, dan berdasar ta’at pada Allah.
Ibadah
Ghairu Mahdhah, yaitu ibadah yang di samping sebagai
hubungan hamba dengan Allah juga merupakan hubungan antara hamba dengan
makhluk lainnya. Prinsip dan karakteristik dalam ibadah Ghairu Mahdhah
ini juga ada 4:
1.
Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang.
Selama tidak ada dalil yang melarang, maka ibadah Ghairu Mahdhah boleh
diselenggarakan. Misalnya menyelenggarakan Maulidan, Rajabiyah, Tahlilan, dan
lain sebagainya.
2.
Tatacaranya tidak harus berpola pada contoh Rasul,
namun harus berada dalam jalur syari’at. Karenanya
dalam ibadah Ghairu Mahdhah maka bid’ahnya disebut bid’ah
hasanah, sedangkan bid’ah yang melenceng dari syari’at disebut bid’ah
dhalalah. Misalnya tatacara Tahlilan secara urutan dzikirnya tidak berpola
dengan urutan dzikir Rasulullah, namun bacaan dzikirnya tidak melenceng dari
syari’at dan merupakan tuntunan dari Rasulullah saw.
3.
Bersifat rasional, ibadah bentuk ini
baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat
ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika adalah
buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
Misalnya dalam Tahlilan itu apakah merugikan pihak penyelenggara ataukah tidak.
Jika merugikan (misalnya dari uang berhutang) maka hukumnya makruh, dan jika
banyak madharat, maka menjadi haram.
4.
Azasnya “Manfaat”, selama itu
bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan. Misalnya Tahlilan dilakukan dengan
dana yang cukup, tidak membebani, dan membawa manfaat mengumpulkan banyak orang
dalam ibadah dzikir bersama, maka dihukumi sunah.
Demikianlah
sekelumit pengetahuan tentang ibadah Mahdhah dan ibadah Ghairu
Mahdhah. Semoga menambah manfaat bagi penulis maupun pembaca agar terus
menggali berbagai ilmu untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga
Allah meridhai segala upaya kita. Aamiin … ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar