Edisi 09 th IX : 9 Maret 2018 M / 21
Jumadil Akhir 1439 H
MENCARI NAFKAH
Penulis:
Kinanti Sonyaning Ratri (Bangunsari)
Segala puji hanyalah milik Allah SWT,
yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Jumu’ah ayat 9-10 yang artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli,
yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” Shalawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW,
sang suri tauladan bagi seluruh umat manusia, sang revolusioner sejati yang
mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Jika kita mencermati ayat ke 9-10 dari surat al-Jumu’ah di atas, kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa ketika kita hidup di dunia ini, kita diperintahkan
untuk beribadah (shalat) dan juga bekerja (dalam ayat tersebut disebutkan
jual-beli). Apakah ayat ini bertentangan dengan surat adz-Dzariyat ayat
56 yang artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” Dalam ayat ini,
disebutkan bahwa manusia itu hanya diperintahkan untuk mengabdi beribadah saja.
Padahal di surat al-Jumu’ah ada menyinggung bab bekerja. Dua dalil yg sekilas
tidak klop ini ternyata sungguh sangat klop sekali. Pada hakikatnya jual beli
serta bertebaran di muka bumi untuk bekerja mencari nafkah itu bisa
dikategorikan dalam mengabdi pada Allah.
Kita
sebagai manusia, memang wajib untuk berupaya untuk “bertahan hidup” guna
mengabdikan diri beribadah pada Allah. Segala upaya yang kita lakukan dengan
penuh pengorbanan dan cucuran keringat, akan bernilai ibadah jika niat kita
lurus pada jalan Allah. Upaya yang kita lakukan inilah yang lazim kita sebut
sebagai “bekerja mencari nafkah”. Banyak dalil tentang kemuliaan orang bekerja
mencari nafkah, diantaranya adalah hadits berikut ini:
عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ
مَعْدِيكَرِبَ الزُّبَيْدِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَمَا
أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَخَادِمِهِ فَهُوَ صَدَقَةٌ
Artinya: Dari Miqdam bin
Ma'dikarib Az-Zubaidi, dari Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah
seseorang mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada yang ia dapat dari hasil
usahanya sendiri. Dan apa yang dinafkahkan oleh seseorang untuk dirinya,
keluarganya, anaknya, dan pelayannya adalah (bernilai) sedekah. " (HR
Ibnu Majah)
Lalu
jika kita sudah bekerja mencari nafkah, apakah kita boleh kaya? Tentu saja
boleh. Islam sangat mendukung seseorang untuk menjadi kaya. Rukun Islam tentang
zakat dan haji itu jelas membutuhkan kekayaan. Kemudian dalam hadits Rasulullah
tentang amal yang tiada putus pahalanya itu yang pertama adalah shadaqah
jariyah, dan jelas membutuhkan kekayaan juga. Maka dalam konsep inilah, Islam
sangat mendukung umatnya untuk menjadi kaya melalui bekerja. Namun menjadi
orang kaya ini wajib dilandasi dengan ketaqwaan sebagaimana hadits ini:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ خُبَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَمِّهِ قَالَ كُنَّا فِي مَجْلِسٍ
فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى رَأْسِهِ أَثَرُ
مَاءٍ فَقَالَ لَهُ بَعْضُنَا نَرَاكَ الْيَوْمَ طَيِّبَ النَّفْسِ فَقَالَ أَجَلْ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ثُمَّ أَفَاضَ الْقَوْمُ فِي ذِكْرِ الْغِنَى فَقَالَ لَا
بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنْ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنْ اتَّقَى خَيْرٌ مِنْ الْغِنَى
وَطِيبُ النَّفْسِ مِنْ النَّعِيمِ
Artinya: Dari Abdullah bin
Khubaib, dari pamannya, ia berkata, "Ketika kami tengah berada dalam
sebuah perkumpulan (majelis), kemudian Rasulullah datang dengan bercak sisa air
di kepalanya. Lalu seseorang di antara kami menyapa, 'Kami lihat hari ini
engkau sungguh bahagia.' Rasulullah menjawab, 'Benar, dan puji syukur kepada
Allah.' Kemudian ada sekelompok orang yang mengulas soal kekayaan. Maka
Rasulullah bersabda, "Tidak mengapa dengan kekayaan bagi orang yang bertaqwa,
dan kesehatan bagi orang yang bertaqwa adalah lebih baik daripada kekayaan, dan
jiwa yang tenteram adalah bagian dari kenikmatan." (HR Ibnu
Majah)
Jika
kemudian kita menjadi kaya ataukah tidak kaya setelah melakukan kerja keras,
maka sesungguhnya hal tersebut bukan sesuatu yang menjadi mutlak atas kekuatan kita.
Karena segala sesuatu tetaplah Allah yang menentukan. Sebagaimana banyak
disampaikan oleh alim ulama bahwa rizki, jodoh dan ajal merupakan hak
prerogratif Allah atas kita sebagai makhluk-Nya. Oleh karenanya apapun hasil
dari kerja keras kita, maka kita pasrahkan pada Allah. Adapun proses kerja
keras tersebut harus sesuai dengan jalur yang digariskan oleh syari’at agama
Islam. Bahkan kita akan mendapatkan banyak fadhilah jika kita mengacu pada hal
tersebut. Salah satu contoh sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini
قَالَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَدْخَلَ اللَّهُ
الْجَنَّةَ رَجُلًا كَانَ سَهْلًا بَائِعًا وَمُشْتَرِيًا
Artinya: Dari Utsman bin Affan,
Rasulullah SAW bersabda, "Allah memasukkan ke dalam surga, seseorang
yang bersikap mudah saat menjual dan membeli." (HR Ibnu
Majah).
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِمَ
اللَّهُ عَبْدًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ سَمْحًا إِذَا اشْتَرَى سَمْحًا إِذَا
اقْتَضَى
Artinya: Dari Jabir bin Abdullah,
ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Allah akan merahmati
seorang hamba yang berlaku toleran dalam berdagang, atau toleran saat membeli,
dan toleran saat mengadili (menuntut haknya)." (HR Bukhari)
Dua
hadits di atas menunjukkan betapa mulia sebuah pekerjaan (dalam contohnya
adalah berdagang, namun dalam konteksnya bisa semua jenis pekerjaan) jika
dilakukan sesuai tuntunan agama. Balasannya pun berupa rahmat dan surga. Tentu
saja hal ini akan berlaku kebalikan jika pekerjaan tersebut tidak dilakukan
sesuai tuntunan agama.
Semoga
Allah memudahkan segala upaya kita dalam mencari nafkah. Aamiin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar