Edisi 12 th IX : 06 April 2018 M / 19
Rajab 1439 H
MELAKNAT
Penulis:
Pandu Maewu Kaendran (Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah
Sang Pencipta semua makhluk yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat Ali Imran
ayat 128 yang artinya: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan
mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang zalim.”. Shalawat dan salam semoga tetap
tercurah pada nabi Muhammad s.a.w. yang telah memberikan berbagai suri tauladan
pada segenap umat manusia agar dapat hidup bermasyarakat dengan baik dan damai.
Kita hidup dalam masyarakat yang majemuk. Banyak perbedaan antara individu
satu dengan lainnya. Perbedaan pendapat, perbedaan sudut pandang, sampai
perbedaan keyakinan. Semua itu berpotensi menyebabkan adanya riak-riak konflik
dalam interaksi sosial. Konflik-konflik baik secara verbal maupun fisik bisa
jadi menyulut munculnya berbagai reaksi. Dalam hal ini adanya aksi dan reaksi
tentu akan memunculkan ketidakharmonisan serta ketidaknyamanan dalam kehidupan
sosial. Permasalahan-permasalahan semacam ini sudah terjadi sejak dahulu kala
hingga jaman sekarang ini. Fenomena seperti ini harus disikapi dengan bijak dan
pikiran jernih. Terkait dengan surat Ali Imran ayat 128 tersebut merupakan
sebuah “teguran” dari Allah ketika Rasulullah merasa geram terhadap kaum kafir.
Mereka begitu gencar melakukan intimidasi baik secara verbal maupun fisik. Namun
saat Rasulullah akan membalas, maka turunlah ayat tersebut mencegahnya.
Terkait
melaknat, bagi seorang mukmin dan muslim yang baik tentunya tidak akan melakukannya. Mari kita
pelajari bersama sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ
بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ
Artinya: “Seorang
mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat,
bukan pula orang yang keji (buruk akhlaqnya), dan bukan orang yang jorok
omongannya” (HR. Tirmidzi dan Imam Ahmad).
Ciri-ciri yang disampaikan dalam hadits
tersebut sangat jelas tergambarkan. Jika kita ingin menjadi mukmin dan muslim
yang ideal, maka tentunya kita harus mengimplementasikan isi kandungan hadits
tersebut. Sebagaimana sudah diketahui secara umum bahwa mencela merupakan
perbuatan emosional yang seringkali tidak menggunakan rasio kejernihan pikiran.
Mencela merupakan luapan amarah yang tidak bisa dikendalikan. Mencela biasanya
menggunakan kata-kata kasar ataupun jorok. Hal ini tentu sangat tidak mengenakkan
bagi orang yang menerima celaan.
Begitu
juga perihal melaknat sesama manusia. Dalam konsep yang umum, melaknat itu
lebih besar dari mencela. Melaknat bisa disandarkan pada kata-kata yang
bersinggungan dengan agama, semisal “demi Allah” atau “kafir” atau “musyrik”
dan lain sebagainya. Melaknat bisa berimbas pada banyak hal. Jika mencela
berimbas pada perang emosi, maka melaknat akan bisa berimbas perang dalil. Jika
melaknat umat beragama lain, maka akan terjadi perang dalil menggunakan kitab
suci dan syari’at masing-masing. Jika melaknat sesama orang muslim, maka juga
akan terjadi perang dalil sesuai pola pikir masing-masing. Dan semua ini bisa
menyebabkan kita menjadi orang yang keji buruk akhlak meski memiliki ilmu
pengetahuan agama yang luas.
Melaknat orang berbeda keyakinan dengan
kita bisa memicu perang fisik. Oleh karena itu tidak diperkenankan sesuai
dengan hadits berikut ini saat Rasulullah diminta untuk melaknat orang musyrik:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ، قَالَ: إِنِّي
لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً
Dari Abu Hurairah, ia berkata :
Dikatakan : “Wahai Rasulullah, berdoalah kecelakaan terhadap orang-orang musyrik”.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku
tidak diutus sebagai tukang laknat, aku hanyalah diutus sebagai rahmat” (HR
Muslim).
Adapun melaknat pada sesama orang muslim, menjadi
dosa yang termasuk luar biasa. Mari kita perhatikan hadits ini:
وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ
كَقَتْلِهِ
Artinya: “Pelaknatan terhadap seorang mukmin seperti membunuhnya” (HR
Bukhari dan Muslim). Dari hadits ini terlihat jelas bahwa melaknat sama dengan
membunuh. Padahal membunuh sesama mukmin merupakan dosa besar. Kita juga bisa
memperhatikan al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 58 yang artinya “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang
mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya
mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”.
Mengacu pada dalil-dalil tersebut, tentunya kita
harus menyadari betapa bahayanya perbuatan mencela dan melaknat, apalagi jika
ditujukan pada sesama mukmin dan muslim. Jika Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam diutus bukan sebagai pelaknat dan pencela melainkan
sebagai rahmat bagi semua umat manusia tanpa membedakan apa latar belakang,
ras, suku, bahkan tidak membedakan agamanya, maka tentunya kita sebagai
pengikutnya wajib mengikuti apa yang telah beliau contohkan tersebut. Jangan
sampai kita membusungkan dada mengaku sebagai umat Islam yang paling Islami
namun justru melenceng dari sikap Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
yang penyabar dan tidak melaknat maupun mencela. Jangan sampai kita mengaku
sebagai paling murni Islamnya lalu mencela dan melaknat orang Islam lainnya
dengan berbagai “label” yang tidak menyenangkan. Sejauh seseorang telah
bersyahadat yang sama dengan kita, maka tentunya orang tersebut telah menjadi
saudara kita dan tidak sepantasnya mendapat cela dan laknat.
Semoga Allah merahmati kita dalam usaha kita
menjaga keIslaman kita dan menjaga ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah
wathaniyah kita. Aamiin ...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar