buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Jumat, 15 Juni 2018

FENOMENA SOSIAL


       Edisi 14 th IX : 27 April 2018 M / 10 Sya’ban 1439 H
FENOMENA SOSIAL
Penulis: Pandu Maewu K. (Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 28 yang artinya: “orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”.  Kemudian shalawat salam semoga tercurah pada Rasulullah saw, pribadi sederhana yang menjadi uswatun hasanah bagi segenap manusia.
Taqwa adalah “software” yang tertanam dalam hati seorang yang beragama Islam, yang aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial di masyarakatnya. Seorang muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan sehari-hari. Taqwa adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim. Signifikansi taqwa bagi umat Islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi pembeda dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah refleksi iman seorang muslim. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah bahwa umat Islam berada dalam kehidupan modern yang serba mudah, serba bisa, bahkan cenderung serba boleh, dan semua serba tersedia. Setiap detik dalam kehidupan umat Islam selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi sangat menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang mendukung. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat Islam jaman dahulu yang kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu yang cukup mendukung kualitas taqwa seseorang.

Kita di setiap Jum’at tentu selalu diingatkan oleh khatib perihal “taqwa”. Hal ini memang sangat penting jika mengingat betapa sulitnya “menggenggam” ketaqwaan di jaman modern ini. Semakin lama manusia semakin menganggap bahwa dirinya merupakan homo economicus, yaitu merupakan makhluk yang selalu cenderung berusaha sekuat tenaga memenuhi kebutuhan ekonomi hidup raganya, dan cenderung melupakan dirinya sebagai homo religious yang erat kaitannya dengan seputaran iman dan taqwa dalam jiwanya. Apalagi konsep ekonomi kapitalisme materialisme menyatakan bahwa berkorban sekecil–kecilnya demi menghasilkan keuntungan yang sebesar–besarnya telah membuat manusia menjadi makhluk konsumtif yang egois. Kemungkinan besar kita tidak asing lagi dengan fenomena bahwa ekonomi itu tidak mengenal saudara maupun teman. Persaudaraan maupun pertemanan dianggap tidak penting jika tidak menghasilkan keuntungan. Maka jika kita sendiri telah menjadi manusia seperti itu, marilah kita cermati kembali firman Allah dalam al-Qur’an surat Hud ayat 6 yang artinya “dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” Ayat inilah sebenarnya yang menjadi dasar dari petuah bijak “rejeki tak akan lari ke mana”.
Jika serangan konsep ekonomi kapitalisme materialisme menghajar konsep shalih sosial, maka masih ada lagi konsep lain yang ikut meruntuhkan nilai-nilai shalih sosial di kalangan umat Islam yaitu Sekulerisme. Konsep ataupun faham Sekulerisme yang menyatakan bahwa urusan dunia hendaknya dipisahkan dari urusan agama. Hal yang demikian akan menimbulkan apa yang disebut dengan split personality di mana seseorang bisa berkepribadian ganda. Contohnya pada saat yang sama seorang yang rajin beribadah juga bisa menjadi seorang koruptor. Atau pada saat yang sama seorang yang dikenal sebagai tokoh agama namun melancarkan hujatan pada orang lain. Dan lain sebagainya. Kesemuanya itu selayaknya menjadi perhatian yang sangat mengkhawatirkan. Betapa saat ini kita sudah terjebak dalam arus media sosial yang tanpa kita sadari membawa kita ke arah yang lebih buruk. Sesungguhnya jaman sekarang inilah saatnya kita menggenggam agama seperti menggenggam bara, dipegang serasa tak kuat, namun jika dilepas kita akan terpisah darinya. Oleh karena itu mari kita mencoba mencermati dan menyelami firman Allah dalam al-Qur’an surat an–Nahl ayat 97 yang artinya “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Jika kita mengacu pada ayat ini, maka permasalahannya adalah apakah amal shalih kita itu kita lakukan saat dalam

keadaan split personality (berkepribadian ganda) ataukah tidak.
Selain permasalahn tersebut tadi, ada lagi hal permasalahan yang patut kita waspadai, yaitu dalam bidang keilmuan. Masalah yang paling kritis dalam bidang keilmuan adalah pada corak kepemikirannya yang pada kehidupan modern ini adalah menganut faham positivisme dimana tolok ukur kebenaran yang rasional, empiris, eksperimental, dan terukur lebih ditekankan. Dengan kata lain sesuatu dikatakan benar apabila telah memenuhi kriteria ini. Rasio lebih dipercaya daripada hati nurani. Padahal terkadang rasio belum mampu mencapai hal-hal yang masih tersembunyi. Kemudian juga adanya perbedaan metodologi yang lain bahwa dalam keilmuan dikenal istilah falsifikasi. Artinya setiap saat kebenaran yang sudah diterima dapat gugur ketika ada penemuan baru yang lebih akurat. Dalam konsep ini tidak dikenal adanya doktrin absolut. Fenomena konsep ini jelas berbeda dengan konsep dalam agama, dimana kita akan disebut beriman jika mempercayai hal-hal ghaib yang tidak bisa dicapai oleh akal dan ilmu dunia. Bukankah manusia itu hanya diberi ilmu pengetahuan yang sangat sedikit oleh Allah? Bagaimana mungkin ilmu manusia bisa menembus hal ghaib yang memang belum diperlihatkan oleh Allah?
            Begitulah fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada masa yang kita alami ini. Kesemuanya menjadi tantangan yang harus kita takhlukkan bersama, bukan sendiri-sendiri. Jika kita mampu mengatasi fenomena-fenomena tersebut di atas, maka insyaAllah kita akan mampu meningkatkan ketakwaan dan mengaplikasikan apa yang terkandung dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, supaya kamu amar ma’ruf nahi munkar.”
            Semoga Allah meridhai langkah-langkah perjuangan kita baik bagi diri kita sendiri, keluarga, maupun masyarakat luas. Semoga Allah memberi kemudahan dan kelapangan bagi kita semua. Dan semoga kita termasuk orang yang berada di jalan kebenaran, jalan yang lurus yang diridhai oleh Allah. Aamiin...
***











Tidak ada komentar:

Posting Komentar